Di perempatan itu, kulihat kau selalu berdiri menunggu
orang-orang yang tadi pagi tak sempat membaca berita terbaru tentang kotamu.
Kepada mereka, kau tak pernah menawarkan koran-koran pagi itu dengan ucapan. Karena kau mungkin berpikir, telinga orang-orang di kota ini sudah penuh sesak dengan suara bising mesin dan caci maki.
Kepada mereka, kau hanya mengangkat tangan menunjukkan koran-koran itu seraya menatap mata orang-orang kota ini yang kian pandai memalingkan pandangan.
Maka pada judul-judul berita yang berada di halaman depan koran-koran pagi itulah kemudian kau merasa sedikit terbantu. Andai kau punya kenalan banyak wartawan, mungkin kau akan berterima kasih kepada mereka yang telah menuliskan berita dengan bahasa penuh metafora. Tetapi sayang seribu sayang, andai pun berita-berita itu menarik hati untuk dibaca, maka kemungkinan besar mereka akan membelinya pada pagi hari. Bukan kepadamu, di malam hari.
Kepada siapa kaujual koran-koran pagi itu di malam hari begini?
Sementara orang-orang di kota ini sudah semakin menghamba pada jari-jemarinya sendiri: untuk mencari berita yang ingin diketahuinya; untuk mencari lowongan kerja yang ingin dilamarnya; untuk menulis berita tentang dirinya sendiri.
Bu, kepada siapa kaujual koran-koran pagi itu di malam hari begini?
Sementara orang-orang di kota ini semakin miskin hidupnya sehingga tak lagi pernah terpikir untuk membeli koran pagi. Sebab membaca koran pagi, kau mungkin tahu, tak bisa membuat perut menjadi kenyang seperti ketika memakan nasi.
Lalu Bu, sebenarnya kepada siapa kaujual koran-koran pagi itu di malam hari begini?
Apakah kepada para pencari kerja yang selalu kesiangan bangunnya? Apakah kepada mereka yang gampang merasa kasihan melihat perempuan renta sepertimu berjualan koran pagi di malam hari karena mereka langsung ingat kepada ibunya?
Malam ini aku menduga, mungkin sebenarnya kau memang tak pernah menjualnya kepada siapa-siapa. Sebab semua usahamu, bagiku tak bisa diterima logika.
Mungkin, kau memang tak pernah benar-benar menjual koran-koran itu. Sebab kau hanya sedang ingin melihat anak cucumu berlarian dan berpacu saling mendahului tanpa sudi menoleh kanan dan kiri. Kau hanya ingin menyaksikan kebahagiaan mereka setelah menjadi manusia dewasa, penduduk kota.
Mungkin, kau memang tak pernah menjual koran-koran itu. Apalagi di malam hari seperti ini. Sebab kau percaya, setiap hari seperti halnya malam ini kau hanya sedang menjalankan titah dari Ia yang Maha Kaya:
    agar tetap berusaha
    sekuat tenaga
    sampai mati
    dan dilupakan.
2017
Kalimat Pertama
Melalui perantaraanmu aku berharap mereka mampu memahami maksudku.
Di pundakmu kusandarkan takdir cerita-ceritaku. Akan abadikah atau justru musnah tanpa bekas. Akan sampai ke hatikah, atau justru mental lalu menguar ke alam bebas.
Kau laksana pintu yang akan membawaku memasuki ruang-ruang rahasia di dalam kepala. Kau bagai mantra, yang akan membius kesadaran orang-orang hingga paling dasar.
Kau laksana tongkat. Akan selalu menuntunku yang buta; dalam pengembaraanku di rimba kata, menemukan mereka (yang mungkin sedang) rindu dengan cerita dari orang-orang lebih banyak diam dalam hidupnya.
Maka hari ini anak hatiku, kubangunkan engkau dari tidur panjangmu. Temuilah mereka dengan wajah penuh cinta.
2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H