Mohon tunggu...
Aditya Darmasurya
Aditya Darmasurya Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang WNI aja...^bingung mau bilang apa^

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Penyakit F91 Tidak Diobati dengan Menyebut Mereka Bajingan!

18 November 2013   01:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:01 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita yang terbiasa "hidup sesuai jalan" kadang kurang bisa memahami mereka yang "hidup sesuai keadaan".

Baru-baru ini media massa ramai memperbincangkan pernyataan keras Ahok kepada para siswa yang katanya membajak bus. Ahok berkata bahwa mereka adalah "calon bajingan". Para orang tua siswa tersebut pun protes.

Saya memahami Ahok marah lantaran uang negara ternyata disia-siakan oleh para siswa tersebut, entah bagaimana yang benar kronologinya. Namun, saya juga berusaha memahami posisi anak-anak tersebut karena tidak setiap anak dilahirkan dalam nuansa kekeluargaan dan kecukupan ekonomi yang bisa menghantarkan mereka menjadi pejabat besar seperti Ahok.

Perlu kita pahami bahwa kenakalan remaja itu adalah suatu penyakit yang telah ada kode diagnosanya dalam International Classification of Diseases (ICD) 10. Kenakalan remaja dimasukkan dalam kode umum F91 yaitu Conduct Disorders atau gangguan tingkah laku. Kode khususnya dalam kasus siswa-siswa tersebut mungkin bisa dimasukkan ke dalam kode F91.2 yaitu Socialized conduct disorder yang mana lebih menekankan pada keterlibatan suatu individu dalam suatu kelompok sebaya pada kasus-kasus tertentu, misalnya kekerasan dalam hubungannya sebagai anggota gang dan bolos sekolah.

Nah, tentunya penyebab kenakalan remaja ini banyak faktornya. Keluarga, lingkungan rumah, lingkungan sekolah, lingkungan perkotaan, semuanya mempengaruhi karakteristik pribadi individu-individu tersebut. Apakah kenakalan remaja itu terjadi karena "orang tua kejam tidak bisa mendidik anak" semata? Bukankah lingkungan perkotaan yang membentuk lingkungan rumah dan sekolah anak terseut juga mempengaruhi kepribadiannya? Siapakah yang bertanggung jawab untuk menyediakan lingkungan perkotaan yang layak untuk perkembangan anak? Apakah media ekspresi bakat minat anak-anak sudah disediakan oleh pemerintah? Ataukah pemerintah selama ini hanya mementingkan pendirian ruko dan mal dan lebih mementingkan acara televisi joged-joged dan gosip-gosip artis?

Tidak semua anak dilahirkan dalam kondisi keluarga yang harmonis, lingkungan asri dengan bunga-bunga bermekaran dan burung-burung terbang ke sana-kemari dibawah indahnya pelangi warna warni, tidak semua anak hidup dalam lingkungan perkotaan yang mana tiap orang yang ditemui memberikan salam dan memuji-muji kepandaian anak. Banyak anak, apalagi di kota yang juga sakit seperti Jakarta, tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari lingkungannya.

Orang tua, mungkin, sering bertengkar karena masalah finansial, ayah yang berangkat pagi pulang malam untuk mencari sesuap nasi yang mungkin sesuap nasi itu masih dibagi lagi dengan anggota keluarga yang lain. Ibu yang juga membantu  ayah bekerja ke sana kemari, kadang sampai malam dengan penghasilan yang cukup hanya untuk makan. Itupun kalau kedua orang tua masih, kalau salah satu atau keduanya sudah meninggal, kepada siapa anak mendapatkan tuntunannya? Dari pejabat yang sering nongol di televisi dengan menyebut mereka bajingan?

Rumah yang kecil berlantaikan tanah dengan dinding triplek berhimpit-himpitan dengan rumah yang lain sehingga tak menyisakan halaman bermain anak. Anak pun dari kecil tidak ada sarana untuk mengekspresikan bakat, minat, keinginan, lah mau kemana lagi, tanah-tanah sudah habis dibangun ruko dan mal. Acar televisi pun isinya mayoritas sinetron dan infotainment yang kurang memberikan pendidikan.

Lingkungan sekolah pun kadang tidak mendukung. Terkadang ada fasilitas "Bimbingan Konseling" namun tiap kali pelajaran gurunya hanya berceramah tanpa ada dialog interaktif dan menarik. Tugas Bimbingan Konseling terkadang hanya menge-cek siapa-siapa yang datang telat, siapa yang bolos, siapa yang izin saja. Selain itu sistem pendidikan di sekolah pun dirasakan membosankan, kurang menarik. Akibatnya, anak tidak bersemangat sekolah. Apa yang diucapkan guru menjadi tidak mempan.

Apakah anak tersebut disalahkan karena memiliki penyakit F91?

Mungkin bukan masalah benar-salah yang lebih layak diperbicarakan namun penanganannya yang utama dan saya kira mengatakan anak-anak berpenyakit F91 dengan ucapan "calon bajingan" bukan langkah bijak dan tidak mengobati penyakit F91 tersebut. Sama halnya mengatakan pasien Schizofrenia sebagai "calon orang gila". Ingat, ucapan orang tua adalah doa dan pejabat adalah orang yang dituakan dan dihormati. Saya kira pula memindahkan anak-anak tersebut dari satu sekolah ke sekolah yang lain tanpa menggali akar permasalahan F91 anak tersebut sama saja, hingga semua pihak yang terkait bersama-sama mencari solusi dan tidak meletakkan beban tanggung jawab masa depan hanya kepada anak.

Saran saya, mari kita introspeksi masing-masing. Apakah dewan guru yang mengeluarkan siswa tersebut sudah membuat pelajarannya menarik untuk diikuti anak? Ataukah guru itu mengajar dengan cara monton sehingga anak pun malas mengikutinya? Apakah peran Bimbingan Konseling sudah pro aktif dalam membimbing dan memberikan konseling pada anak anak tersebut? Apakah pemerintah telah menyediakan saran ekspresi minat dan bakat anak yang layak sehingga anak-anak pun bisa menyalurkan energinya ke tempat yang benar? Apakah Dinas Kesehatan menyadari pentingnya kesehatan jiwa anak dan remaja dan adakah program-program pro aktif Dinas Kesehatan tersebut dalam membentuk jiwa anak dan remaja yang sehat? Ataukah Dinas Kesehatan hanya memrpioritaskan penyakit fisik dan pengobatannya tanpa mempedulikan aspek promotif dan preventif khususnya dalam hal jiwa anak dan remaja?

Saya doakan semua anak tidak menjadi "calon bajingan", tapi "calon penerus bangsa", "calon pemimpin bangsa","harapan kemajuan bangsa".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun