Dilansir dari Tribunnews.com (16/3/2024), pasangan calon Prabowo-Gibran telah memenangkan suara rakyat dalam 30 provinsi di Indonesia. Hasil ini timbul usai KPU merekapitulasi secara penuh jumlah suara pemilihan presiden pada 32 provinsi. Tersisa 6 provinsi lagi yang masih belum direkapitulasi secara sah suara pemilihannya, tetapi mau bagaimana juga tampak secara realistis bahwa paslon Prabowo-Gibran yang akan memimpin negeri ini.
Pemilu tahun ini bagi saya sendiri adalah suatu pesta demokrasi yang penuh warna. Diawali dengan keputusan kontroversial MK sampai pada perilisan film dokumenter, Dirty Vote. Namun, kalau saya boleh kerucutkan satu saja, maka satu highlight yang sangat menarik adalah perubahan citra Prabowo.Â
Dahulu, Prabowo menjadi suatu sosok yang mengerikan bagi rakyat. Catatan beliau sebagai pelanggar HAM lewat keterlibatannya dalam Tim Mawar yang "mengamankan" para aktivis '98. Namun, pada pemilu kali ini tampak diri seorang Prabowo mengalami revolusi. Kini, Prabowo dipandang sebagai seorang tokoh nasionalis bertubuh "gemoy" yang siap sedia melayani rakyat.
Pada artikel ini, saya akan mencoba menelusuri kekuatan bahasa yang memainkan peran besar dalam perubahan persepsi masyarakat tentang Prabowo. Sedikit disclaimer sebelum membaca lebih lanjut, pembahasan saya akan saya lakukan tanpa memihak secara politik kepada paslon mana pun. Toh, usia saya saja masih belum bisa mendapatkan KTP.
"Bahasa adalah rumah bagi Sang Ada."
-Martin Heidegger
Pertama-tama, bahasa sebagaimana dijelaskan Sugiharto, I. (1996/2024) memiliki sebuah fungsi transformatif. Fungsi ini memampukan bahasa untuk mengubah secara sebagian, bahkan dengan sepenuhnya persepsi kita terhadap realitas. Dunia kita hanya dapat kita pahami lewat interpretasi dari bahasa sehingga pandangan kita sangat bergantung pada diksi yang gunakan untuk mengartikulasikan sesuatu.Â
Transformasi yang dialami seorang individu lewat bahasa timbul akibat interaksinya dengan dunia, Sang Ada. Interaksi yang terjadi selalu bersifat timbal-balik, dalam artian bahwa pemahaman baru kita terhadap realitas yang baru dijumpai akan turut mengubah sesuatu dalam diri kita.
Dalam konteks artikel ini, bahasa yang dipakai untuk menunjuk pada Prabowo mengalami suatu perubahan seiring berjalannya waktu. Beliau kita kenal dahulu sebagai jenderal garang penuh emosi yang melanggar HAM. Berbagai sebutan dan julukan terkait diberikan tidak lupa juga berasal dari pengaruh media massa.Â
Tampil dalam berbagai bentuk media, khususnya dalam format video, pemberitaan pidato Prabowo yang menggelegar. Pada masa sebelum Pilpres tahun ini, sebagian besar masyarakat memandang video semacam itu sebagai sebuah lelucon. Prabowo dikenakan label "bapak-bapak pemarah yang emosian".
Namun, segala persepsi umum tentang Prabowo kini telah berubah. Masyarakat lewat media sosial kini memandang beliau sebagai tokoh yang "gemoy" dan pas untuk memimpin Indonesia. Lantas, apa yang terjadi? Bagi saya, bahasa dalam bentuk pelabelan menjadi kunci jawaban yang menjelaskan segalanya.
Penggunaan julukan "gemoy" diiringi dengan ramainya edaran video Prabowo berjoget ria mengubah sosok beliau. Tampak bagi mata saya bahwa segala masa lalu Prabowo seakan hilang begitu saja. Masyarakat kini dihadapkan suatu realitas baru hasil transformasi bahasa yang cukup radikal. Julukan sereceh "gemoy" membuka mata batin kita sehingga tampil sebuah realitas baru yang menunjukkan sosok Prabowo sang "gemoy" calon pemimpin bangsa.
Melihat hal semacam ini, transformasi lewat penerapan bahasa memberikan suatu akses terhadap pandangan yang benar-benar novel. Kalau menggunakan istilah Gilles Deleuze, bahasa dapat menjadi suatu piranti deteritorialisasi pendapat dan wacana. Kekuatan bahasa sangat tak terbatas mengingat ia adalah suatu sarana reflektif dan tentu jika demikian, satu-satunya cara memaknai pengalaman yang kita dapat di dalam dunia. Secara ekstrem, dapat dipahami pula bahwa segala pikiran kita pun akhirnya adalah bahasa (Sugiharto, I., 1996/2024).
Kemampuan transformasi ini memang bersifat revolusioner tetapi ada suatu konsekuensi yang patut dimengerti juga. Pembukaan mata kita terhadap Yang Lain (liyan) berpotensi menjadi suatu alat bagi manipulasi figur maupun event. Transformasi lewat bahasa bersifat dinamis sehingga dapat selalu dilakukan selagi retorika yang digunakan cukup meyakinkan.Â
Dengan begitu, kita sebagai masyarakat harus semakin jeli dalam mengevaluasi realitas yang tampil di dalam diri kita. Terlebih lagi, realitas yang ditunjukkan oleh media massa mengingat gambaran yang tampil bahkan dapat hanya bersifat simulacra.
Seseorang bisa tampak begitu nobel karena dideskripsikan sedemikian. Terlihat pula sepertinya dalam setiap tindakan dan perkataannya. Namun, mampulah tampil suatu sisi lain dirinya bila kita kenakan label tertentu. Hal ini dikarenakan sesuatu yang simpel, yaitu kecenderungan manusia untuk melihat pola lewat deduksi. Terapkan sebutan "penista agama" pada suatu tokoh tertentu, kita akan secara tiba-tiba melihat segala sesuatu yang dilakukannya menjadi bentuk-bentuk penistaan.
Manusia di zaman ini telah sangat terekspos oleh teknologi Internet. Di genggaman tangan kita, terdapatlah suatu harta berharga yang dapat menginisiasi perluasan perspektif. Berpikir secara universal harus menjadi suatu kapabiitas yang dimiliki masyarakat global.Â
Kesadaran bahwa bahasa mampu mentransformasi pandangan dan dunia kita telah dilengkapi dengan akses yang luas terhadap informasi. Maka, kembali lagi segala sesuatu berbalik pada diri kita. Beranikah kita secara konstan mentransformasi persepsi kita terhadap realitas demi keluasan yang lebih masif lagi dalam berpikir dan bertindak?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI