Mohon tunggu...
dara suri
dara suri Mohon Tunggu... Mahasiswa - portofolio by Dara Kartika Suri

cuma sekadar tulisan biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sosok "Ibu" dalam Cerpen-Cerpen Mazhdar Zainal

6 Desember 2022   19:29 Diperbarui: 6 Desember 2022   19:41 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika dihadapkan dengan sebuah karya fiksi, pada dasarnya kita dihadapkan pada sebuah dunia yaitu dunia rekaan, dunia yang sudah dilengkapi dengan penghuni dan permasalahaannya. 

Dunia yang ditemui dalam sebuah karya fiksi bisa dunia apa saja, contohnya dunia binatang, politik, ilmu pengetahuan, pendidikan hingga dunia kehidupan perempuan. 

Dunia seputar kehidupan perempuan selalu saja menjadi topik pembicaraan yang hangat untuk diperbincangkan dan tidak pernah bosan untuk membacanya. Pada abad ke-18, buku bacaan berupa novel didominasi oleh novel-novel berlatar dan bertema rumah tangga yang ditulis oleh para kaum perempuan.

Di Indonesia, semenjak perkembangan sastra modern, rata-rata pengarang dari kalangan perempuan menulis tema-tema seperti itu. Berbeda dengan masa kini, di tengah sepinya karya sastra yang ditulis oleh perempuan, maka pengarang laki-lakilah yang mengisi kekosongan tersebut dengan menulis tema-tema seputar kehidupan dunia perempuan. Gaya menulis laki-laki akan berbeda dengan gaya menulis perempuan dalam menciptakan citra para perempuan ditulisannya.

Para perempuan cenderung mengangkat tema-tema yang ringan seperti penderitaan dan kemelaratan hidup yang dialami oleh kaum perempuan dan rata-rata karyanya mengandung unsur imaginasi yang tidak ditemukan oleh para pengarang laki-laki. 

Sedangkan, para lelaki cenderung menggambarkan perempuan memiliki oposisi biner terhadap laki-laki, sehingga melahirkan citra yang bisa dianggap diskriminatif dan stereotype terhadap para kaum perempuan.

Persoalan-persoalan mengenai dunia kehidupan perempuan terkadang dianggap hanya sebelah mata oleh masyarakat. Perempuan dianggap lebih rendah kastanya dibandingkan dengan laki-laki. 

Pandangan-pandangan tersebut masih ada hingga saat ini, terbukti dengan kerap terjadi penyepelean terhadap profesi ibu rumah tangga. Perjuangan seorang ibu rumah tangga sangat jarang diapresiasi oleh kebanyakan orang. Terkadang kaum perempuan juga lebih banyak yang memilih untuk menjadi wanita karir dibandingkan untuk menjadi ibu rumah tangga. Selain itu juga, perempuan kadang dianggap rendah oleh para kaum laki-laki. 

Mereka dengan mudah merendahkan harkat perempuan dengan cara yang berbeda-beda. Hubungannya dengan dunia kesusastraan adalah dunia kesusastraan dianggap sebagai tempat yang paling pas untuk mencurahkan segala isi pesoalan yang terjadi di masyarakat sehingga hal-hal yang dianggap sepele oleh masyarakat dapat dirasakan dan dilihat secara fiksi. 

Tema-tema permasalahan kaum perempuan sudah lebih dulu ditulis oleh para pengarang diantaranya Djenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, Nh Dini, Dewi Lestari dan pengarang-pengarang lainnya.

Berbeda dengan Mashdar Zainal, penulis kelahiran Madiun 15 April 1984 ini cerpennya sering dimuat oleh Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, dan lain-lain. Lelaki yang kesehariannya mengajar di sekolah dasar ini, memiliki kekhasan yang sudah diketahui para penggemarnya yaitu tulisannya yang lembut dan hangat dan didominasi dengan karyanya yang turut mengundang sedih para pembaca. 

Selain itu, dia juga dalam beberapa cerpen yang dimuat oleh Kompas mengangkat tema-tema seputar kehidupan kaum perempuan diantaranya permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan dan para ibu rumah tangga.

Tema-tema tersebut dapat kita temui dalam cerpen-cerpennya yang berjudul "Perempuan Itu Pernah Cantik" dan "Lumatan Cabai Di Wajah". Melalui cerpen-cerpen yang ia tulis menggambarkan bagaimana permasalahan-permasalahan para ibu rumah tangga dengan bercerita secara lembut dan melakukan penekanan peristiwa dengan cara pengulangan kata.

Cerpen berjudul "Perempuan Itu Pernah Cantik" mengisahkan tentang seorang ibu rumah tangga yang tidak pernah memiliki waktu untuk dirinya sendiri, setiap harinya ia habiskan untuk mengurus anak, memasak hingga membersihkan rumah. Kehidupan setelah ia berumah tangga sangat berubah dengan ia masih muda dahulu sebelum ia menikah.

Sedangkan cerpen yang terakhir berjudul " Lumatan Cabai Di Wajah" mengisahkan tentang Tinah yang diperlakukan tidak adil oleh mertuanya sendiri. Selain itu, suami Tinah sering bermain perempuan, terkadang dia tidak ragu merayu perempuan di depan mata Tinah. 

Suatu hari ketika Tinah disuruh untuk membuat sambal dan melihat kelakuan suaminya yang semakin hari semakin tak beradab ia melumatkan cabai yang ada di cobek ke wajah suaminya itu, ia langsung bergegas membawa anaknya pergi meninggalkan rumah mertuanya tersebut. 

Bahasa yang digunakan dalam cerpen-cerpen tersebut cenderung menggunakan bahasa langsung sehingga mudah dicerna oleh para pembaca. Alur penceritaan kedua cerpen tersebut berbeda. "Perempuan Itu Pernah Cantik" memiliki alur yang campuran karena selalu menceritakan ketika ia masih muda dahulu.

Representasi problem gender terasa di semua cerpen tersebut. Adapun ideologi gender yang memandang dan mewajibkan perempuan untuk taat pada suami, misalnya tampak dalam cerpen "Perempuan Itu Pernah Cantik" dan "Lumatan Cabai Di Wajah". Dalam cerpen tersebut istri selalu menuruti apa perkataan dan perintah sang suami. Istri tidak memiliki kekuasaan apa-apa di dalam rumah tangga. .... ada pada kutipan cerita berikut:

"Hei, tuli! Sekarang bikinkan suamimu sambal, tinggalkan itu semua. Suamimu mau makan. Sambal! Sekarang!"

Tinah mendengus sejenak, meninggalkan lap basah di atas sofa. Bergegas ke lemari es. Meraup puluhan cabai --yang terasa begitu dingin di tangan Tinah, tanpa tomat, tanpa bawang merah, tanpa bawang putih.

Dari kutipan di atas tersebut, ideologi perempuan harus nurut kepada laki-laki sudah mendarah daging di kehidupan para perempuan sehingga jika ia melakukannya sudah tidak secara sadar lagi. Selain itu juga kondisi yang lemah dan terlemahkan dari kaum perempuan itu sebenarnya dapat terjadi karena masih kuatnya unsur dominasi dan hegemoni dalam budaya patriarki yang menindas kaum perempuan. Kaum perempuan menjadi "korban" abadi dalam sistem kehidupan masyarakat yang mengalami ketimpangan struktural.

Selain itu juga, dalam cerpen "Perempuan Itu Pernah Cantik" merepresentasikan bagaimana kehidupan wanita setelah menikah dan punya anak. Berikut kutipan ceritannya:

"Aku memang pernah cantik." Selepas mandi sore bersama anaknya, ia akan berdiri di muka cermin. Sambil menunggu suaminya pulang kerja. Ia berlama-lama di muka cermin, mencari-cari jejak kecantikan yang barangkali masih tersisa. Namun sungguh, ia nyaris tak pernah menemukannya. Kulit wajah yang kencang itu telah mengendur. Persis bentuk tubuh yang menggelambir mirip buah pir. Matanya yang dulu binar telah meredup. Dihiasi garis-garis tipis di tiap sudutnya. Rambut yang dulu pekat mengilap dan selalu tampak basah itu kini kusam dan bercabang, bahkan mulai beruban. Ke mana perginya kecantikan masa muda?

Banyak sekali perubahan yang terjadi ketika perempuan sudah menikah dan memiliki anak. Perubahan tersebut tidak hanya terjadi secara fisik tetapi juga secara mental. Kebanyakan para ibu rumah tangga terlalu sibuk untuk mengurus urusan rumah tangga sehingga ia lupa bahwa diri dia sendiri juga perlu untuk dijaga dan dirawat.

Mari kita simak kedua kutipan cerita tersebut.

"Di rumah itu nyaris semua pekerjaan rumah dipasrahkan kepada Tinah, mulai mencuci celana dalam mertua sampai menjemur kasur yang ketumpahan susu."

                                                                        (Lumatan Cabai Di Wajah)

"Di masa silam, sebelum menikah, ia tak pernah membayangkan akan berjibaku dengan tumpukan baju kotor, detergen bubuk yang membuat kulit mengelupas, serta tali jemuran kendur yang terpancang dari batang pohon mangga ke pohon jambu."

                                                                        (Perempuan Itu Pernah Cantik)

Dari kedua kutipan tersebut sudah sangat jelas dalam menggambarkan peran gender perempuan di dalam masyarakat, bagaimana posisi perempuan dalam kehidupan berumah tangga sehingga kebanyakan orang menyimpulkan bahwa tempat yang tepat untuk seorang perempuan adalah di rumah. Tak banyak yang mengatakan bahwa perempuan kodratnya diam di rumah mengurus rumah. Sebenarnya perempuan diciptakan hanya untuk menjadi pembantu? Pandangan-pandangan seperti ini yang hendaknya dihapus dalam pemikiran masyarakat.

Demikianlah sepintas cerpen-cerpen karya Mashdar Zainal. Cerpen-cerpen sangat relevan dengan kejadian yang terjadi di masyarakat, terutama menyangkut permasalahan kaum perempuan.

Pengungkapan dalam cerita menggunakan bahasa yang lembut sehingga permasalahan yang berat bisa dibaca ringan. Karya-karya yang mengangkat tema-tema seputar perempuan sangat bermutu untuk dibaca dan dipahami. Apalagi dengan tulisan-tulisan Mashdar Zainal yang membuat siapapun pasti ikut terbawa ke dalam alur penceritaannya. Cerpen ini cocok untuk dibaca oleh kalangan apa saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun