Pantas, gaya bicaranya seperti aku pernah mendengar sebelumnya. Tak buruk, tapi logatnya istimewa. Seketika aku pun mengajaknya bicara dalam bahasa Jawa, dan Iapun lalu melanjutkan kisahnya.
“Kulo mung lulusan SMP, riyin kepengin lanjut tapi mboten kepenak kalih wong tua jalaran kulo gadah adi sami-sami mlebet SMP, dados kulo sing ngalah” (Saya Cuma lulusan SMP, dahulu ingin lanjut sekolah tapi nggak enak dengan orang tua karena saya punya adik sama-sama masuk SMP, jadi saya mengalah)
Tak perlu aku bertanya lagi, dari kedalaman emosi penuturanya aku yakin ia lah yang menjadi tulang punggung keluarganya saat ini. Ia memang bocah kampung, namun jiwanya tak kampungan. Ia pahlawan setidaknya bagi keluarganya sendiri. Aku pun tertunduk malu. Kemeja rapi yang kukenakan ini, tanda pengenal beremblem bulatan T yang masih tergantung di leherku bukan apa-apa dibandingkan dengan harga diri Slamet. Tapi tentu saja ia tak akan berpikir demikian. Baginya aku jauh terlihat lebih mapan dan beruntung. Biarlah Slamet berpikir begitu, aku tak tega untuk mendebatnya.
Seandainya saja Slamet tahu, dari kacamataku ia adalah orang yang bebas. Ia tak perlu berlarian untuk mengejar transjakarta, pun tak perlu mengumpat kemacetan jalanan ibu kota. Kehidupanya ada pada gerobak dan martabak. Itu saja. Penjual martabak memang mungkin tak bisa menjanjikan banyak hal, tapi ia mengajariku satu hal, rasa syukur. Ya, bagiku orang-orang seperti Slamet memang sejatinya memiliki kadar keimanan yang lebih tinggi pada sang Pencipta, seperti yang diceritakan oleh seorang kawan padaku, "menjadi pedagang, doanya harus kuat karena cobaan bagi pedagang adalah ketidakpastian rejeki".
Ooo Slamet, kau mungkin tak perlu berkecil hati dengan profesimu. Ketika suatu saat dunia gonjang-ganjing dan aku dipecat, kau yang akan selamat. Duniamu tak kenal krisis, karena kau selalu hidup dalam taraf yang ala kadarnya. Krisis atau tidak sama saja, karena dalam pikiranmu kau berjuang untuk sesuatu yang lebih bermakna dari pada sekedar gengsi, blackberry atau mobil-mobil keluaran terbaru yang terus saja menjejali jalanan di ibu kota. Kau akan tahu ketika kau ada di posisiku, tapi tak perlu, percayalah. Kau dengan segala keluguanmu harus tetap ada di dunia yang sudah gersang dengan empati. Kau harus tetap bertahan untuk mengajari orang-orang sepertiku selalu bersyukur kepada-Nya.
Antara Sunter dan Bekasi, 13 Januari 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H