Sudah pernah ke Malino di Gowa? Jika belum saya doakan Anda di kuatkan dan dilimpahi rezki, kesehatan, dan kesempatan mengunjungi salah satu destinasi wisata utama di Sulawesi Selatan ini. Jika sudah semoga telah berkunjung ke dua rumah tua di dekat Malino.
● ● ●
Malino sebuah kota kecil di dataran tinggi kabupaten Gowa, merupakan tempat peristirahatan yang diperkenalkan pemerintah kolonial Belanda yang diawali pada tahun 1927 ketika Gubernur Jenderal Caron memerintah di Celebes on Onderhorighodon.
[caption id="attachment_402104" align="aligncenter" width="555" caption="Pasar Malino terkenal dengan aneka sayur dan buah khususnya buah Markisa orange dan ungu. (Foto: Denassa)"][/caption]
Secara administratif Malino merupakan ibukota kecamatan Tinggimoncong dan menjadi nama salah satu dari tujuh desa/kelurahan di kecamatan itu. Terhampar di puncak gunung dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti penginapan, layanan publik (sekolah, pam, telekomunikasi, pasar, puskesmas, bank), tempat ibadah, lapangan, warung, restoran, dll. Untuk penginapan di Malino tergolong lengkap mulai hotel berbintang, vila, fasilitas penginapan milik pemerintah atau perusahaan, hingga penginapan yang dikelola warga berbentuk guest house.
Pembicaraan dan tulisan tentang Malino sudah sangat sering dibahas dan dipublikasikan. Kota ini juga dikenal dengan nama kota konferensi baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan. Salah satu konferensi yang dikenal luas ketika kota ini menjadi tempat perundingan damai konflik Poso (20/12/2001) dan Ambon (11/02/2002) yang dikenal dengan perjanjian Malino I dan II.
Sebagai kawasan wisata di Malino pengunjung dapat mendatangi beberapa tempat antara lain Lembah Biru, mengunjungi pasar dengan aneka sayur dan buah, hutan tusam (Pinus merkusii) atau melakukan kegiatan berkuda mengelilingi beberapa bagian kota. Selain sekitar Malino, terdapat beberapa destinasi keren yang masih dalam wilayah kecamatan Tinggimoncong seperti beberapa air terjun (Takapala, Ketemu Jodoh, dan Lembanna), kebun teh yang saat ini bernama Malino Highland, Lembanna, dll.
[caption id="attachment_402106" align="aligncenter" width="555" caption="Penulis di salah satu kios penjualan tanaman hias di Jalan Endang Malino"]
Untuk tulisan kali ini saya ingin memperkenalkan salah satu tempat keren yang terletak di bagian tenggara Malino. Sebuah referensi tujuan wisata bernama Bulutana. Bulutana merupakan nama kampung tua dan nama salah satu kelurahan di Tinggimoncong. Sebagai kelurahan Bulutana berbatasan dengan desa dan kelurahan lain yalni Malino, Bontolerung, dan desa Parigi. Nama Buluttana secara historis berhubungan dengan kisah perjalanan Karaeng Data, pimpinan Kasawiang Data. Kasawiang Data merupakan salah satu anggota Kasawiang Salapang dalam struktur pemerintahan di kerajaan Gowa. Karaeng Data yang juga disebut dengan gelar Karaengta suatu ketika memilih oposisi dari pemerintahan yang berkuasa. Dalam menjalani pendiriaan itu Karaeng Data tidak secara prontal melawan raja yang berkuasa, ia lebih memilih mengembara ke hutan-hutan menemukan tempat yang layak menjalani pendirian itu.
Karaeng Data berjalan menuju arah pegunungan yang terletak di timur kerajaan. Setelah beberapa hari berjalan, beliau menemukan sebuah perkampungan yang ditepi bukit tanah. Bukit dalam bahasa Makassar di sebut Bulu sedangkan tanah dalam bahasa Makassar disebut dengan sebutan yang sama dalam bahasa Indonesia hanya saja dalam penulisannya tidak menggunakan akhitan h sehingga ditulis dengan tana. Kisah perjalanan Karaengta Data itu menjadi salah satu latar historis asal nama Bulutana.
Dua Rumah Tua
Bulutana sering dikunjungi wisatawan domestik atau mancanegara, mereka umumnya belum tahu asal usul nama kampung itu. Mereka mengunjungi Bulutana karena ketertarikan pada dua buah rumah tua di sana. Penulis belum menemukan data atau informasi apakah dua buah rumah itu telah ada sebelum Karengta Data tiba di Bulutana atau didirikan setelah berada atau setelah meninggalkan kampung itu. Kisah warga di sekitar Bulutana rumah tua yang ada saat ini telah ada sejak lama. Bahkan diceritakan sebagai salah satu rumah pertama didataran tinggi itu. Kedua rumah itu bernama Balla Jambua dan Balla Lompoa.
[caption id="attachment_402105" align="aligncenter" width="300" caption="Balla Jambua di Bulutana, Tinggimoncong, kabupaten Gowa, Sulsel (Foto: Denassa)"]
Awalnya terdapat tiga buah rumah tua masing-masing Balla Lompoa, Balla Jambua, dan Balla Tinggia namun pada tahun 1965 Balla Tinggi terbakar hingga tersisa dua rumah tua yang ada saat ini. Ketiga rumah itu belum diketahui secara pasti kapan pembangunannya.
Balla Lompoa berjarak sekitar 100 meter sebelah utara Balla Jambu. Dahulu kala dikisahkan rumah-rumah ini ditemukan masih dalam bentuk rumah panggung, hanya saja pallangga dan bagian bangunan secara umum tidak dipahat, tetapi hanya diikat dengan tali yang terbuat dari ijuk pohon enau.
Pada bagian tiang menurut kisah warga sekitar ditanam sekira satu meter. Tiang-tiang yang digunakan pada kedua rumah saat ini dipercaya masih tiang yang pakai sejak pertama kali dibangun atau ditemukan.
Latar Belakang Pemberian Nama
Mengapa disebut Balla Jambu atau Jambua? Karena beberapa bahan yang digunakan mendirikan rumah terbuat dari kayu jambu. Tangga merupakan bagian yang paling diyakini terbuat dari pohon jambu. Dahulu Balla Jambu berfungsi sebagai kediaman Karaeng Buluttana, sedangkan Balla Lompoa ditempati Gallarrang Buluttana.
Pada Balla jambua tidak ditemukan perabot rumah tangga untuk duduk seperti kursi karena itu pengunjung yang naik ke rumah akan duduk dilantai rumah ketika berkunjung. Terdapat kesepakatan sejak dahulu untuk tidak menggunakannya. Atap kedua rumah tua ini terbuat dari bambu yang dibelah, secara lokal disebut cippe.
Menjadi Pengikat semangat Gotong Royong
Bagian rumah akan rutin diganti khususnya atap yang berbahan dasar bambu. Atap cippe tidak menggunakan paku untuk menguatkan dengan kaso atau tatakan. Atap ini hanya satu lapis bambu tidak seperti atap pada tongkonan, sehingga masa peakaian cippe jauh lebih cepat rusak.
Sejak dahulu ketika kedua atap rumah ini telah rusak maka warga secara swadaya ikut membantu memperbaiki. Proses penggantian atap biasanya akan memakan waktu berhari-hari mulai dari pemilihan bambu, membelah, hingga proses pemasangan atap.
Jika suatu hari Anda berkesempatan ke Malino bisa melakukan perjalanan ke Bulutana. Lokasi ini bisa diakses dengan jalan kaki, kendaraan bermotor, atau mobil. Anda akan disuguhi pemandangan khas dataran tinggi seperti sawah sengkedang, rumpun-rumpun bambu, (mungkin) kabut sepanjang perjalanan. Bulutana terletak tidak terlalu jauh dari lapangan Embun Pagi tempat perkemahan di Tinggimoncong■ (Darmawan Denassa)