Mohon tunggu...
Darrel Rondo
Darrel Rondo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - CC'26

saya senang berpikir tentang berpikir dan juga tidur siang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menelusuri Jejak-Jejak Totalitarianisme Gaya Baru

1 Mei 2024   11:00 Diperbarui: 1 Mei 2024   18:29 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setidaknya Mencoba

Pada Jumat, 19 April 2024, beredar suatu lagu unik yang sangat mengejutkan seluruh penghuni bumi. Lagu tersebut berjudul, "Friendly Father", dan berisikan nyanyian yang menyanjung Kim Jong-Un, pemimpin tertinggi Korea Utara. Sebagai salah satu pemimpin negara yang kerap dijadikan bahan lelucon, lagu ini pun langsung menjadi viral di dunia maya dengan cepat. 

Berbagai macam reaksi terhadap lagu "Friendly Father" timbul. Namun, sebagian besar netizen merasa terhibur. "Damn... This actually slaps hard. Finna add that to my gym playlist", ucap salah satu pengguna YouTube yang menonton video lagu "Friendly Father". Selain komentar tersebut, masih ada banyak lagi komentar netizen yang menertawai lagu "Friendly Father" secara literal maupun sekadar sarkas.

Siap Salah!

Di balik kelucuan lagu "Friendly Father", terletak suatu kenyataan pahit yang harus disadari para netizen. Korea Utara adalah sebuah negara yang bersifat totaliter. Sistem pemerintahan negara tersebut sangatlah tersentralisasi karena pembatasan partisipasi rakyat di dalam politik. Rakyat Korea Utara juga hidup dalam penuh ketakutan mengingat negara memiliki kendali politik dan ekonomi yang sangat besar. Rumah mereka pun secara legal menjadi milik pemerintah.

Kehidupan di bawa teror menghilangkan jati diri manusia. Mereka yang hidup di dalam ketakutan tidak bisa mengikuti hasrat pribadi. Alasannya bahwa Superego sosial yang amat kuat telah mengkodekan segala perilaku dan tindakan mereka. Dengan begitu, segala aktivitas ditujukan menuju suatu tujuan pasti yang tunggal. Dalam konteks ini, masyarakat Korea Utara harus mempersembahkan setiap kegiatan mereka supaya menyanjung tinggi Kim Jong-Un.

Segala struktur sosial yang bersifat represif terhadap kebebasan individu disebut sistem yang totaliter. Penerapan sistem seperti ini membatasi segala jenis deviasi yang dapat dilakukan seseorang. Instrumen sebagai sarana distribusi ideologi totalitarianisme bersifat beragam. Dalam konteks ini, instrumen dimaknai sebagai bentuk emosi yang terdistribusi kepada masyarakat. Tujuan penyebaran emosi tersebut pun untuk mengendalikan para penduduk. Ada yang menggunakan teror, seperti Korea Utara. Namun, ada juga suatu instrumen yang kerap diabaikan, yaitu keacuhan.

Ignorance is Strength

Dalam masa kontemporer, teror sebagai media menjadi semakin tidak efektif. Kesadaran manusia abad ini telah sangat meningkat akibat meluasnya pengetahuan. Alhasil, rakyat yang tertindas pun akan sadar bahwa mereka seharusnya mendapatkan akses kebebasan. Dengan begitu, para penguasa yang rakus harus menemukan suatu instrumen baru.

Pada hemat saya, instrumen baru tersebut berupa diseminasi keacuhan. Masyarakat kontemporer dimabukkan oleh informasi yang sangat banyak. Para pengguna Internet juga malas menginvestigasi kebenaran informasi. Alhasil, kita hidup di suatu dunia yang penuh keacuhan. Manusia menerima informasi tanpa ada kepedulian menguji kredibilitasnya.

Padahal, sifat netral sumber segala informasi selalu mencurigakan. Tidak ada yang namanya objektivitas atau sikap netral. Sebuah media berita juga tidak luput dari bias apapun. Manusia selalu membawa nuansa dalam interaksinya terhadap dunia. Alhasil, pemaknaan setiap orang selalu berbeda. Cara pandang objektif itu nihil, hanya ada perspektif konvensional yang tampak alami.

Berangkat dari pemahaman ini, kita seharusnya lebih hati-hati dalam menyaring informasi yang bertebaran di Internet. Namun, sikap yang terbalik justru terlihat mendominasi psike massa Indonesia. Tingkat literasi masyarakat masih rendah. Akibatnya, masyarakat Indonesia menjadi buta dan lumpuh dalam bernegara. Alasannya bahwa mereka sendiri bertumpu di atas pengetahuan yang palsu.

Belajar dari Kisah Zaman Dahulu

Dunia Baru yang Gemilang adalah sebuah novel tentang kediktatoran yang ditulis oleh Aldous Huxley. Novel ini mengisahkan suatu pemerintah totaliter yang menguasai rakyatnya lewat overdosis kesenangan. Berbagai macam sarana pemuasan hasrat, seperti obat bius dan pesta seks bebas dilegalkan, bahkan didukung pemerintah. Melimpahnya hiburan akhirnya membutakan masyarakat yang ada di dalam novel tersebut.

Segala bentuk fiksi selalu disertai dengan makna yang kaya. Dalam konteks ini, kita dapat belajar cara kerja kekuasaan lewat kastrasi sukarela dari masyarakat. Banjirnya informasi dan sarana pemuasan, seperti media sosial, tidak boleh menghilangkan penjagaan kita. Suatu upaya kontrol rahasia dapat saja berlangsung saat kita sibuk menikmati sirup teknologi.

Lookism dalam Lensa Kekuasaan dan Politik

Kedangkalan adalah salah satu ciri khas masyarakat kontemporer. Kita tidak lagi melihat "ke dalam". Namun, kita kini melihat apa yang tampak "di depan". Dalam rumusan McLuhan (1964), The medium is the message. Masyarakat kini telah impoten dalam melihat apa yang di balik layar. Mereka hanya peduli pada komponen superfisial suatu informasi.

Salah satu bukti hipotesis ini terlihat saat Pemilu 2024. Tidak sedikit masyarakat yang memilih salah satu paslon hanya lewat apa yang tampak. Ada yang memilih seorang paslon karena gemoy. Terdapat pula mereka yang memilih paslon tertentu hanya karena seiman. 

Tendensi evaluasi yang dangkal ini membuka potensi manipulasi opini kolektif. Penguasa dapat saja membaca tren apa yang disukai khalayak umum. Lalu, mereka dapat menciptakan sebuah propaganda berlandaskan hal yang disenangi masyarakat. Berdampingan dengan masyarakat yang illiterate, kontrol sosial pun menjadi tak terhindarkan. Totalitarianisme semacam itu adalah konsekuensi logis dari masyarakat yang pasif dan buta.

I Yayat U Santi!

Frasa Minahasa, "I Yayat U Santi" memiliki makna yang menarik. Arti frasa tersebut adalah, "Angkat dan Acungkanlah Pedangmu". Dalam dunia kontemporer penuh tipu, kita harus siap berperang. Pertempuran akan kita lalui secara konstan dalam setiap detik kehidupan digital. Oleh karena itu, masyarakat kini harus menyiapkan pedangnya masing-masing untuk bertumpah darah.

Apa yang dimaksud dengan pedang itu? Saya artikan pedang dalam konteks ini sebagai koalisi dari akal dengan hati. Seseorang harus mampu berpikir dengan rasa dan melihat sambil mengendus. Mencari jejak dan melakukan verifikasi informasi adalah tugas yang berat. Tidak ada pihak yang aman bagi kita untuk melepas penjagaan. Hanya kita sendiri, sang Cogito, yang dapat mengevaluasi korespondensi informasi dengan realitas. Dengan demikian, segala bentuk pemerintahan totaliter segera runtuh sesaat penduduknya menolak pengkodean simulakra para penguasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun