Sesaat kemudian mereka berangkat. Meninggalkanku seorang diri di teras kontrakan. Kopiku sudah dingin, tapi kepalaku semakin panas.
****
Jumat, 29 Desember 2017
Sore tadi, sepulang dari mengurus NPWP kantor dan membayar tunggakan pajak, tiba-tiba terbersit dalam pikiranku untuk mampir ke tempat Minggu dan Senin bekerja. Sudah lama aku ingin melakukan ini, namun baru sempat tadi. Itu pun tanpa rencana, karena kebetulan tempat Minggu dan Senin bekerja berdekatan dengan kantor pajak.
Dalam perjalanan aku berpikir pasti asyik juga bisa menyaksikan teman-temanku bekerja. Aku bisa mengamati, menyelami, atau berpura-pura menjadi seorang pengawas yang mengintai dan menilai kinerja mereka. Ini juga akan menjadi bahan yang baik untuk kami ngobrol nanti. Sehingga aku bisa memberikan tanggapan yang lebih bernilai ketika mereka menceritakan pekerjaannya. Tidak seperti yang dulu-dulu, hanya mendengar dan manggut-manggut karena memang aku begitu paham.
Meski cukup dekat, namun ternyata aku membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk mendekati area kerja kedua temanku itu. Lalu lintas hari ini begitu padat. Tak hanya itu, aku pun begitu kesulitan mencari tempat untuk memarkir kendaraanku. Sampai kemudian aku harus masuk ke sebuah pusat perbelanjaan dan memarkir kendaraan di sana. Ini merupakan pilihan paling praktis dan masuk akal.
Selesai urusan parkir, aku kemudian menuju tempat kerja kedua temanku itu. Dan walhasil, tanpa mereka ketahui, aku bisa menyaksikan dari dekat bagaimana mereka bekerja. Dari pojok sebuah kedai kopi modern, aku bisa melihat dengan jelas kesibukan mereka. Dan benar, mereka tak memperoleh kesempatan untuk duduk istirahat sejenak, kecuali ketika waktu salat tiba. Melihat mereka bekerja, aku jadi berpikir bahwa mereka benar-benar tipe manusia pekerja keras, dan kuat. Seketika rasa banggaku terhadap mereka muncul, lebih kuat.
Tapi sesaat kemudian, aku juga merasakan betapa beratnya beban kerja mereka. Selama ini aku hanya bisa membayangkan--dan kemudian turut merasakan-- semua itu dari keluhan masing-masing, ketika kami berbincang di teras kontrakan. Ya, rasanya memang benar. Beban kerja mereka terlampau berat.
Kota ini sudah kian ramai oleh manusia-manusia lemah dan manja, yang tampaknya tidak begitu peduli bahwa mereka saat ini hidup di zaman yang begitu cepat serta melelahkan. Mereka, manusia-manusia lemah dan manja itu, sedikit-sedikit ingin dilayani dan diberi kenyamanan seolah mereka lupa bahwa semua itu justru akan membuat mereka terlena. Untuk manusia-manusia semacam itulah kedua temanku itu bekerja.
Mereka nyaris bekerja setiap hari. Tanpa jeda libur, kecuali ketika badan dalam kondisi sakit. Mereka harus ada setiap waktu, melayani orang-orang (yang berdatangan ke) kota ini dengan sebaik-baiknya. Undang-undang ketenagakerjaan hampir tak berlaku bagi mereka. Mereka bekerja tiada henti, karena tuntutan atasan, pelanggan, dan juga zaman.
Tunggu. Sampai di sini kau jangan salah kira dulu. Aku tidak sedang mengasihani mereka berdua, karena aku yakin mereka tidak akan suka untuk dikasihani. Aku sangat mengenal mereka. Dikasihani, bagi mereka adalah sama dengan sedang direndahkan martabatnya.