"Mau gimana lagi, Mbak? Honor di orkes dangdut milik Bos Umal paling tinggi dibanding orkes yang lainnya. Kalau kita pindah grup malah tidak bisa nutup kredit," sahut Dalis sambil mengunyah permen karet.
Obrolan mereka terjeda karena sang pembawa acara sudah memanggil berulang kali. Mau tidak mau, mereka harus bergegas ke panggung.Â
"Semangat ya, Mbakku!"
Vita hanya melengos ketika Sri Panggung memberi semangat, sementara Dalis mengangguk ramah.
"Kayaknya, Mbak Vita makin benci aja ama aku. Bener nggak, Cek?" tanya Sri Panggung kepada Cek Upang, salah satu tim MUA.
"Gosah diambil hati, Sri. Kek nggak kenal Vita aja. Entar, kalo udah diketekin Bos Umal juga sembuh cemberutnya."
Para perias lain cekikikan saat mendengar celoteh Cek Upang. Skandal antara Bos Umal dan Vita bukan sekadar isapan jempol belaka, bahkan Sri Panggung memergoki sendiri saat seniornya tersebut dibawa oleh si bos ke hotel yang mahal.
"Lagian, Bos Umal nggak peka ama kode ane. Jelas-jelas ane yang tulus mencintainya ... dia justru ngekepin Vita mulu," sambung Cek Upang dengan nada kemayu.
"Soale Vita wadonan tulen, sedangkan Cek Upang kan masih abu-abu."
Kelakar demi kelakar sedikit mengalihkan kegalauan hati Sri Panggung. Persaingan antar penyanyi di setiap orkes dangdut sudah lazim terjadi, tetapi dia tidak ingin memantik permusuhan dengan siapa pun. Perkara ranjang antara seniornya dan si bos pun, dia lebih memilih buta tuli daripada tersandung masalah. Dia hanya ingin bekerja secara profesional, lalu menabung demi masa depan anaknya.
Sri Panggung bersiap untuk pulang ke kost setelah manggung. Dia sengaja menyewa kost harian karena secara perhitungan bisa lebih hemat. Selain itu, tempat manggung yang tidak tetap turut menjadi pertimbangan sehingga sangat sayang jika harus sewa bulanan atau kontrak rumah.