Mohon tunggu...
Darrel Rondo
Darrel Rondo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - CC'26

saya senang berpikir tentang berpikir dan juga tidur siang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Logika Oedipal dan Budaya Massa

25 Maret 2024   20:19 Diperbarui: 25 Maret 2024   20:21 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari The Garden of Earthly Delights oleh Hieronymus Bosch

Kebudayaan massa, suatu istilah yang terdengar cukup teknis tetapi sebenarnya sangat akrab dalam kehidupan kita. Dari namanya yang menyangkut kosakata "massa", dapat kita raba bahwa kebudayaan massa adalah suatu jenis kebudayaan yang populer di kalangan masyarakat. Popularitas yang tumbuh secara luas ini disebabkan oleh kenyataan bahwa produk kebudayaan massa dihasilkan secara massal dan dipromosikan secara besar-besaran kepada publik juga.

Produksi kebudayaan dilakukan secara massal mengikuti suatu logika kapitalisme yang mendewakan profit. Hal ini telah disampaikan oleh Adorno, T. (seperti dikutip dalam Ibrahim, I., 1997) yang menganggap bahwa produksi barang di awal abad ke-20 didorong atas insentif mendapatkan keuntungan dan bukan semata demi pemenuhan keinginan atau kebutuhan. 

Pola bekerja produksi massal menuntut sebuah standarisasi. Alhasil, desakan tersebut menuntut sebuah penyeragaman produk budaya dan kalau begitu, selera dari masyarakat juga akan ikut terhomogenisasi (Ibrahim, I., 1997). Maka, dapat kita lihat melalui ini bahwa produk budaya (lagu, film, pementasan, dll.) yang disajikan kepada khalayak umum sebenarnya telah direncanakan sesuai standar yang paling efektif membawa keuntungan maksimal. 

Dengan demikian, kebudayaan massa dapat kita definisikan sebagai suatu kebudayaan yang terus-menerus diproduksi ulang dan disebarkan secara luas ke khalayak umum atas suatu standar yang seragam dan konsisten menciptakan profit. Bila merujuk pada definisi tersebut, maka pencirian Kuntowijoyo terhadap kebudayaan massa pun masuk akal. Kuntowijoyo menyebutkan tiga ciri dari kebudayaan massa, yaitu objektivasi, alienasi, dan pembodohan (Ibrahim, I., 1997).

Objektivasi berarti masyarakat yang berpartisipasi sebagai konsumen dalam kebudayaan massa. Mereka hanya menerima produk kebudayaan yang sudah jadi dan mereka tidak turut andil dalam menciptakan kebudayaan tersebut. Dengan begitu, alienasi juga menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan mengingat khalayak akan merasa terasing dengan diri mereka sendiri karena produk budaya yang mereka terima belum tentu apa yang mereka inginkan dan senangi. Oleh karena itu, pembodohan pun terjadi akibat dari masyarakat yang gagal mengenali hasrat terdalam diri mereka dalam memproduksi bentuk kebudayaan pribadi yang unik (Ibrahim, I., 1997).

Secara garis besar, kebudayaan massa mengakibatkan masyarakat menjadi mati. Masyarakat secara luas hanya sebatas konsumen. Mereka mengidami suatu standar dan tidak mengikuti hasrat mereka sendiri. Hal ini seakan-akan bahwa seorang individu telah benar-benar kehilangan jati dirinya yang ekspresif karena direpresi suatu ketetapan kapitalis.

Gejala semacam ini membuat saya melihat bahwa kebudayaan massa sangat berpengaruh dalam pembentukan Subjek Oedipal. Menurut Hartono, A. (2007), Subjek Oedipal adalah hasil dari monopoli sosial yang mengakibatkan subjek membiarkan hasratnya terperangkap dan dimanipulasi oleh mesin sosial. Istilah mesin sosial dalam konteks ini dapat dipahami sebagai suatu kolektivitas antar individu yang bergerak mengaktualisasikan sebuah konsensus (dalam konteks ini, apa yang sewajarnya dihasrati dan dikonsumsi seseorang).

Subjek Oedipal adalah hasil dari segitiga Oedipus dalam awal kehidupan seorang manusia sejak bayi. Mengikuti tradisi Lacanian, manusia (Oedipus) dilihat sebagai makhluk yang dilucuti dari hasrat pribadinya (Ibu) karena sebuah tekanan untuk tunduk pada otoritas sosial (Ayah); baca Oedipus, Ibu, dan Ayah secara metaforis dan bukan literal! Dorongan untuk masuk ke dalam lingkup sosial ini menuntut manusia memiliki sebuah identitas yang menjadi rumahnya. Hal ini dikarenakan hasrat sang individu telah dilempar pada kode-kode sosial tertentu.

Perlu diketahui bahwa segitiga Oedipus ini dibangun atas dasar logika oedipal. Prinsip dasar logika ini adalah bahwa manusia adalah sesosok makhluk yang serba kekurangan. Manusia dilihat memiliki sebuah hasrat yang kaya tetapi hasrat tersebut menuntut pemenuhan secara konstan. Di sisi lain, pemenuhan tersebut sulit terlaksana mengingat hasrat tidak memiliki batas eksterior sehingga ia ingin terus menjelajah.

Esensi dasar dari manusia dengan begitu adalah produktif. Kita semua memiliki hasrat yang penuh potensial tetapi jarang kita pakai dalam keseharian kita. Dalam konteks artikel ini, kebudayaan telah menjadi suatu produk massa yang terstandarisasi. Kita sebagai khalayak pun menerima secara pasif produk-produk tersebut sebagaimana ia telah ditawarkan lewat media massa.

Suatu hari saya pernah menonton suatu video TikTok yang menarik (sayangnya, saya lupa menyimpan jadi tidak bisa disitasi tautannya). Seorang pemuda ditanyai pendapatnya tentang industri K-Pop dan ia menjawab bahwa ia membencinya. Alasannya bahwa ia melihat bahwa para idol dan musik K-Pop seakan diproduksi secara massal dengan segala "kesempurnaan" mereka. 

Sebagai penggemar K-Pop sendiri saya harus secara berat hati mengakui realitas ini. K-Pop telah menjadi suatu bentuk kebudayaan massa yang merajalela di dalam masyarakat global. Standar fisik yang ekstrem dan lagu yang kurang inovatif memicu suatu pembodohan dalam bentuk sifat pasif konsumsi khalayak.

Acuan dan standar kebudayaan juga merebak pada tahap simbolisasi figur. Di dalam Hollywood, kita mengenal ikon-ikon populer yang ramai beredar di media sosial maupun periklanan fisik. Contohnya, Nicki Minaj sebagai ikon HipHop perempuan dan Taylor Swift sebagai ikon musik pop secara umum pada abad ini.

Simbolisasi kuat yang terpaut pada satu sosok tertentu sebagai representasi dari suatu nilai populer membuat massa berhasrat menjadi mereka. Hal ini dikarenakan khalayak yang telah disajikan nilai-nilai kebudayaan massa. Mereka pun secara tak sadar mengarahkan segala hasrat mereka untuk mengonsumsi hal-hal sekecil apapun yang membangun puzzle para ikon populer.

Dalam konteks tersebut, masyarakat yang teroedipalisasi menjadi subjek-subjek yang serba nurut dan konsumtif. Industri memasarkan produk-produk budaya homogen dan memaksa khalayak secara tidak langsung untuk mengonsumsinya. Manusia yang telah lelah akibat pekerjaan ataupun studi sehari-harinya secara pasif menerima pemasaran tersebut. Mereka menjadi sebatas konsumen yang mati secara akal menghisap aliran kode populer yang membentuk kesadaran semu dalam diri mereka.

Bahaya dari kebudayaan massal sudah jelas. Ia semakin mengukuhkan Subjek Oedipal yang anti-produksi. Represi radikal ini pada hemat saya, harus kita lawan. Manusia adalah suatu makhluk yang produktif dan dinamis. Saya pikir kita harus mampu keluar dari arus produk budaya massal yang tampil lewat media sosial, terutama TikTok, Reels, dan Shorts. Media instan semacam itu semakin mematikan otak kita dan membuat kita buta terhadap kejamnya sistem produksi berdasarkan standar homogen.

Langkah pertama untuk keluar dari perangkap kebudayaan massa adalah mengenali diri kita sendiri. Hasrat yang kita miliki harus kita ajak kencan, lalu kita berkenalan dengan lebih dalam. Lantas, kita pun akan mampu mengetahui ekspresi budaya semacam apa yang mewakili diri kita sepenuhinya.

Pengejawantahan hasrat diri kita juga harus dinamis. Menemukan satu ekspresi (misalnya, saya ternyata sangat beresonansi dengan musik reggae) bukan berarti kita berhenti pada satu ekspresi itu saja. Sekali lagi saya tekankan, manusia tidak punya batas pemenuhan hasrat karena sifat utamanya yang produktif. Hasrat memang bisa mengonsumsi secara sementara tetapi ia akan terus mau mencari. Oleh karena itu, tindakan "mencari" itu yang menjadi perhatian utama kita semua.

Menemukan diri sendiri saya rasa adalah kewajiban. Setiap individu itu unik atas keberadaan dan potensi virtual mereka. Sangat tidak manusiawi apabila kita dipaksakan mengonsumsi secara pasif satu produk budaya saja. Maka, kita pun harus sadar dan menolak oedipalisasi diri. Secara ringkas, kita harus aktif memproduksi produk ekspresi kita masing-masing (budaya).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun