Kemenangan pertama berlanjut pada kemenangan-kemenangan beruntun selanjutnya. Namun, kemenangan beruntun tersebut membuat sebagian anggota Richmond melupakan arahan pertama Pelatih Carter, yaitu respek atau hormat.
Selebrasi bergaya foto model di depan lawan setelah memasukkan bola langsung dikritik habis Pelatih Carter di sesi latihan.
“Apa kau gila? Apa yang salah denganmu? Apa yang salah dengan kalian? Sejak kapan menang tidak cukup? Bermain keras tidak cukup? Tidak. Kalian permalukan lawan kalian. Mengejek setelah mencetak angka. Kalian hanya menang 4 pertandingan musim lalu. Empat!
Apa yang membuat kalian punya hak untuk menodai olah raga yang kucintai dengan menghina dan mengejek? Apa yang membuat kalian punya hak untuk mewakilkan SMA Richmond lalu bertingkah seperti preman?” panjang lebar Pelatih Carter murka kepada timnya.
“Pelatih, mereka juga mencela kita,” satu anggota tim memprotes.
“Terus? Kalian tidak bisa tunjukkan kelas? Berperilaku seperti seorang juara? Kalian berutang 500 push up. Mulai, sekarang!” amarah Pelatih Carter memuncak.
Puncak amarah Pelatih Carter rupanya belum reda. Masalah besar justru muncul pada satu prinsip mendasar yang dia pegang.
Persyaratan kontrak setiap anggota tim harus mendapatkan rata-rata nilai akademis 2,3, dilarang bolos kelas, dan wajib duduk di barisan depan kelas pelajaran tidak dapat terpenuhi. Tidak adanya dukungan penuh dari sekeliling para guru kelas menjadi salah satu penyebab.
“Tuan-tuan, di tangan kananku, aku memegang kontrak ditandatangani oleh aku dan kalian. Di tangan kiriku, aku memegang laporan kemajuan nilai kalian yang dibuat oleh guru.
Ada 6 pemain yang gagal setidaknya satu mata pelajaran. 8 pemain dapat nilai ‘gagal’ berdasarkan absen. Tuan-tuan, kalian telah gagal. Maaf. Kita telah gagal. Kita menggagalkan satu sama lain.
Ada beberapa dari kalian yang telah memenuhi persyaratan kontrak. Tapi pahamilah kita satu tim. Dan sampai kalian berhasil mematuhi isi kontrak ini...lapangan akan dikunci.”