Sebagai penggemar K-Pop sendiri saya harus secara berat hati mengakui realitas ini. K-Pop telah menjadi suatu bentuk kebudayaan massa yang merajalela di dalam masyarakat global. Standar fisik yang ekstrem dan lagu yang kurang inovatif memicu suatu pembodohan dalam bentuk sifat pasif konsumsi khalayak.
Acuan dan standar kebudayaan juga merebak pada tahap simbolisasi figur. Di dalam Hollywood, kita mengenal ikon-ikon populer yang ramai beredar di media sosial maupun periklanan fisik. Contohnya, Nicki Minaj sebagai ikon HipHop perempuan dan Taylor Swift sebagai ikon musik pop secara umum pada abad ini.
Simbolisasi kuat yang terpaut pada satu sosok tertentu sebagai representasi dari suatu nilai populer membuat massa berhasrat menjadi mereka. Hal ini dikarenakan khalayak yang telah disajikan nilai-nilai kebudayaan massa. Mereka pun secara tak sadar mengarahkan segala hasrat mereka untuk mengonsumsi hal-hal sekecil apapun yang membangun puzzle para ikon populer.
Dalam konteks tersebut, masyarakat yang teroedipalisasi menjadi subjek-subjek yang serba nurut dan konsumtif. Industri memasarkan produk-produk budaya homogen dan memaksa khalayak secara tidak langsung untuk mengonsumsinya. Manusia yang telah lelah akibat pekerjaan ataupun studi sehari-harinya secara pasif menerima pemasaran tersebut. Mereka menjadi sebatas konsumen yang mati secara akal menghisap aliran kode populer yang membentuk kesadaran semu dalam diri mereka.
Bahaya dari kebudayaan massal sudah jelas. Ia semakin mengukuhkan Subjek Oedipal yang anti-produksi. Represi radikal ini pada hemat saya, harus kita lawan. Manusia adalah suatu makhluk yang produktif dan dinamis. Saya pikir kita harus mampu keluar dari arus produk budaya massal yang tampil lewat media sosial, terutama TikTok, Reels, dan Shorts. Media instan semacam itu semakin mematikan otak kita dan membuat kita buta terhadap kejamnya sistem produksi berdasarkan standar homogen.
Langkah pertama untuk keluar dari perangkap kebudayaan massa adalah mengenali diri kita sendiri. Hasrat yang kita miliki harus kita ajak kencan, lalu kita berkenalan dengan lebih dalam. Lantas, kita pun akan mampu mengetahui ekspresi budaya semacam apa yang mewakili diri kita sepenuhinya.
Pengejawantahan hasrat diri kita juga harus dinamis. Menemukan satu ekspresi (misalnya, saya ternyata sangat beresonansi dengan musik reggae) bukan berarti kita berhenti pada satu ekspresi itu saja. Sekali lagi saya tekankan, manusia tidak punya batas pemenuhan hasrat karena sifat utamanya yang produktif. Hasrat memang bisa mengonsumsi secara sementara tetapi ia akan terus mau mencari. Oleh karena itu, tindakan "mencari" itu yang menjadi perhatian utama kita semua.
Menemukan diri sendiri saya rasa adalah kewajiban. Setiap individu itu unik atas keberadaan dan potensi virtual mereka. Sangat tidak manusiawi apabila kita dipaksakan mengonsumsi secara pasif satu produk budaya saja. Maka, kita pun harus sadar dan menolak oedipalisasi diri. Secara ringkas, kita harus aktif memproduksi produk ekspresi kita masing-masing (budaya).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H