“Nanti kalau udah pulang, kamu yang garap sawah ya.” Kata ibu saya beberapa waktu yang lalu saat kami berbincang via telepon.
Mendengar itu, saya jadi terpikir dua hal. Pertama, bahwa sepertinya beliau berharap ketika saya pulang kampung nanti, saya tetap mau menggarap sawahnya. Tetap mau bertani. Dan yang kedua adalah mengingatkan saya perihal usia mereka yang semakin menua, Bapak 78 tahun sementara Ibu 68 tahun, sehingga tidak memungkinkan lagi bagi mereka untuk menggarap sawahnya sendiri. Sedangkan saya adalah anak bungsu, yang secara tradisi harus tinggal membersamai mereka.
Untuk sementara ini, sawah-sawah yang ada tengah digarap oleh 3 kakak saya dengan sistem bagi hasil. Ada yang 50 : 50, ada yang 30 : 70. Namun saat ini mereka cukup kewalahan, karena di samping menggarap sawah orang tua saya, mereka juga harus menggarap sawahnya sendiri, sehingga hasilnya kurang maksimal. Maka dari itu, sangatlah wajar jika orangtua saya berharap kelak saya juga akan turut menggarap sawahnya, dengan sistem yang sama tentu saja.
Hidup di desa dan sebagai anak seorang petani, membuat saya cukup familiar dengan sistem bagi hasil semacam itu. Pada sistem 50 : 50, biasanya biaya modal tanam berikut perawatannya akan ditanggung secara bersama-sama oleh si penggarap sawah dan si empunya sawah. Begitu juga dengan hasilnya, akan dibagi dua setelah dikurangi biaya operasional panen.
Sementara untuk sistem 30 : 70, sebagian besar biaya tanam berikut perawatannya akan ditanggung oleh si penggarap sawah. Si empunya sawah hanya akan membantu ala kadarnya. Biasanya hanya membantu sepertiga dari seluruh kebutuhan pupuk. Pun demikian dengan pembagian hasil panen, si empunya sawah hanya akan menerima sepertiga dari hasil panen bersih, sisanya (70 persennya) adalah untuk si penggarap sawah.
Pada sistem bagi hasil semacam itu, tidak ada tuntutan yang memberatkan kepada penggarap jika ternyata hasil panennya buruk. Terlebih jika penyebabnya adalah hal-hal di luar kesengajaan dan kendali manusia, seperti ketidakpastian musim, bencana alam, dan serangan hama yang tak terkendali. Hal itu sudah menjadi kesepakatan awal. Untung sama dibagi, rugi sama ditanggung.
Saat saya masih duduk di bangku SMP, saya bahkan pernah menjadi pelaku sistem bagi hasil ini. Saat itu, karena saya juga memelihara kambing hasil pemberian kakak perempuan saya yang nomor 6, saya kemudian dititipi seekor kambing jantan seharga Rp300.000 oleh Mas Tonik, tetangga saya. Akadnya pun juga bagi hasil dengan skema 50 : 50.
Saya ingat sekali, setelah beberapa waktu lamanya dan kambing sudah semakin dewasa, kambing tersebut kemudian dijual dengan harga Rp700.000,-, sehingga ada untung Rp400.000,- yang kami dapatkan. Untung tersebut kemudian kami bagi dua. Saya mendapatkan Rp200.000,-. Uang segitu, bagi saya saat itu, tentu sudah sangat berharga dan menjadi uang pertama yang saya hasilkan dengan jerih payah sendiri.
Kakak laki-laki saya yang nomor dua, Mas Umar, juga telah sangat berpengalaman dalam hal ini. Dulu ketika masih awal-awal berumah tangga, menggarap sawah orang lain juga ia lakoni untuk menambah penghasilannya, di samping menggarap sawahnya sendiri.
Dulu ia menggarap sawah milik Bapak Mustajab, orang terkaya di kampung kami, sampai beberapa tahun lamanya. Karena saking luasnya sawah yang dimiliki Bapak Tajab, maka pengelolaannya kemudian diserahkan kepada para tetangganya, dengan sistem 30 : 70 (mertelu: [Jawa]).
Namun untuk dapat menjadi penggarap sawah orang lain, juga bukan hal mudah. Orang tersebut sekurang-kurangnya harus dapat dipercaya dan memiliki pengalaman bertani cukup mumpuni. Karena itu, Pak Tajab juga tidak sembarangan mengamanahkan sawahnya kepada sembarang orang.