Mohon tunggu...
Darma BC
Darma BC Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis di berbabagai media

Penulis "Satu Buku Sebelum Mati"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pilih Taksi atau Angkutan Online?

13 Oktober 2017   08:54 Diperbarui: 13 Oktober 2017   09:04 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini tidak seperti biasanya. Sungguh pagi yang mendung. Terlihat gumpalan awan menutupi keindahan langit biru, langit yang biasa menyapaku setiap memulai tugasku. Ku selalu mengambil sikap untuk mendamaikan hati, menerima takdir Ilahi, berharap ada hikmah dibalik mendungnya hari.  Menyiapkan diri agar selalu mampu menerima keputusanNya karena ku yakin dibalik mendung ada hikmah yang baik.

Seperti biasanya pula, terlihat  taksi berjajar antri di depan sekolah tempat ku bertugas.  Walau tiada mandor, atau agen, atau tukang tulis, atau apapun namanya sebagai pengatur mereka selalu tertib, teratur secara bergantian tanpa ada saling salip dalam menaikkan penumpang.  Seakan telah sejiwa, yang dulu datang yang dulu terbang. Penumpang silih berganti, begitu setia, setiap hari naik, menuju tujuan mereka.

Dalam antrian yang lama, pagi itu terlihat pula para abang sopir taksi, berkelompok bercerita, bercanda. Seakan mereka telah paham bahwa Allah lah yang mengatur rezeki mereka. Walau dari beberapa wajah yang terlihat kusam dan tua, selalu berharap rezeki datang melimpah. Seakan wajah mereka mengungkapkan keadaan mendung yang ada di pagi yang tak ceria.

Tersadar olehku, teringat cerita mereka  dibeberapa kesempatan ketika aku naik taksi, berupa curhatan yang selalu bercerita akan keberadaan angkutan online. Mereka harus lebih memilih tempat baru, yang lebih menjanjikan penumpang.

Di tempat lain, tepat di sudut pagar, tampak segerombolan ibu-ibu saling sapa. Mereka duduk sambil cerita di ruang tunggu orang tua, tempat khusus menunggu anak yang disediakan sekolah.  Lokasinya tepat pula di samping barisan taksi. Hanya trotoar peratap teduh yang memisahkan.

Banyak cerita, jauh sebelum hari ini, jauh sebelum aku bertugas disini, jauh sebelum abang sopir taksi antri di tempat ini. Lokasi sekolah yang agak berada disudut jalan yang selalu terlihat sepi.

"Dulu,  para orang tua yang datang mengantarkan anaknya sekolah, tidak berani berlama-lama menunggu anaknya", kata seorang satpam yang selalu bertugas membantu ketertiban lalu lintas di depan sekolah.  "Hal itu karena wilayah ini terkenal dengan daerah garis merah, daerah yang selalu terjadi perampikan dan penjambereta", tambahnya lagi.

Cerita yang sama pernah saya dengar dari beberapa guru yang telah lama bertugas. Bahkan, salah seorang guru yang sedang hamil, pernah kena jamret di depan sekolah, kala itu. "Sungguh tempat yang menyeramkan.

"Baru akhir-akhir ini ketika para sopir taksi banyak nongkrong di depan sekolah ini, kejahatan berkurang," jelas sang Satpam lagi.

Sejenak usai sang Satpam bertutur, tepat di depan kami berdiri di pinggir jalan, diantara taksi yang ada, berhenti pula sebuah mobil pribadi.  Bergegas seorang ibu berjalan seusai 'cipika-cipiki' dengan ibu lainnya mendapatkan mobil itu. Ia terlihat mematikakan telpon genggamnya. Dari balik kaca mobil yang transparan terlihat jelas pula sang supir mobil mengutak-ngatik telpon genggamnya seakan memainkan aplikasi, menuju tujuan ibu. Sekilas saya bertanya pada para ibu temannya yang masih tinggal. Ternyata benar dugaan saya itu mobil jemputan dari angkutan online yang begitu laris manis saat ini.

Nyes..., terasa ada yang "mencubit" hatiku. Aku berpikir, apakah dia tidak tahu manfaat baik dari taksi yang berbaris disini. Tanpa disengaja mereka telah memberikan berkah aman, pada anak-anak, pada orang tua penghantar dan penjemput, pada seluruh anggota sekolah, lebih luas lagi pada masyarakat yang berlalu lalang di tempat ini.  Bayangkan seandainya tak ada mereka, mungkin bukan hanya perampokan saja yang terjadi, bias lebih lagi, naudzu billahi min zaliik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun