Aku kembali lagi ke ruangan ini. Ruangan yang pernah menjadi tempat favoritku untuk melakukan berbagai aktivitas waktu senggangku. Aku ingat kamar ini. Kamar di mana aku dan Rama berbagi cinta setelah kami menikah empat tahun lalu. Aku melihat sekeliling, keadaannya masih saja sama seperti dulu sebelum aku memutuskan untuk pergi dari kamar ini. Dindingnya dicat putih tulang. Sebuah jendela berdesain vintage di sisi kirinya. Pintu bercat hijau toska. Kandelir kecil hadiah pernikahan dari ibuku yang menggantung di langit-langit juga masih utuh.
Tadi pagi, Rama memintaku untuk datang kembali ke kamar ini. Dengan senang hati aku mengiyakan ajakannya. Aku sangat mencintai suamiku itu. Aku bersedia melakukan apa pun untuknya. Aku duduk di tepi ranjang, mengingat-ingat masa laluku bersama Rama yang sangat menyenangkan.
Aku suka suasana kamar ini. Hanya dua batang lilin yang menyinari seluruh ruangan. Remang-remang dan cenderung gelap. Memang bukan jenis keremangan yang romantis, tapi tetap saja aku suka. Aku menenangkan diriku di sini, tersenyum-senyum sendiri.
Kamar ini menyimpan begitu banyak kenangan sampai aku tidak menyadari sudah 3 jam aku menunggu sendirian. Ke mana, ya, Rama? Apa dia begitu sibuk sampai terlambat dan tidak mengabariku dulu?
Tok ... tok ...
Seseorang mengetuk pintu. Itu pasti Rama! Aku buru-buru membuka pintu.
“Muti!” seseorang di balik pintu itu langsung memelukku.
“Ibu! Kok, Ibu ke sini juga?” aku membalas pelukan ibuku yang hangat.
“Ini, lho, adikmu bawa makanan sama buah-buahan segar buat kalian. Kan, lumayan toh”
Aku melongok ke belakang ibu. Ada Dinah di sana. Adikku. Wajahnya tertunduk dan tertutupi rambutnya. Aku dan Dinah memang sedang ada masalah dan belum ada dari kami yang cukup tegas untuk membuang gengsi dan meminta maaf.