Mohon tunggu...
Muhammad Adi Bima Sakti
Muhammad Adi Bima Sakti Mohon Tunggu... Lainnya - Universitas Sumatera Utara

Saya seorang mahasiswa, yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Hukum dari Penolakan Pasien Gawat Darurat oleh Rumah Sakit

1 Oktober 2024   18:30 Diperbarui: 6 Oktober 2024   13:06 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penolakan pasien gawat darurat oleh rumah sakit bukan hanya masalah etika dan pelayanan kesehatan, tetapi juga memiliki implikasi hukum yang serius. Artikel ini akan membahas berbagai aspek hukum yang terkait dengan tindakan penolakan tersebut, termasuk dasar hukum, sanksi, dan preseden kasus yang relevan.

Dasar Hukum di Indonesia

Di Indonesia, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang secara eksplisit melarang penolakan pasien gawat darurat yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang terdapat dalam pasal:

Pasal 174 ayat (1) "Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/ atau masyarakat wajib memberikan Pelayanan Kesehatan bagi seseorang yang berada dalam kondisi Gawat Darurat untuk mendahulukan penyelamatan nyawa dan pencegahan kedisabilitasan.''

Pasal 174 ayat (2) "Dalam kondisi Gawat Darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/ atau masyarakat dilarang menolak Pasien dan/atau meminta uang muka serta dilarang mendahulukan segala urusan administratif sehingga menyebabkan tertundanya Pelayanan Kesehatan."

Pasal 189 ayat (1) huruf c "memberikan pelayanan Gawat Darurat kepada Pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya.''

Sanksi Hukum

Pelanggaran terhadap kewajiban hukum tersebut dapat mengakibatkan berbagai sanksi. Pertama, yakni sanksi administratif yang dapat berupa teguran lisan atau tertulis, denda administratif, pencabutan izin operasional rumah sakit. Kedua, sanksi pidana yang berdasarkan Pasal 438 UU Kesehatan, penolakan pasien gawat darurat dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Ketiga, sanksi perdata yakni rumah sakit dapat digugat secara perdata atas dasar perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata yakni dalam bentuk tuntutan ganti rugi materiil dan immateriil dari pihak pasien atau keluarga.

Preseden Kasus

Beberapa kasus penolakan pasien gawat darurat yang telah diproses secara hukum di Indonesia antara lain:

1. Kasus Bayi Debora (2017)

   Kasus penolakan perawatan bayi 4 bulan di Jakarta yang berujung pada kematian. Rumah sakit dijatuhi sanksi administratif dan denda.

2. Kasus RS Siloam Sriwijaya Palembang (2018)

   Rumah sakit didenda Rp 180 juta karena menolak pasien gawat darurat dengan alasan administrasi.

3. Kasus RSUD Wahidin Sudirohusodo Makassar (2019)

   Rumah sakit dikenakan sanksi administratif karena menolak pasien stroke tanpa alasan yang jelas.

Implikasi Hukum Lainnya

Adapun implikasi hukum lainnya yang dapat ditimbulkan dalam pelanggaran ini ialah Pertama, Pelanggaran Kode Etik Kedokteran yakni penolakan pasien gawat darurat dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia, yang dapat berujung pada sanksi dari organisasi profesi. Kedua, Pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam hal penolakan dapat dianggap sebagai pelanggaran hak atas kesehatan yang dijamin dalam UUD 1945 dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia. Ketiga, Dampak pada Akreditasi yakni rumah sakit yang terbukti menolak pasien gawat darurat dapat menghadapi risiko penurunan atau pencabutan akreditasi, yang berdampak pada reputasi dan operasional.

 

Tantangan dalam Penegakan Hukum

Meskipun kerangka hukum sudah jelas, penegakan hukum dalam kasus penolakan pasien gawat darurat masih menghadapi beberapa tantangan mulai dari seringkali sulit untuk membuktikan bahwa penolakan terjadi karena kelalaian atau kesengajaan, bukan karena keterbatasan fasilitas yang nyata. Ketidaktahuan masyarakat yang tidak mengetahui hak-hak mereka dan prosedur pelaporan ketika mengalami penolakan. keengganan melapor dari pihak korban atau keluarga terkadang enggan melaporkan kasus karena berbagai alasan, termasuk trauma atau ketakutan akan proses hukum yang panjang. Kemudian adanya Interpretasi "Kemampuan Pelayanan" yang menyebabkan adanya grey area dalam interpretasi "sesuai dengan kemampuan pelayanannya" yang sering menjadi celah hukum.

Langkah-langkah Preventif

Untuk menghindari dampak hukum, adapun dari permasalahan yang telah timbul maka alangkah baiknya penulis menyarankan kepada rumah sakit untuk dapat mengambil langkah-langkah berikut:

- Menyusun dan menerapkan Standard Operating Procedure (SOP) yang jelas untuk penanganan kasus gawat darurat.

-  Memberikan pelatihan rutin kepada staf tentang aspek hukum dan etika dalam penanganan pasien gawat darurat.

-  Memastikan ketersediaan fasilitas dan tenaga medis yang memadai untuk penanganan kasus gawat darurat.

-  Menjalin kerjasama dengan rumah sakit lain untuk sistem rujukan yang efektif.

-  Melakukan audit internal secara berkala terkait penanganan kasus gawat darurat.

Adapun dari permasalahan yang telah timbul maka dapat juga adanya kerugian yang ditimbulkan kepada pihak pasien maka, alangkah baiknya penulis menyarankan kepada pasien untuk dapat juga mengambil langkah-langkah berikut:

- Dokumentasi kejadian catat secara rinci waktu, tanggal, dan lokasi kejadian, jika memungkinkan, rekam percakapan dengan petugas rumah sakit (dengan izin), minta nama dan jabatan petugas yang menolak pelayanan.

- Minta surat penolakan resmi dari rumah sakit memberikan surat penolakan resmi yang mencantumkan alasan penolakan, pastikan surat tersebut ditandatangani oleh pejabat berwenang di rumah sakit.

- Kumpulkan bukti medis simpan semua dokumen medis yang relevan, termasuk hasil pemeriksaan awal jika ada, jika memungkinkan, minta salinan rekam medis dari rumah sakit yang menolak.

- Catat nama dan kontak orang-orang yang menyaksikan kejadian.

Dengan mengambil langkah-langkah preventif ini, pasien dapat lebih siap menghadapi potensi akibat hukum dari penolakan rumah sakit. Penting untuk diingat bahwa dalam situasi gawat darurat, prioritas utama adalah mendapatkan perawatan medis segera.

Kesimpulan

Dampak hukum dari penolakan pasien gawat darurat oleh rumah sakit sangatlah serius dan multidimensi. Mulai dari sanksi administratif, pidana, hingga gugatan perdata, konsekuensi hukum dapat berdampak signifikan terhadap operasional, reputasi, dan kelangsungan hidup sebuah institusi kesehatan. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak terkait rumah sakit, tenaga medis, pembuat kebijakan, dan masyarakat untuk memahami aspek hukum ini dan bekerja sama dalam mencegah terjadinya penolakan pasien gawat darurat. Dengan pemahaman yang baik tentang kewajiban hukum dan konsekuensinya, diharapkan pelayanan kesehatan gawat darurat di Indonesia dapat terus ditingkatkan, menjamin hak setiap warga negara atas akses pelayanan kesehatan yang adil dan berkualitas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun