Slamet namanya, asalnya dari Tegal. Meski berpenampilan cukup rapi, kesan “medoknya” tetap terasa ketika mulai berbicara dengannya. Ia duduk termenung seorang diri di balik gerobaknya yang sepi. Namun ketika kumelihat sebungkus kantong kresek penuh dengan sampah cangkang telur, sepertinya jualannya hari ini tak buruk juga. Ia masih muda, setidaknya itu yang terlihat dari perawakannya.
“Beli apa mas?”
“Martabak telor yang dua puluh rebu bang!”
“Berapa?”
“Satu aja!”
Tanpa banyak omong, ia mulai melakukan pekerjaanya. Aku pun tak lagi mempedulikannya. Ini Jakarta Bung, bicara seperlunya saja. Beruntung hari ini langit tak lagi royal mencurahkan hujan, sehingga aku bisa leluasa menikmati suasanan jalanan yang tak lagi ramai. Ya inilah suasanan kaki lima seperti yang sering kunikmati dulu di Jogjakarta. Bedanya, tak ada tikar disini, melainkan tanah becek yang membuat siapapun tak ingin berlama-lama disana.
Akupun tak mengerti, diantara dagangan lain kenapa harus martabak yang kubeli, dan kenapa harus Slamet pula yang menjualnya? Aku tiba-tiba ingin menghentikan begitu saja motorku setalah hampir satu setengah jam berjibaku dengan kemacetan. Dan akhirnya Slamet, bocah kampung inilah yang kutemui. Dari tuturnya, aku kemudian memahami, kaki lima adalah lebih dari sekedar gerobak, lebih dari sekedar dagangan dan lebih dari sekedar orang-orang yang hidup dengan sumber daya terbatas. Kaki lima adalah kehidupan.
“Kerja apa kuliah mas?”
“Kerja!”, aku menjawab sekenanya. Disini aku tak bisa menerima begitu saja sebuah keramahan.
“Usia berapa mas?”
Bajingan! dasar bocah kampung tak tahu sopan santun, aku mengumpat dalam hati.