Mohon tunggu...
Indra Prasetyo
Indra Prasetyo Mohon Tunggu... -

penulis amatiran asli banyumas yg mencintai yogya, saat ini bekerja di ibukota.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Berguru Ikhlas pada Martabak Slamet

18 Juni 2012   14:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:49 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Slamet namanya, asalnya dari Tegal. Meski berpenampilan cukup rapi, kesan “medoknya” tetap terasa ketika mulai berbicara dengannya. Ia duduk termenung seorang diri di balik gerobaknya yang sepi. Namun ketika kumelihat sebungkus kantong kresek penuh dengan sampah cangkang telur, sepertinya jualannya hari ini tak buruk juga. Ia masih muda, setidaknya itu yang terlihat dari perawakannya.

“Beli apa mas?”

“Martabak telor yang dua puluh rebu bang!”

“Berapa?”

“Satu aja!”

Tanpa banyak omong, ia mulai melakukan pekerjaanya. Aku pun tak lagi mempedulikannya. Ini Jakarta Bung, bicara seperlunya saja. Beruntung hari ini langit tak lagi royal mencurahkan hujan, sehingga aku bisa leluasa menikmati suasanan jalanan yang tak lagi ramai. Ya inilah suasanan kaki lima seperti yang sering kunikmati dulu di Jogjakarta. Bedanya, tak ada tikar disini, melainkan tanah becek yang membuat siapapun tak ingin berlama-lama disana.

Akupun tak mengerti, diantara dagangan lain kenapa harus martabak yang kubeli, dan kenapa harus Slamet pula yang menjualnya? Aku tiba-tiba ingin menghentikan begitu saja motorku setalah hampir satu setengah jam berjibaku dengan kemacetan. Dan akhirnya Slamet, bocah kampung inilah yang kutemui. Dari tuturnya, aku kemudian memahami, kaki lima adalah lebih dari sekedar gerobak, lebih dari sekedar dagangan dan lebih dari sekedar orang-orang yang hidup dengan sumber daya terbatas. Kaki lima adalah kehidupan.

“Kerja apa kuliah mas?”

“Kerja!”, aku menjawab sekenanya. Disini aku tak bisa menerima begitu saja sebuah keramahan.

“Usia berapa mas?”

Bajingan! dasar bocah kampung tak tahu sopan santun, aku mengumpat dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun