Pesta demokrasi di Masa Pandemi Berpotensi Membawa DukaOlehAlin FM
Praktisi Multimedia dan Penulis
Pilkada serentak 9 Desember 2020 masih menyisakan waktu kurang dari 3 bulan ke depan. Euforia dan pesta demokrasi pilkada yang menyita perhatian sudah di depan mata. Yakni, kampanye paslon peserta, pengadaan logistik, serta pemungutan dan penghitungan suara. Paling krusial adalah bagaimana membatasi kerumunan dan pembatasan atau social distancing. Faktanya, kesadaran dan disiplin protokol kesehatan masyarakat masih lemah dan masih banyak yang melanggar. Alhasil, tantangan penyelenggaraan pilkada 2020 ini tentunya lebih sulit karena harus juga memperhatikan penerapan protokol kesehatan.
Â
Pesta demokrasi yang akan kembali digelar dengan biaya 4,1 Â triliun rupiah menimbulkan kekhawatiran di masa kampanye paslon dan hari H (pemungutan dan penghitungan suara) pada pilkada serentak. Pasalnya, sangat rentan menjadi klaster baru persebaran covid-19 akan mengakibatkan lonjakan di berbagai daerah pada saat pesta demokrasi berlangsung. Terlebih, jika pilkada diikuti aksi dukung-mendukung berlebihan dan tetap melibatkan khalayak ramai. Sehingga pilkada masa pandemi berpotensi membahayakan kesehatan dan keselamatan rakyat dan akhirnya membawa duka.
Ormas besar di Indonesia baik Muhammadiyah, NU, Â dan FPI sudah menyerukan agar pilkada serentak ditunda. Begitupun Wakil presiden RI 2014-2019 Yusuf Kalla menyarankan untuk ditunda. Tetapi, pemerintah, DPR dan KPU tak bergeming. Pilkada serentak tetap akan digelar 9 Desember 2020. Tentunya, dengan segala resiko terpapar dan penyebaran virus covid-19.
Â
Masa (kampanye) pilkada serentak ini merupakan momen euforia demokrasi. Euforia yang sejatinya ambisi untuk meraih kekuasaan di daerah. Â Pilkada pun bisa menjadi peluang money politik berpotensi besar mendatangkan kerumunan massa. Jika, momen pilkada juga ada arus perputaran uang yang besar, maka pasti juga akan menjadi magnit banyak orang untuk menjemputnya.
Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap protokol kesehatan covid-19 pada pilkada 2020 menjadi kekhawatiran terjadinya klaster baru penyebaran covid-19. Meskipun telah ada anjuran untuk mematuhi protokol kesehatan oleh penyelelenggara pilkada tapi sampai saat ini jauh panggang dari api. Kondisinya tak sebanding dengan kampanye yang berpotensi menimbulkan kerumunan massa baik saat deklarasi pasangan calon maupun pendaftaran calon di KPUD pada 4-6 September yang sudah berlangsung ataupun tahapan berikutnya. Cara pesta rakyat ala demokrasi selalu identik dengan mengumpulkan ratusan atau ribuan massa dalam satu tempat layaknya pada keadaan normal. Kalau sudah begini bagaimana menghentikan klaster penyebaran covid-19.
Inilah fakta pilkada yang notabene instrumen demokrasi. Bingkai demokrasi memberi ruang untuk menjalankan aturan secara bebas sesuai dengan ambisi meraih kekuasaan. Nyawa rakyat yang menjadi taruhan adalah pertimbangan nomor dua.
Mengesampingkan dan mempertaruhkan nyawa rakyat atas nama merawat demokrasi adalah fakta sebenarnya dari wajah demokrasi. Membuat rakyat jengah dan apatis. Di tengah pandemi covid-19 yang membuat  ekonomi terpuruk, kriminalitas makin merajarela, biaya pendidikan juga kesehatan tetap tak terjangkau, perceraian dan kenakalan remaja terus meningkat. Lantas untuk apa masih berharap dan mempertahankan sistem demokrasi ini yang terbukti telah gagal mengutamakan kepentingan rakyat.
Rakyat membutuhkan bukan solusi coba-coba ataupun tambal sulam. Bukan solusi yang terus menawarkan janji-janji manis. Tapi Solusi yang membahagiakan dunia dan akhirat. Pastinya hanya bersumber dari Sang Pencipta, Allah SWT. Solusi warisan berharga Rasulullah Saw yaitu Islam. Sudah saatnya kita beralih kepada sistem Paripurna yang akan membawa cahaya kehidupan manusia.
Islam memiliki aturan yang lengkap untuk mengatur kehidupan termasuk sistem politik dan pemerintahan. Pemerintah dalam sistem Islam akan berupaya untuk melindungi nyawa rakyat dan menjamin kesejahteraan rakyat. Hal ini telah terbukti dan tercatat dalam sejarah kegemilangan peradaban Islam dimasa Rasulullah SAW dan dilanjutkan oleh para khalifah setelah selama berabad-abad. Di zaman Kekhalifahan Umar bin Khattab, merebaknya wabah thaun. Dengan sigap Khalifah Umar memerintahkan walinya Amr bin Ash ra memimpin Syam. Dengan izin Allah SWT dan kecerdasannya, Amr bin Ash mampu menyelamatkan Syam dari wabah tersebut. Pada akhirnya wabah tersebut berhenti.
Dalam Islam, saat terjadi wabah, pemimpin akan benar-benar mengurusi rakyat dengan sebaik-baiknya. Cepat mengambil keputusan yang selalu berlandaskan atas apa yang Allah dan Rasul-Nya. Landasan kepemimpinannya adalah ketakwaan kepada Allah Swt, bukan berlandaskan kepentingan meraih kekuasaan dan jabatan semata. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw.
"Imam itu adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR Al Bukhari)
Dalam sistem pemerintahan Islam, kepala daerah tidak dipilih oleh rakyat tapi langsung oleh Khalifah, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan para khalifah setelahnya. Hal ini menjadikan proses pemilihan kepala daerah demikian efisien, murah dan cepat.
Meski demikian Beliau saw. juga menjelaskan kriteria pemimpin/pejabat, termasuk kepala daerah harus dipilih berdasarkan kelayakan, kapasitas dan keamanahannya. Sabda beliau:
"Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah kehancuran." Seorang Arab baduwi berkata, "Bagaimana amanah itu disia-siakan?" Beliau bersabda, "Jika urusan diserahkan kepada selain ahlinya, tunggulah saat-saat kehancuran."
 (HR Al Bukhari dan Ahmad).
Rasulullah saw. memperingatkan, jika urusan itu dipercayakan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak layak) maka akan terjadi kerusakan. Itu berarti menyia-nyiakan amanah. Jabatan hendaknya tidak diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi apalagi terobsesi dengan jabatan itu.
Dengan kebijakan tegas yang diambil oleh penguasa dalam sistem Islam, maka akan membawa keselamatan bagi rakyatnya, karena wabah tidak akan menyebar luas ke seluruh penjuru dunia. Apalagi di tengah pandemi saat ini, keselamatan dan kesehatan rakyat menjadi hal  yang paling diutamakan dalam sistem Islam.
Dan juga segala kebijakan yang diambil penguasa dalam sistem Islam tidak akan mengorbankan rakyatnya, karena keputusan dalam pengambilan kebijakan selalu berlandaskan ketaqwaan kepada Allah SWT. Dan hal itu hanya akan terwujud ketika sistem yang diterapkan adalah sistem dari Allah SWT, yakni sistem pemerintahan Islam.
Wallahu'alam bi-showab
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H