Mohon tunggu...
Darmawan bin Daskim
Darmawan bin Daskim Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang petualang mutasi

Pegawai negeri normal

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menerima Gratifikasi vs Melakukan Pungutan Liar

25 September 2023   15:03 Diperbarui: 25 September 2023   15:03 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Contoh Kasus 1: Seorang PNS (selanjutnya kita sebut A) menerima dokumen permohonan perizinan dari pengguna layanan publik (selanjutnya kita sebut C). Pada media sosial kantor tempat A bekerja terdapat unggahan flyer JANJI LAYANAN yang menerangkan bahwa tidak ada biaya layanan. 

Dalam memproses permohonan tersebut, A melakukan sesuai prosedur. Saat menyerahkan dokumen permohonan perizinan yang sudah selesai kepada C, A mendapatkan uang Rp500.000,00. C mengatakan kepada A bahwa dia senang karena permohonan perizinannya sudah dilayani dengan baik dan cepat, uang Rp500.000,00 tersebut sebagai bentuk terima kasih.

Contoh Kasus 2:
Seorang PNS (selanjutnya kita sebut B) menerima dokumen permohonan perizinan yang diajukan oleh seorang pengguna layanan publik (selanjutnya kita sebut D). Saat itu B mengatakan kepada D bahwa ada biaya layanan sebesar Rp500.000,00. 

Pada media sosial kantor tempat B bekerja terdapat unggahan flyer JANJI LAYANAN yang menerangkan bahwa tidak ada biaya layanan. Oleh karena ketidaktahuannya, D membayar Rp500.000,00 kepada B. Dalam memproses permohonan tersebut, B melakukan sesuai prosedur. Setelah selesai, B menyerahkan dokumen permohonan perizinan kepada D.

Pada Contoh Kasus di atas A bekerja sesuai prosedur, lalu A mendapatkan uang terima kasih Rp500.000,00 dari pengguna layanan publik C. Sedangkan B pun bekerja sesuai prosedur, tetapi memungut Rp500.000,00 dari pengguna layanan publik D.

Dalam pandangan kita, siapa yang layak dikenakan hukuman lebih berat? Apakah A yang menerima tanda terima kasih tanpa berinisiatif meminta atau B yang berinisiatif meminta dengan memungut biaya layanan publik?

Kita boleh jadi akan sepakat bahwa B layak mendapatkan hukuman lebih berat karena tingkat kesalahan yang dilakukan B lebih besar dari A.

Presiden Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya kita sebut PP 94). PP 94 ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu 31 Agustus 2021. Pada Pasal 45 disebutkan bahwa, "Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5135), sepanjang tidak mengatur jenis Hukuman Disiplin sedang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku." Jadi PP 94 ini menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya kita sebut PP 53).

Untuk menjawab pertanyaan siapa yang layak dikenakan hukuman lebih berat, apakah A atau B, kita mesti mengacu pada PP 94.

Bila tidak salah menafsirkan dan menghitung, pada PP 94 ini terdapat 9 pasal yang mengatur kewajiban dan larangan PNS terkait praktik korupsi, yang terdiri dari 2 pasal kewajiban dan 7 pasal larangan.

Berikut ini adalah 9 pasal tersebut:

  • Pasal 4 huruf d berbunyi, "Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, PNS wajib melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan keamanan negara atau merugikan keuangan negara."
  • Pasal 4 huruf i berbunyi, "Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, PNS wajib menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
  • Pasal 5 huruf a berbunyi, "PNS dilarang menyalahgunakan wewenang."
  • Pasal 5 huruf b berbunyi, "PNS dilarang menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain yang diduga terjadi konflik kepentingan dengan jabatan."
  • Pasal 5 huruf f berbunyi, "PNS dilarang memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen, atau surat berharga milik negara secara tidak sah."
  • Pasal 5 huruf g berbunyi, "PNS dilarang melakukan pungutan di luar ketentuan."
  • Pasal 5 huruf h berbunyi, "PNS dilarang melakukan kegiatan yang merugikan negara."
  • Pasal 5 huruf k berbunyi, "PNS dilarang menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan."
  • Pasal 5 huruf l berbunyi, "PNS dilarang meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan."

