Pemberontakan Puisi dan Matinya Koran di Kota Kami
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.50. Sementara aku masih duduk mematung di depan layar monitor komputerku. Tak ada satu kata pun mampu kutulis. Sepertinya ini hari yang buruk dalam sejarah kepenyairanku.
Tadi pagi, seorang kawan yang bekerja sebagai redaktur sebuah koran lokal meminta aku mengirimkan puisi padanya untuk diterbitkan pada hari Minggu. Aku langsung menyetujuinya karena kupikir aku bisa dan masih punya stok puisi lama yang memang belum pernah kukirimkan ke media massa.
Tapi siang tadi, ketika kulihat dan kubaca lagi, puisi-puisiku memberontak. Mereka tak bersedia kuutus ke media massa biar bisa terbaca oleh ribuan pasang mata. Mereka bilang masih ingin bertapa lebih lama. Kata mereka lagi, orang-orang sekarang sudah malas membaca puisi di koran.
Sudah pukul 00.01 dan aku belum juga menemukan kata untuk kurangkai menjadi puisi.
Hape pintarku berbunyi. Ada pesan WhatsApp masuk. Ternyata dari kawan redaktur yang tadi pagi memesan puisi.
"Puisinya nggak jadi ya. Koran kami sudah mati jam 11.59 tadi."
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 00.15 dan aku belum memutuskan harus bahagia atau berduka.
(2017)
Jumat
Kau tak pernah berlaku khianat; selalu datang dengan suasana khidmat dan penuh berkat.
Sejak semalam, kau telah disambut dengan riang dan gembira. Diiringi bacaan salawat dan kisah tentang para pemuda yang dilindungi Tuhannya.
Pagi tadi, kutemukan senyummu dalam bening embun yang berterbangan dan menempel pada hijau daun-daun.
Dan siang ini, kutemukan indahmu pada wajah para lelaki yang bersih-berseri-seri dan pada senyum ceria anak-anak setelah memasukkan infaq ke kotak amal yang berjalan menghampirinya.
(2017)
Ujian Dalam Secangkir Kopi
Sambil terus mencoba menulis puisi, aku menyesap kopi yang baru saja kubikin.
"Duh Gusti, siang ini kopi terasa nikmat sekali." Batinku mensyukuri rasa kopi.
Tak lama kemudian, suara azan salat Jumat berkumandang, memanggilku untuk segera datang.
Sejenak aku masih hanyut dalam rasa kopi. Tapi semakin lama suara azan terdengar semakin menjadi-jadi, saling susul dan bersahutan. Seolah tahu kalau pendengaranku terkadang membandel dan sering mencoba mengabaikan.
"Tidak Jumatan sekali-kali kan tak mengapa. Menikmati kopi siang-siang begini pasti akan membuatmu banyak menghasilkan puisi-puisi." kata kopi membujukku.
Aku nyengir kuda.
"Iya juga ya," kataku dalam batin seraya menyesapnya lagi.
"Duh Gusti, siang ini kopi terasa nikmat sekali." sekali lagi aku membatin mensyukuri rasa kopi. Kali ini sambil memejamkan mata.
"Kau ini bagaimana? Sama-sama hamba tapi malah mau menjerumuskanku." Kataku tiba-tiba, membantah bujukannya.
Kopiku menguarkan asap dan aromanya. Cantik sekali.
"Santai saja. Tuhan Maha Mengerti. Menikmati kopi dengan penuh rasa syukur setara dengan duduk di masjid sambil bertafakur." bujuk kopi lagi.
Aku tak membantah. Percuma berdebat dengannya. Kesadaranku berkata, ia sedang berilusi karena kebanyakan minum kopi.
Suasana pun menjadi hening. Sementara di luar sana suara azan sudah mereda.
Dalam keheningan itulah kemudian aku teringat sesuatu. Kupandang kopi sekali lagi. Kali ini ia tersenyum. Manis sekali.
Lalu aku segera berganti baju, mengenakan sarung, dan memakai peci. Kemudian bergegas ke masjid, menyusul kopi yang ternyata sudah berangkat dari tadi.
(2017)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI