Pakar geologi dari Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Amien Widodo, menyebut kondisi Semeru saat terjadi guguran lava dan awan panas berada pada level 2 atau waspada, sehingga tidak ada erupsi yang terdeteksi dari pos pantau. Amien mengatakan, perlu adanya peralatan lain yang mengamati pergerakan di puncak gunung berapi, sehingga aktivitas seperti longsoran dapat terdekteksi dan diketahui oleh masyarakat di desa-desa sekitarnya.
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meminimalisir dampak risiko lanjutan akibat erupsi gunung berapi, salah satunya Gunung Semeru. Pertama, curah hujan di puncak harus dipantau secara real time dan seksama. Hujan dengan intensitas tinggi merupakan salah satu faktor pemicu turunnya lahar dingin. Lengseran lahar dingin terjadi ketika material gunung berapi tidak mampu menahan beban kemudian longsor bersamaan dengan air hujan mengalir ke sungai. Kedua, Â memastikan kantong lahar di sungai yang berhulu dari Semeru berfungsi dengan baik. Karena jika tidak bisa, lahar ini berpotensi untuk meluber ke kanan-kiri sungai dan membahayakan permukiman warga.Â
Usaha yang dapat kita lakukan untuk menanggulangi dampak dari bencana gunung meletus adalah dengan melakukan upaya mitigasi yang dilakukan dengan penguatan kapasitas masyarakat melalui kegiatan wajib latih penanggulangan bencana. Selalu bersikap waspada, terlebih bagi masyarakat yang berada di sekitar gunung tersebut. Selalu siaga apabila terdengar suara gemuruh atau terasa gempa vulkanik. Dengan memasang sikap siaga maka kita selalu siap apabila sewaktu-waktu terjadi bencana alam.
Masyarakat yang tinggal di daerah sekitar gunung berapi tentu saja akan selalu berisiko terkena erupsi dan bencana yang disebabkan oleh gunung berapi. Meskipun ada penelitian dan perkiraan yang dilakukan oleh para ahli, tidak ada yang tahu pasti kapan gunung berapi akan meletus. Walaupun berhasil, masyarakat yang lokasi rumahnya sangat dekat, terdapat kemungkinan mereka gagal mengevakuasi diri karena waktu kejadian yang singkat. Tetapi kita tidak boleh hanya berpasrah dan berserah diri saja. Sikap dan kesadaran risiko bencana alam sangat penting dimiliki oleh masyarakat sehingga dapat meminimalkan berbagai dampak yang timbul. Oleh karena itu, budaya risiko perlu ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H