Mohon tunggu...
Dara RatuKoto
Dara RatuKoto Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayah, Ini Anak Perempuanmu

6 Oktober 2024   20:55 Diperbarui: 6 Oktober 2024   20:58 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bu.. Aku berangkat ngampus dulu, ya" Ucap seorang gadis yang saat ini terburu-buru untuk berangkat kuliah karna seperti biasa, ia selalu terlmabat.

"Cepat pulang ya, dek. Nanti ibu mau antarkan ayahmu untuk periksa kesehatannya."

Tanpa menjawab pertanyaan ibunya, gadis 21 tahun itu langsung melajukan kendaraannya. Di perjalanan ia hanya memikirkan apakah ia akan telat lagi masuk kelas? Apa ia harus memutar arah kendaraannya supaya tidak masuk kuliah dan memilih nongkrong bersama temannya yang lain.

Tak terasa, terlalu banyak memikirkan akhirnya ia sampai di parkiran kampus. Ya, begitulah gadis itu setiap perjalanannya ke kampus. Selalu memikirkan apa ia harus bolos kelas hari ini, tetapi selalu saja terbantah dengan pikiran "Ayah dan ibuku sudah lelah bekerja agar aku tetap melanjutkan pendidikan yang mereka sangat inginkan". Tak bisa menolak takdir namun, gadis bungsu itu lah satu-satunya harapan terakhir orang tuanya.

**

 Suasana rumah ini terasa sangat berbeda, ibu masuk rumah dengan mata yang memerah sedangkan ayah dengan raut wajah yang susah untuk di deskripsikan. Apa yang sebenarnya dokter katakan kepada orang tuaku?

 "Ada apa, Bu?"

 "Ayahmu harus operasi lagi. Kali ini operasi yang lebih berat, ayah terkena kanker prostat." Air mata itu ternyata jatuh lagi. Tidak. Hal yang selama ini aku takutkan tidak mungkin akan aku alami. Ayahku pasti bisa sembuh seperti sebelumnya.

 Makan malam kali ini sangat hening. Ayah dengan terpaksa berusaha melahap makanan yang ada di depannya. Ayah selalu saja berusaha bahwa itu akan baik-baik saja, tapi aku adalah anaknya aku tahu bahwa sebenarnya ayah takut memikirkan kemungkinan yang akan terjadi ini.

 Hari-hari terus berlanjut dengan kebiasaan yang berbeda. Ibu yang selalu menginap di rumah sakit menemani ayah. Ibu yang sudah terbiasa dengan gemuruh riuh suara mesin yang berada di dalam ruangan ICU. Aku dan kakakku yang setiap hari selalu mengantarkan makanan untuk ibu.

 Kondisi ayah yang kian hari semakin buruk selalu membuat tidurku dan keluargaku tidak pernah tenang lagi. Operasi yang akan dijalani ayah bukan operasi yang mudah. Bahkan, operasi itu memiliki kemungkinan jika gagal, ayah tiada. Ayah sudah tidak bisa berbicara lagi karna energi ayah yang semakin habis, selang-selang yang menempel di tubuh ayah juga terlalu banyak, badan ayah yang semakin banyak muncul kebiruan karna seringnya pengambilan darah.

 "Ayah, kuat ya. Besok, jika ayah sudah sehat kembali ayo kita foto bersama, kuta harus sering jalan-jalan bersama, dan ayo kita olahraga badminton bersama. Ayah pasti sudah rindu kan main bersama teman-teman ayah yang lain?" Selama ayah di rumah sakit aku menjadi lebih sering bercerita kepada ayah, aku lebih sering memegang tangan ayah. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.

**

 ddrrttttt... dddrrttt...

Suara telfon yang berbunyi pagi ini rasanya sangat menakutkan untuk aku angkat. Pertanyaan terus muncul ada apa ibu menelfon ku pagi-pagi begini? Tidak biasanya. Apa yang sedang terjadi di rumah sakit saat ini. Apa yang harus ku lakukan sekarang?

"Adek, bangun.. Segera ke rumah sakit, ya" dengan suara yang terasa berat ibu memanggilku lewat telfon itu.

"Ibu.."

"Ibu tunggu, ya."

 Kaki ini terasa berat untuk melangkahkan kaki ke ruangan ICU ini. Ternyata, ayah benar-benar sudah tiada. Ayah sudah ditutupi dengan kain putih. Ketakutan itu benar terjadi kepada ku. Rasanya sangat hancur, terlalu banyak penyesalan yang selalu akan aku pikul selama hidupku ini.

 Tangan ayah yang ku pegang saat ini benar-benar berbeda seperti sebelumnya. Tangan besar ini sekarang terasa sangat dingin dan kaku. Berat sekali rasanya untuk melepas pegangan tanganku saat ini. Air mataku saat ini benar-benar tidak tertahan lagi. Tidak tahu cara untuk berhenti. Aku melihat ibuku yang ternyata lebih hancur lagi.

**

"Boleh cium dulu ayahnya untuk yang terakhir, air matanya jangan sampai terkena ayah, ya."

Perkataan itu sangat menyakitkan, sangat menakutkan, aku selalu ingin menunjukkan kasih sayang seperti ini kepada ayah tapi selalu kalah dengan ego dan malu pada saat ayah masih sehat. Tapi, kali ini ego dan malu itu benar-benar tidak ku pedulikan.

Ayah, bukan ini yang aku inginkan. Aku tidak punya kenangan yang akan ku ceritakan kepada orang-orang tentang kedekatan ku denganmu. Ayah, kembali lah. Sebentar lagi aku menyelesaikan kuliah ku, tapi ayah kemana? Ayah yang mengusahakan semuanya untuk pendidikan ku, ayah yang sangat ingin melihat aku memakai toga, tapi, ayah ke mana?

Ibu, benar-benar sangat hancur. Lebih hancur dari ku sepertinya. Ibu benar-benar kehilangan dunianya. Ayah yang selalu menemani ibu, ayah yang tidak pernah membiarkan ibu melakukan sesuatu sendirian. Ibu dan aku seperti kehilangan separuh jiwanya.

**

Ayah, ternyata memang benar dunia ini keras, dunia ini myesatkan bila tidak ada yang menuntun. Kenapa ayah harus pulang sebelum ayah benar-benar berperan sebagai seorang ayah. Sejak ayah pergi, setengahku juga ikut pergi.

Pendidikan ku selesai tanpa ayah. Foto studio yang sangat aku tunggu setelah wisuda ini ternyata hal yang menyakitkan. Ternyata, aku memang ditakdirkan tidak mempunyai foto keluarga yang sangat aku dambakan itu. Foto ayah dalam bingkai itu yang hanya bisa ku pegang saat ini.

Suara ayah sudah memudar di ingatanku, setiap malam aku selalu berusaha untuk mengingat suara kesayangan itu. Banyak momen di mana aku selalu terbangun tengah malam karna mendengar ibu yang masih menangis. Ternyata, selama ini ibu dan aku selalu pura-pura kuat, pura-pura menjadi baik-baik saja. Ibu benar-benar hancur, ingin rasanya aku memindahkan sebagian beban ke pundakku supaya ibuku tidak terlalu merasa sedih dan merasa terpuruk.

Ada pertemuan sudah pasti ada perpisahan. Ada kebersamaan sudah pasti ada kehilangan. Dan lucunya, kadang aku baru tahu betapa berharganya seseorang setelah dia pergi, dan yang tersisa tinggalah penyesalan.

Saat ini, aku kehilangan rasa aman. Seseorang yang ku anggap rumah yang memiliki perlindungan, kehangatan, kenyamanan benar-benar pergi. Seseorang yang selalu mengucapkan selamat tanpa peduli aku menang atau kalah. Saat orang itu pergi, rasanya dunia ini hancur.

Ayah pergi untuk selamanya, sedihnya lagi, aku tidak punya kenangan yang banyak bersama ayah. Belum banyak waktu yang bisa ku habiskan untuk main bersama, tertawa bersama. Bahkan foto bersama aku pun tak punya. Sedikit sekali kenangan tentang ayah yang masih terkenang di kepalaku dan kenangan itu akan ku simpan di ruangan tersendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun