Di perempatan itu, kulihat kau selalu berdiri menunggu
orang-orang yang tadi pagi tak sempat membaca berita terbaru tentang kotamu.
Kepada mereka, kau tak pernah menawarkan koran-koran pagi itu dengan ucapan. Karena kau mungkin berpikir, telinga orang-orang di kota ini sudah penuh sesak dengan suara bising mesin dan caci maki.
Kepada mereka, kau hanya mengangkat tangan menunjukkan koran-koran itu seraya menatap mata orang-orang kota ini yang kian pandai memalingkan pandangan.
Maka pada judul-judul berita yang berada di halaman depan koran-koran pagi itulah kemudian kau merasa sedikit terbantu. Andai kau punya kenalan banyak wartawan, mungkin kau akan berterima kasih kepada mereka yang telah menuliskan berita dengan bahasa penuh metafora. Tetapi sayang seribu sayang, andai pun berita-berita itu menarik hati untuk dibaca, maka kemungkinan besar mereka akan membelinya pada pagi hari. Bukan kepadamu, di malam hari.
Kepada siapa kaujual koran-koran pagi itu di malam hari begini?
Sementara orang-orang di kota ini sudah semakin menghamba pada jari-jemarinya sendiri: untuk mencari berita yang ingin diketahuinya; untuk mencari lowongan kerja yang ingin dilamarnya; untuk menulis berita tentang dirinya sendiri.
Bu, kepada siapa kaujual koran-koran pagi itu di malam hari begini?
Sementara orang-orang di kota ini semakin miskin hidupnya sehingga tak lagi pernah terpikir untuk membeli koran pagi. Sebab membaca koran pagi, kau mungkin tahu, tak bisa membuat perut menjadi kenyang seperti ketika memakan nasi.
Lalu Bu, sebenarnya kepada siapa kaujual koran-koran pagi itu di malam hari begini?
Apakah kepada para pencari kerja yang selalu kesiangan bangunnya? Apakah kepada mereka yang gampang merasa kasihan melihat perempuan renta sepertimu berjualan koran pagi di malam hari karena mereka langsung ingat kepada ibunya?
Malam ini aku menduga, mungkin sebenarnya kau memang tak pernah menjualnya kepada siapa-siapa. Sebab semua usahamu, bagiku tak bisa diterima logika.