Matius 22:39b; "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri"
Pluralitas/keberagaman dalam berbagai aspek hidup manusia tak jarang menghadrikan konflik pada level rendah hingga konflik tingkat tinggi. Kesalahpahaman yang menghadirkan kebencian dan permusuhan, bahkan peperangan terjadi oleh karena tidak mampu mengejawantahkan keberagaman sebagai sebuah kekayaan. Keberagaman dalam kebudayaan, pendidikan, ekonomi, seni, etika, dan keyakinan mampu mendatangkan masalah ketika tidak mampu di harmonisasikan menajdi sebauh kekuatan pada struktur kehidupan bermasyarakat/komunitas.
Oleh karena itu, ajakan Firman Tuhan ini menjadi kunci utama dan dasar pertama dalam membangun kemampuan untuk mengharmonisasikan setiap keberagaman tersebut. Dasar pertama dan utama yakni Kasih! Saling mengasihi sesama dalam konteks masyarakat yang plural akan mampu menerima setiap perbedaan.
Dengan demikian mengasihi sesama menjadi kata kunci dalam membangun toleransi bukan saja dalam skala berbangsa, namun juga dalam lingkungan-lingkungan Gereja. Sebab bukan saja dalam konteks-konteks bernegara prisnsip-prinsip toleransi tidak hadir, namun dalam keberagaman karunia,talenta, budaya, pendidikan yang ada dalam gereja seringkali memunculkan sekat-sekat diantara jemaat. Oleh karena itu ajakan untuk saling mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri adalah prinsip dasar dalam sikap yang toleran.
Namun pertanyaan mendasar pula adalah, bagaimana caranya suapaya kita semua mampu melahirkan kasih dari dalam hati kita kepada orang-orang yang faktanya banyak berbeda dengan kita? Dan bagaimana ukuran kasih kita itu kepada sesama?
Kita semua mungkin tidak sama dalam berbagai-bagai hal, namun yang menyamakan kita adalah sebagai manusia kita merupakan ciptaan Tuhan yang paling mulia dari ciptaan yang lain. Hal ini haruslah pondasi utama untuk mengasihi sesama. Akan sangat memprihatinkan bilamana bintang peliharaanmu sendiri mampu engkau sayangi, namun sesamamu manusia tidak! Oleh karena itu, sebagai sesama makhluk yang mulia yang diciptakan Tuhan adalah pondasi untuk kita mampu mengasihi sesama. Itulah sebabnya Tuhan memerintahkan kita semua untuk saling mengasihi sesama kita seperti diri kita sendiri.
Bagaimana ukuran kasih kita kepada sesaama? Ukurannya adalah kasih kita pada diri kita sendiri. Seberapa besar kasih kita kepada diri kita harus menjadi titik tolak kasih kita kepada sesama. Ini menunjukkan bahwa seseorang yang mampu mengasihi sesama adalah orang yang terlebih dahulu mampu mengasihi dirinya sendiri. Seseorang yang tidak mampu mengasihi dirinya sendiri dengan benar, maka tidak akan mungkin mampu mengasihi sesamanya.
Seseorang yang membenci dirinya sendiri, tidak mampu mengasihi sesamanya. Itulah penting menemukan alasan yang benar mengapa kita mengasihi diri kita sendiri. Mengasihi diri kita, pertama-tama seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya dia atas yakni karena memang kita adalah ciptaan Tuhan yang segambar dan serupa dengan-Nya. Maka kita wajib memelihara dan mengasihi tubuh kita, hidup kita. Dengan demikian sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan, kita di panggil untuk mengasihi sesama kita yang juga adalah ciptaan Tuhan.
Mengasihi sesama tidak harus menjadi serupa dengan mereka (khususnya dalam ketidak benaran kehidupanya). Pada konsep prinsip toleransi di bangsa ini menurut hemat saya masih jauh dari substansi. Saling mengucapkkan "SELAMAT" pada perayaan-perayaan hari besar keagamaan dipandang sebagai wujudk toleransi. Ketika seorang Kristiani mengucapkan "Selamat Idul Fitri" pada orang yang beragama muslim misalnya, hal itu telah dianggap toleran, dan sebaliknya orang Muslim mengucapkan "Selamat natal" pada kelompok nasrani telah dianggap toleran.Â
Menurut saya hal-hal demikian itu justru tidak begitu substantif dalam pemeliharaan toleransi. Tanpa saling mengucapkan "selamat" pada tataran demikiran itu pun menurut hemat saya kita dapat membangun toleransi, ketika sungguh-sungguh memahami bahwa perbedaan itu sebuah keniscayaan dalam sebuah komunitas atau bangsa. Ketika perbedaan diterima sebagai sebuah fakta, maka saling menghargai dan menghormati hak-hak orang lain, menghormati perbedaan yang ada, itulah toleransi yang substantif.Â
Maka tidak harus saling mememberi selamat pada setiap kepercayaan orang lain yang jelas-jelas kita anggap tidak benar menurut ukuran keyakinan kita, namun mampu memahaminya serta mengasihinya dengan dasar sebagai sesama manusia (Ciptaan Tuhan) akan menghadirkan harmonisasi masyarakat. Itulah maksudnya bahwa mengasihi sesama tidak harus mengakui setiap keyakinannya dan apalagi menjadi serupa dengan mereka. Yesus sendri yang menyatakan Firman ini supaya setiap kita mengasihi sesama, namun dalam konteks kebenaran Dia tidak memberikan toleransi pada siapa pun. Kebenaran itu tetap dinyatakan sekalipun nyawa-Nya harus menjadi taruhannya. T
etap menyatakan kebenaran adalah justru salah satu indikator kalau kita mengasihi sesama. Menyatakan kebenaran tanpa membenci, tanpa memusuhi, itu ibarat seorang dokter mendekati pasien lalu dengan penuh kasih menyatakan setiap penyakit yang ada di pasien, kemudian memberinya obat utk setiap penyakitnya. Apakah setiap pasien menerima diagnosa dan obat dari dokter? Belum tentu. Namun tugas dokter telah terlaksana sesuai SOP-nya.
Dengan kesimpulan; sebagai orang-orang yang lahir dari orang tua yang berbeda-beda, di besarkan dan dididik dalam konteks lingkungan dan budaya yang berbeda-beda, menjadikan kita semua menjadi berbeda. Mungkin berbeda dalam cara berbahasa, berbeda dalam budaya, berbeda dalam kemampuan, bahkan mungkin berbeda dalam keyakinan. Namun sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia dari ciptaan yang lain, Tuhan memerintahkan kita semua untuk saling mengasihi. Saya mengasihi saudara/i semua. Tuhan Yesus kiranya memberkati kita semua. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H