Sebagai contoh simulasi, kita adalah atasan langsung A dan B. Sebagai salah satu pihak yang berwenang memberikan hukuman disiplin, salah satu langkah kita adalah menentukan pasal mana yang dilanggar oleh A dan B.

A yang menerima tanda terima kasih berupa uang Rp500.000,00 melanggar Pasal 4 huruf i yang berbunyi, "Selain memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, PNS wajib menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Mengapa kita tidak menentukan Pasal 5 huruf k sebagai pasal yang dilanggar oleh A?

Memang benar Pasal 5 huruf k berbunyi, "PNS dilarang menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan, " tetapi pada Penjelasan Pasal 5 huruf k dikatakan bahwa, "Yang dimaksud dengan 'menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan' termasuk menerima hadiah, padahal diketahui dan patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya."

Jadi berdasarkan penjelasannya, Pasal 5 huruf k ini lebih berbicara mengenai hadiah yang diterima oleh PNS dari pengguna layanan publik karena PNS tersebut telah menyalahi prosedur. Praktik semacam ini cenderung masuk dalam kategori penyuapan.

Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK) telah membagi bentuk korupsi menjadi 7 kategori, yaitu:

  • Yang berkaitan dengan keuangan negara;
  • Penyuapan;
  • Penggelapan jabatan;
  • Pemerasan;
  • Perbuatan curang;
  • Benturan kepentingan dalam pengadaan; dan
  • Gratifikasi

Sedangkan B yang memungut biaya layanan publik sebesar Rp500.000,00 melanggar Pasal 5 huruf g yang berbunyi, "PNS dilarang melakukan pungutan di luar ketentuan."

Pada Penjelasan Pasal 5 huruf g dikatakan bahwa, "Yang dimaksud dengan 'pungutan di luar ketentuan' adalah pengenaan biaya yang tidak seharusnya dikenakan atau penyalahgunaan wewenang untuk mendapatkan uang, barang, atau bentuk lain untuk kepentingan pribadi atau pihak lain baik dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Berdasarkan KBBI, definisi kata "pungutan" adalah barang apa yang dipungut/pendapatan dari memungut.

Berdasarkan KBBI, definisi kata "memungut" adalah menarik (biaya, derma, dan sebagainya).

Berdasarkan KBBI, definisi kata "pungutan liar" adalah pengenaan biaya yang dikenakan pada tempat yang seharusnya tidak dikenakan biaya/pungli.

Jadi sangat jelas bahwa B melanggar ketentuan Pasal 5 huruf g yang masuk kategori pemerasan.

Mengapa kita tidak menentukan Pasal 5 huruf l sebagai pasal yang dilanggar oleh B?

Pasal 5 huruf l berbunyi, "PNS dilarang meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan." Namun sayang, penjelasan dari Pasal 5 huruf l ini hanya tertulis, "Cukup jelas."

Lalu apakah benar B akan mendapatkan hukuman lebih berat dari A?

Sebelum kita melihat hukuman apa yang akan diterima A dan B, terlebih dahulu kita lihat tingkat dan jenis hukuman disiplin yang ada di PP 94, yaitu pada Pasal 8 ayat (1), (2), (3), dan (4).

Tingkat hukuman disiplin terdiri atas:

  • hukuman disiplin ringan;
  • hukuman disiplin sedang;
  • hukuman disiplin berat.

Jenis hukuman disiplin ringan terdiri atas:

  • teguran lisan;
  • teguran tertulis;
  • pernyataan tidak puas secara tertulis.

Jenis hukuman sedang terdiri atas:

  • pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% selama 6 bulan;
  • pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% selama 9 bulan;
  • pemotongan tunjangan kinerja sebesar 25% selama 12 bulan.

 Jenis hukuman disiplin berat terdiri atas:

  • penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan;
  • pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan;
  • pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.

Pasal 13 huruf b berbunyi, "Hukuman Disiplin sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dijatuhkan bagi PNS yang melanggar ketentuan larangan melakukan pungutan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g, apabila pelanggaran berdampak negatif pada Unit Kerja dan atau instansi yang bersangkutan."

Pasal 14 huruf b berbunyi. "Hukuman Disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dijatuhkan bagi PNS yang melanggar ketentuan larangan melakukan pungutan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf g, apabila pelanggaran berdampak negatif pada negara dan/atau pemerintah."

Jadi ada 2 pilihan tingkat hukuman disiplin yang bisa kita kenakan kepada B, bisa hukuman disiplin sedang atau bisa hukuman disiplin berat, tergantung pada level dampak negatifnya.

Bagaimana dengan A?

Pasal 11 ayat (2) berbunyi, "Hukuman Disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c dijatuhkan bagi PNS yang tidak memenuhi ketentuan menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf i."

Mengacu pada hal tersebut, sebagai atasan langsung, maka kita mesti mengenakan hukuman disiplin berat kepada A yang menerima gratifikasi. Sedangkan kepada B yang melakukan pungutan liar, kita masih bisa mengenakan hukuman disiplin sedang bila level dampak negatifnya masih sebatas unit kerja atau instansi.

Apakah terasa janggal bagi kita? Kok bisa?

Penasaran mencari jawaban mengapa bisa demikian, kita coba membandingkan dengan aturan disiplin PNS sebelum PP 94, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya kita sebut PP 53).

Bila tidak salah menafsirkan dan menghitung, pada PP 53 ini terdapat 7 pasal yang mengatur kewajiban dan larangan PNS terkait praktik korupsi, yang terdiri dari 1 pasal kewajiban dan 6 pasal larangan.

Berikut ini adalah 7 pasal tersebut:

  • Pasal 3 angka 10 berbunyi, "Setiap PNS wajib melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil."
  • Pasal 4 angka 1 berbunyi, "Setiap PNS dilarang menyalahgunakan wewenang."
  • Pasal 4 angka 2 berbunyi, "Setiap PNS dilarang menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain."
  • Pasal 4 angka 5 berbunyi, "Setiap PNS dilarang memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah."
  • Pasal 4 angka 6 berbunyi, "Setiap PNS dilarang melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara."
  • Pasal 4 angka 7 berbunyi, "Setiap PNS dilarang memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara angsung atau tidak langsung dan dengan dalih apa pun untuk diangkat dalam jabatan."
  • Pasal 4 angka 8 berbunyi, "Setiap PNS dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya."

Sayangnya dari 7 pasal PP 53 di atas tidak ada pasal yang senada dengan pasal yang dilanggar oleh A dan B pada PP 94.

Pada PP 53 ini tidak ada pasal yang mengatur tentang kewajiban menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi.

Terkait pemberian atau hadiah memang Pasal 4 angka 8 yang berbunyi, "Setiap PNS dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya," tetapi pada Penjelasan Pasal 4 huruf 8 dikatakan bahwa, "PNS dilarang menerima hadiah, padahal diketahui dan patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya."

Jadi berdasarkan penjelasannya, Pasal 4 angka 8 ini lebih berbicara mengenai hadiah yang diterima oleh PNS dari pengguna layanan publik karena PNS tersebut telah menyalahi prosedur. Praktik semacam ini cenderung masuk dalam kategori penyuapan, senada dengan Pasal 5 huruf k PP 94 yang sudah kita bahas sebelumnya.

Pada PP 53 ini pun belum ada pasal yang mengatur tentang larangan melakukan pungutan di luar ketentuan.

Semoga dari para pembaca tulisan ini ada yang berkenan menyumbang pengetahuan dan pemikirarannya untuk menjawab pertanyaan atau mengoreksi bahasan kita di atas.

Pada tulisan berikutnya, kita akan membandingkan PP 94 ini dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pada pembahasan hukuman bagi PNS yang menerima gratifikasi terkait jabatan dan yang melakukan pungutan liar (pemerasan).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun