"Mah, buat aku ya?" gesit anak kedua kami bertanya. "Iya," jawab mamahnya.
Tak lama anak pertama kami yang sudah kuliah tahun pertama pun berucap, "Nih Dek, punya Kakak juga abisin, kenyang euy." Makin cerah saja raut muka anak kedua kami. Dari kakaknya, dia dapat sisa 3 butir bakso sapi kecil.
Tidak mau ketinggalan menjadi orang yang memberi kepada yang membutuhkan, saya pun sengaja menyisakan 2 butir bakso sapi kecil. "Abisin punya Papah juga nih," senyum saya berucap kepada anak kedua.
Dihitung-hitung, anak kedua kami mendapatkan tambahan 1 butir bakso sapi besar dan 7 butir bakso sapi kecil sehingga total bakso sapi yang dia makan adalah 3 butir bakso sapi besar dan 11 butir bakso sapi kecil. Wow!
Meski sisa, ternyata yang didapat jauh lebih banyak. Tak Selamanya Sisa itu Lebih Sedikit.
Dalam ilmu waris, mawaris, atau faraidh juga dikenal istilah sisa yang tak selamanya jumlah nominalnya lebih sedikit.
Untuk membagi harta warisan, ada pihak yang dihitung porsinya terlebih dahulu dan ada pihak yang dihitung belakangan.
Pihak yang dihitung duluan istilahnya ashabul furudh. Hitungannya berupa pecahan 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, dan 2/3. Pecahan tersebut sudah ditetapkan langsung di Al Quran, As Sunnah ataupun kesepakatan ulama (fardh).
Misalnya seorang istri meninggal dunia meninggalkan harta warisan kepada ahli warisnya, yaitu suami dan seorang anak laki-laki. Maka suami mendapat harta warisan dari harta istri sebesar 1/4 dari total harta istri yang ada.
Setelah suami sebagai pihak yang duluan dihitung porsinya, barulah sisanya atau istilahnya ashabah. Dalam contoh kasus di atas, pihak yang dihitung jatahnya berdasar ashabah adalah anak laki-laki.
Seandainya istri yang meninggal dunia tadi meniggalkan harta warisan sebuah rumah yang bila dirupiahkan adalah Rp400.000.000,00, maka suami mendapat = 1/4 x Rp400.000.000,00 = Rp100.000.000,00.Â