Mohon tunggu...
Darrel Rondo
Darrel Rondo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - CC'26

saya senang berpikir tentang berpikir dan juga tidur siang

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Bahasa, Prabowo, dan Keluasan dalam Berpikir

16 Maret 2024   21:57 Diperbarui: 16 Maret 2024   22:23 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penggunaan julukan "gemoy" diiringi dengan ramainya edaran video Prabowo berjoget ria mengubah sosok beliau. Tampak bagi mata saya bahwa segala masa lalu Prabowo seakan hilang begitu saja. Masyarakat kini dihadapkan suatu realitas baru hasil transformasi bahasa yang cukup radikal. Julukan sereceh "gemoy" membuka mata batin kita sehingga tampil sebuah realitas baru yang menunjukkan sosok Prabowo sang "gemoy" calon pemimpin bangsa.

Melihat hal semacam ini, transformasi lewat penerapan bahasa memberikan suatu akses terhadap pandangan yang benar-benar novel. Kalau menggunakan istilah Gilles Deleuze, bahasa dapat menjadi suatu piranti deteritorialisasi pendapat dan wacana. Kekuatan bahasa sangat tak terbatas mengingat ia adalah suatu sarana reflektif dan tentu jika demikian, satu-satunya cara memaknai pengalaman yang kita dapat di dalam dunia. Secara ekstrem, dapat dipahami pula bahwa segala pikiran kita pun akhirnya adalah bahasa (Sugiharto, I., 1996/2024).

Kemampuan transformasi ini memang bersifat revolusioner tetapi ada suatu konsekuensi yang patut dimengerti juga. Pembukaan mata kita terhadap Yang Lain (liyan) berpotensi menjadi suatu alat bagi manipulasi figur maupun event. Transformasi lewat bahasa bersifat dinamis sehingga dapat selalu dilakukan selagi retorika yang digunakan cukup meyakinkan. 

Dengan begitu, kita sebagai masyarakat harus semakin jeli dalam mengevaluasi realitas yang tampil di dalam diri kita. Terlebih lagi, realitas yang ditunjukkan oleh media massa mengingat gambaran yang tampil bahkan dapat hanya bersifat simulacra.

Seseorang bisa tampak begitu nobel karena dideskripsikan sedemikian. Terlihat pula sepertinya dalam setiap tindakan dan perkataannya. Namun, mampulah tampil suatu sisi lain dirinya bila kita kenakan label tertentu. Hal ini dikarenakan sesuatu yang simpel, yaitu kecenderungan manusia untuk melihat pola lewat deduksi. Terapkan sebutan "penista agama" pada suatu tokoh tertentu, kita akan secara tiba-tiba melihat segala sesuatu yang dilakukannya menjadi bentuk-bentuk penistaan.

Manusia di zaman ini telah sangat terekspos oleh teknologi Internet. Di genggaman tangan kita, terdapatlah suatu harta berharga yang dapat menginisiasi perluasan perspektif. Berpikir secara universal harus menjadi suatu kapabiitas yang dimiliki masyarakat global. 

Kesadaran bahwa bahasa mampu mentransformasi pandangan dan dunia kita telah dilengkapi dengan akses yang luas terhadap informasi. Maka, kembali lagi segala sesuatu berbalik pada diri kita. Beranikah kita secara konstan mentransformasi persepsi kita terhadap realitas demi keluasan yang lebih masif lagi dalam berpikir dan bertindak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun