“23, knapa emang?”
Dengan polosnya ia berkata “Oo, ya kakakku berarti, aku baru 21”
Masa bodoh, apa urusanku? Tentu saja kembali hanya kuteriakkan dalam hati.
Entah apa yang ada di pikirannya ia kembali mengajukan sebuah pertanyaan yang nyaris membuatku bangkit dan melemparkan helm yang kupegang ke kepalanya, jika saja nyaliku cukup-yang nyatanya tidak.
“Anak keberapa mas?”
Gusti Allah, Tuhan semesta alam, rasanya baru kali ini aku menemui bocah kampung dengan pertanyaan yang begitu menjengkelkan. Aku pun terpaksa memenuhi pertanyaanya.
“Anak ke enam”
“Enak berarti mas sampean, banyak sodara. Aku anak pertama masih punya adik sekolah SMP” ia berbicara tanpa menatapku. Tatapanya masih juga terpaku pada adonan yang dibuatnya. Ya, aku yakin kali ini ia sedang bicara untuk dirinya, bukan untukku. Tuturnya membuat nuraniku kali menentang untuk berteriak, “apa urusanku?”
Aku terdiam, menatapnya dan menunggu apa yang akan ia ceritakan padaku. Sial, sunyi. Aku pun tak tahu harus mengatakan apa, hanya pertanyaan saja yang terlintas di benakku.
“Lah, emang keluarga di mana Bang?”
“Tegal”