Padahal, sifat netral sumber segala informasi selalu mencurigakan. Tidak ada yang namanya objektivitas atau sikap netral. Sebuah media berita juga tidak luput dari bias apapun. Manusia selalu membawa nuansa dalam interaksinya terhadap dunia. Alhasil, pemaknaan setiap orang selalu berbeda. Cara pandang objektif itu nihil, hanya ada perspektif konvensional yang tampak alami.
Berangkat dari pemahaman ini, kita seharusnya lebih hati-hati dalam menyaring informasi yang bertebaran di Internet. Namun, sikap yang terbalik justru terlihat mendominasi psike massa Indonesia. Tingkat literasi masyarakat masih rendah. Akibatnya, masyarakat Indonesia menjadi buta dan lumpuh dalam bernegara. Alasannya bahwa mereka sendiri bertumpu di atas pengetahuan yang palsu.
Belajar dari Kisah Zaman Dahulu
Dunia Baru yang Gemilang adalah sebuah novel tentang kediktatoran yang ditulis oleh Aldous Huxley. Novel ini mengisahkan suatu pemerintah totaliter yang menguasai rakyatnya lewat overdosis kesenangan. Berbagai macam sarana pemuasan hasrat, seperti obat bius dan pesta seks bebas dilegalkan, bahkan didukung pemerintah. Melimpahnya hiburan akhirnya membutakan masyarakat yang ada di dalam novel tersebut.
Segala bentuk fiksi selalu disertai dengan makna yang kaya. Dalam konteks ini, kita dapat belajar cara kerja kekuasaan lewat kastrasi sukarela dari masyarakat. Banjirnya informasi dan sarana pemuasan, seperti media sosial, tidak boleh menghilangkan penjagaan kita. Suatu upaya kontrol rahasia dapat saja berlangsung saat kita sibuk menikmati sirup teknologi.
Lookism dalam Lensa Kekuasaan dan Politik
Kedangkalan adalah salah satu ciri khas masyarakat kontemporer. Kita tidak lagi melihat "ke dalam". Namun, kita kini melihat apa yang tampak "di depan". Dalam rumusan McLuhan (1964), The medium is the message. Masyarakat kini telah impoten dalam melihat apa yang di balik layar. Mereka hanya peduli pada komponen superfisial suatu informasi.
Salah satu bukti hipotesis ini terlihat saat Pemilu 2024. Tidak sedikit masyarakat yang memilih salah satu paslon hanya lewat apa yang tampak. Ada yang memilih seorang paslon karena gemoy. Terdapat pula mereka yang memilih paslon tertentu hanya karena seiman.Â
Tendensi evaluasi yang dangkal ini membuka potensi manipulasi opini kolektif. Penguasa dapat saja membaca tren apa yang disukai khalayak umum. Lalu, mereka dapat menciptakan sebuah propaganda berlandaskan hal yang disenangi masyarakat. Berdampingan dengan masyarakat yang illiterate, kontrol sosial pun menjadi tak terhindarkan. Totalitarianisme semacam itu adalah konsekuensi logis dari masyarakat yang pasif dan buta.
I Yayat U Santi!
Frasa Minahasa, "I Yayat U Santi" memiliki makna yang menarik. Arti frasa tersebut adalah, "Angkat dan Acungkanlah Pedangmu". Dalam dunia kontemporer penuh tipu, kita harus siap berperang. Pertempuran akan kita lalui secara konstan dalam setiap detik kehidupan digital. Oleh karena itu, masyarakat kini harus menyiapkan pedangnya masing-masing untuk bertumpah darah.