"Ayah, kuat ya. Besok, jika ayah sudah sehat kembali ayo kita foto bersama, kuta harus sering jalan-jalan bersama, dan ayo kita olahraga badminton bersama. Ayah pasti sudah rindu kan main bersama teman-teman ayah yang lain?" Selama ayah di rumah sakit aku menjadi lebih sering bercerita kepada ayah, aku lebih sering memegang tangan ayah. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
**
 ddrrttttt... dddrrttt...
Suara telfon yang berbunyi pagi ini rasanya sangat menakutkan untuk aku angkat. Pertanyaan terus muncul ada apa ibu menelfon ku pagi-pagi begini? Tidak biasanya. Apa yang sedang terjadi di rumah sakit saat ini. Apa yang harus ku lakukan sekarang?
"Adek, bangun.. Segera ke rumah sakit, ya" dengan suara yang terasa berat ibu memanggilku lewat telfon itu.
"Ibu.."
"Ibu tunggu, ya."
 Kaki ini terasa berat untuk melangkahkan kaki ke ruangan ICU ini. Ternyata, ayah benar-benar sudah tiada. Ayah sudah ditutupi dengan kain putih. Ketakutan itu benar terjadi kepada ku. Rasanya sangat hancur, terlalu banyak penyesalan yang selalu akan aku pikul selama hidupku ini.
 Tangan ayah yang ku pegang saat ini benar-benar berbeda seperti sebelumnya. Tangan besar ini sekarang terasa sangat dingin dan kaku. Berat sekali rasanya untuk melepas pegangan tanganku saat ini. Air mataku saat ini benar-benar tidak tertahan lagi. Tidak tahu cara untuk berhenti. Aku melihat ibuku yang ternyata lebih hancur lagi.
**
"Boleh cium dulu ayahnya untuk yang terakhir, air matanya jangan sampai terkena ayah, ya."