Mohon tunggu...
Darrel Rondo
Darrel Rondo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - CC'26

saya senang berpikir tentang berpikir dan juga tidur siang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apakah Agama Menghalangi Kemampuan Berpikir?

21 Maret 2024   18:49 Diperbarui: 21 Maret 2024   19:23 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa individu masyarakat Indonesia telah terekspos pada gagasan-gagasan freethinking. Gagasan ini menuntut seorang pribadi harus diberikan hak sebebas-bebasnya untuk berpikir secara luas. Alhasil, tampak bagi para freethinker ini bahwa agama ternyata menjadi suatu penghalang yang menyeramkan. Mereka melihat bahwa agama berfungsi sebagai polisi yang siap mendisiplin pikiran mereka sehingga tak sedikit individu yang takut berpikir secara luas sampai ke ranah "radikal".

Saya sendiri setuju dalam beberapa aspek argumentasi para freethinker ini. Melalui lensa Deleuzian, saya dapat melihat bahwa agama adalah bentuk teritorialisasi. Namun, pada saat yang sama pun saya tidak ada masalah dengan hal ini. Toh, sains normal juga adalah sebuah teritorialisasi. Keduanya identik hanya berbeda dari segi epistemologinya saja.

Pada titik ini, Anda mungkin kebingungan apa yang dimaksud dengan teritorialisasi dan alasan saya menyamakan agama dengan sains. Bukankah keduanya berbeda? Territorialisasi bisa dipahami juga sebagai aktualisasi mengingat territorialisasi dapat dimaknai sebagai sebuah pemberian identitas dan secara inheren, pembentukan batas-batas teritori dari sesuatu di dalam realitas. 

Contoh sederhana dari territorialisasi dapat ditinjau dari sisi seorang individu. Apabila saya mengaku bahwa agama saya sebagai Kristen Ortodoks, saya akan mengaktualisasikan sesuatu dari alam virtualitas yang saya bawa seiring dengan keberadaan saya. 

Virtualitas dalam konteks ini dilihat sebagai suatu possibilitas tanpa batas mengingat ia bisa dipandang secara gamblang sebagai potensi-potensi versi diri saya. Identitas Kristen Ortodoks telah saya bawa ke dalam alam aktual sehingga lahir batas-batas pribadi yang muncul akibat identifikasi saya tersebut.

Batasan tersebut tidak bersifat negatif pada dasarnya. Menurut Todd, M. (2005) Territorialization is not the enemy to be overcome. Or rather, it only becomes the enemy when we become blind to deterritorialization. 

Hidup adalah soal aktualisasi karena saya dan Anda hidup di dunia yang aktual. Namun, kita semua harus mengingat bahwa ada dunia virtual di luar sana. Tak sebatas virtualitas diri saja, seluruh keberadaan realitas juga hadir secara virtual dalam bentuk possibilitas tanpa batas. Salah satu possibilitas ini memang akan diaktualisasi dalam konteks tertenu.

Dengan demikian, kita perlu menyadari bahwa aktualisasi (dalam konteks individu saya rasa territorialisasi adalah istilah yang lebih lebih cocok) didasarkan pada kondisi yang kontekstual. Di kala berpikir, manusia harus mampu mendeterritorialisasikan dirinya dari tatanan dan paeadigma pikiran apapun, bahkan sains normal.

Berangkat dari pemahaman terhadap territorialisasi realitas, sains normal dan agama tidak ada bedanya. Keduanya adalah konsensus cara pandang tentang sesuatu di alam semesta ini. Menggunakan sudut pandang sains normal berarti meninggalkan potensi wangsit lewat paradigma lain. Hal ini mengindikasikan bahwa sains akan menterritorialisasi diri kita dengan cara khasnya tersendiri.

Namun, saya tidak memandang sains dan agama benar-benar secara identik. Sains secara keseluruhan bersifat dinamis karena selalu bersedia mengoreksi dirinya sendiri lewat prinsip falsifikasi dan selalu siap bergeser paradigmanya. Contoh mudahnya adalah pergeseran paradigma gravitasi Newtonian dengan relativitas dan fisika mekanika deterministik dengan fisika kuantum probabilistik.

Agama dengan begitu dapat kita pandang sebagai singgahan sementara bagi pertanyaan realitas yang tidak terjawab, layaknya singgahan lain seperti sains normal. Singgahan berarti sebuah teritori sementara yang ditempati pikiran kita sewaktu belum kita aktualisasikan sebuah kemungkinan lain. Menganut sebuah agama tidak akan pernah menjadi sebuah masalah apabila seorang mampu keluar dari teritori yang ia masuki. Oleh karena itu, manusia diharapkan mampu bersikap dinamis, layaknya alam semesta itu sendiri yang bersifat dinamis dan ekspresif menurut konteks.

Baca juga: Menikmati

Kemampuan mendeterritorialisasi inilah yang membuat manusia mampu melihat tak hanya melalui satu sudut pandang saja (dalam konteks artikel ini sudut pandang agama saja). Namun, manusia akan menjadi sensitif terhadap rangsangan wangi perspektif lain yang berpotensi mengaktualisasikan sesuatu hal yang baru. Kebebasan kita miliki sebagai manusia tetapi kebebasan tersebut datang bersamaan dengan tanggung jawab. Apabila secara sengaja kita menolak keluar dari kerangka pikir dan lensa pribadi, berbagai masalah sosial dapat timbul yang melibatkan diri kita. Hal ini dikarenakan kita telah secara tidak langsung mendiskriminasi pandangan orang lain yang berbeda.

Do not ask who I am and do not ask me to remain the same.
-Michel Foucault

Mengingat bahwa dunia yang kita tinggali semakin terkoneksi dan kompleks, kemungkinan lahirnya sesuatu hal (budaya, ilmu, agama, opini, dsb.) yang benar-benar baru menjadi tak terelakkan. Sifat manusia kontemporer kini harus dinamis dan siap mengubah dirinya secara konstan. Identitas cenderung mengikat individu dengan territorialisasi yang ketat sehingga pada esensinya harus identitas selalu berubah, bahkan tak wajib dimiliki. 

Seorang freethinker itu sendiri mungkin juga lebih baik menolak atribusi julukan tersebut kalau memang ia ingin berpikir secara bebas agar ia tidak mandek dalam identitas freethinker itu. Bisa saja ia di kemudian hari menemukan suatu identitas yang lebih novel dan hinggap dalam teritori identitas tersebut, lalu pergi mengembarai teritori lain di esok hari.

Sebagai kesimpulan, saya berani katakan bahwa agama tidaklah menjadi penghalang kalau kita mampu keluar dari ranah paradigma agama untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan baru. Kalau kita katakan agama itu suatu rintangan berpikir, sains normal juga harus kita secara sebut sebagai halangan yang sama. Keduanya adalah teritori yang menjelaskan realitas dengan batasan-batasan khas masing-masing. Kemampuan kita untuk keluar dari berbagai teritorilah yang penting untuk diasah dan diperhatikan jika kita ingin mampu berpikir secara luas serta bebas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun