Mohon tunggu...
A Darto Iwan S
A Darto Iwan S Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis bukan karena tahu banyak, tapi ingin tahu lebih banyak.

Menulis sebagai salah satu cara untuk healing :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

AI Musuh Baru Literasi Digital

21 Januari 2025   07:50 Diperbarui: 21 Januari 2025   07:50 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia serba instan. Informasi tersedia di ujung jari, hanya dengan sekali sentuh layar. Kecerdasan buatan (AI) telah merevolusi cara kita mengakses informasi, namun di balik kemudahan itu, bisakah kita mengabaikan bayang-bayang ancaman yang mengintai? Apakah kemudahan ini justru menumpulkan minat baca kita, salah satu kunci literasi yang selama ini kita banggakan? Pertanyaan ini semakin relevan di tengah maraknya teknologi AI yang menawarkan informasi secara cepat dan mudah, namun seringkali dangkal dan kurang mendalam.

Era digital yang diramaikan oleh kecanggihan AI memang menawarkan akses informasi yang tak tertandingi. Kita bisa mendapatkan ringkasan berita dalam hitungan detik, menerjemahkan bahasa asing secara real-time, bahkan berdiskusi dengan chatbot yang seolah-olah memahami setiap pertanyaan kita. Namun, di balik kemudahan ini, apakah kita masih meluangkan waktu untuk membaca buku setebal ratusan halaman? Atau apakah kita lebih memilih scroll tanpa henti di media sosial, menyerap informasi sepotong-sepotong tanpa kedalaman? Data dari UNESCO menunjukkan tren penurunan minat baca di beberapa negara, meskipun data spesifik untuk pengaruh AI masih terbatas. Namun, korelasi antara peningkatan penggunaan teknologi digital dan penurunan waktu yang dihabiskan untuk membaca buku fisik sudah cukup terlihat.

Menurunnya minat baca bukanlah isu sepele. Bayangkan, bagaimana kita bisa berpikir kritis dan analitis jika kita hanya mengonsumsi informasi yang sudah disederhanakan, bahkan terkadang disaring dan dibentuk sedemikian rupa? Bagaimana kita bisa mengembangkan kemampuan komunikasi dan ekspresi diri yang baik jika kita jarang berinteraksi dengan teks yang kompleks dan kaya akan nuansa bahasa? Bukankah membaca adalah jembatan menuju pemahaman yang lebih dalam, wawasan yang lebih luas, dan kemampuan berpikir yang lebih tajam? Studi menunjukkan korelasi positif antara kemampuan membaca dan kemampuan memecahkan masalah kompleks, kemampuan berpikir kritis, dan bahkan kesuksesan ekonomi. Sebuah masyarakat dengan tingkat literasi rendah akan lebih rentan terhadap manipulasi informasi dan sulit untuk berkembang secara berkelanjutan.

Peran AI dalam fenomena ini cukup signifikan. AI memudahkan kita untuk mendapatkan informasi secara instan, namun seringkali informasi tersebut disajikan secara terfragmentasi dan dangkal. Kita terbiasa dengan konten visual yang cepat dan mudah dicerna, sementara membaca buku membutuhkan kesabaran, fokus, dan kedalaman pemahaman yang lebih tinggi. Akibatnya, banyak di antara kita yang lebih memilih untuk menonton video pendek daripada membaca artikel panjang, meskipun artikel tersebut mungkin memberikan informasi yang lebih komprehensif dan akurat. Fenomena ini diperparah oleh algoritma media sosial yang dirancang untuk memaksimalkan waktu penggunaan, seringkali dengan menampilkan konten yang bersifat sensasional dan menghibur, bukannya informatif dan mendidik. Apakah kita telah terjebak dalam lingkaran setan kemudahan yang justru membatasi potensi kita?

Contohnya sederhana. Bayangkan kita ingin memahami suatu isu kompleks, misalnya perubahan iklim. Kita bisa dengan mudah mencari ringkasan di Google, atau bahkan bertanya pada chatbot seperti ChatGPT. Namun, pemahaman yang komprehensif dan nuansa yang lebih dalam hanya bisa didapatkan melalui membaca buku atau jurnal ilmiah yang membahas isu tersebut secara mendalam. Ringkasan yang dihasilkan AI, meskipun informatif, seringkali menghilangkan konteks, nuansa, dan kompleksitas isu tersebut. Kita kehilangan pemahaman tentang berbagai perspektif, argumen yang saling bertentangan, dan implikasi jangka panjang dari masalah tersebut. Apakah kita rela kehilangan kedalaman pemahaman hanya demi kecepatan akses informasi?

Lebih lanjut, AI juga menghadirkan tantangan baru dalam hal verifikasi informasi. Kemudahan dalam menghasilkan teks dan gambar sintetis melalui AI meningkatkan risiko penyebaran informasi palsu atau hoaks. Kemampuan untuk membedakan antara informasi yang valid dan informasi yang menyesatkan menjadi semakin penting, dan kemampuan ini hanya bisa diasah melalui literasi yang kuat. Sebuah studi oleh Stanford University menunjukkan bahwa bahkan mahasiswa yang terbiasa dengan teknologi digital masih kesulitan untuk membedakan antara berita palsu dan berita asli. Ini menunjukkan betapa pentingnya kemampuan membaca kritis dan analitis dalam era informasi yang dibanjiri oleh AI.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Menjaga minat baca di era AI bukanlah hal yang mustahil. Kita bisa mulai dengan memilih bahan bacaan yang menarik dan relevan dengan minat kita. Jangan ragu untuk mencoba berbagai genre, dari fiksi hingga non-fiksi, dari novel hingga buku ilmiah populer. Manfaatkan teknologi AI secara bijak; gunakan AI untuk menemukan buku yang sesuai dengan minat kita, atau dengarkan audiobook saat kita melakukan aktivitas lain. Aplikasi seperti Goodreads dan Storytel dapat membantu kita menemukan buku baru dan melacak kemajuan membaca kita. Yang terpenting adalah konsistensi. Luangkan waktu khusus setiap hari untuk membaca, meskipun hanya beberapa halaman saja. Tetapkan target membaca, misalnya satu bab per hari atau sejumlah halaman tertentu. Gabunglah dengan komunitas membaca, baik secara online maupun offline, untuk saling berbagi dan berdiskusi. Platform seperti Goodreads dan Bookstagram menyediakan ruang untuk berinteraksi dengan sesama pembaca.

Pemerintah dan institusi pendidikan juga memiliki peran penting dalam mendorong minat baca. Peningkatan kualitas pendidikan literasi di sekolah, fasilitasi akses terhadap buku dan sumber bacaan, serta kampanye publik yang efektif sangatlah krusial. Perpustakaan digital dan program literasi yang didukung oleh pemerintah dapat meningkatkan akses terhadap bahan bacaan berkualitas. Sekolah perlu mengintegrasikan teknologi AI secara bijak dalam proses pembelajaran, bukan hanya sebagai alat untuk mengakses informasi, tetapi juga sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan analitis. Kita perlu menciptakan ekosistem yang mendukung dan mendorong budaya membaca di tengah gempuran informasi digital. Investasi dalam infrastruktur perpustakaan, baik fisik maupun digital, juga sangat penting.

Pertanyaannya adalah bagaimana membuat membaca menjadi menyenangkan dan relevan untuk generasi mendatang? Ada beberapa hal yang sebenarnya bisa kita lakukan. Manfaatkan Teknologi yang ada saat ini dengan bijak. Misalnya dengan memanfaatkan audiobook. Jika Anda kesulitan meluangkan waktu untuk membaca, cobalah mendengarkan audiobook saat Anda berolahraga, bepergian, atau melakukan pekerjaan rumah tangga. Atau pergunakanlah e-reader. E-reader menawarkan kemudahan akses ke berbagai buku dan fitur-fitur seperti penyesuaian ukuran font dan pencahayaan. Namun, tetap batasi waktu penggunaan layar.

Dan yang paling penting, sadarilah bahwa AI adalah alat bantu, bukan pengganti. Gunakan AI untuk menemukan buku yang sesuai dengan minat Anda, mendapatkan ringkasan plot, atau menerjemahkan buku berbahasa asing. Namun, jangan biarkan AI menggantikan pengalaman membaca yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun