Mohon tunggu...
Cerita Pemilih Pilihan

Pemilih Pemula, Pilpres, dan Golput

5 Desember 2018   00:43 Diperbarui: 12 Februari 2019   11:57 1735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan Negara demokrasi, yang mana para pemimpin mulai dari Kepala Daerah, Dewan Legislatif, dan Presiden semuanya dipilih melalui suatu proses yang dinamakan Pemilihan Umum atau dapat disingkat sebagai Pemilu. Pemilu adalah sebuah proses pemilihan yang dilakukan oleh seluruh masyarakat yang memenuhi syarat untuk memberikan suaranya dengan cara melubangi atau mencoblos surat suara pada foto calon pilihan yang diinginkan, proses ini dilakukan pada tempat pemungutan suara. Setiap  surat suara yang sah kemudian dihitung sehingga didapatkan calon dengan suara terbanyak.

Pemilihan presiden dilakukan dengan proses Pemilu, dengan tujuan memilih Presiden dan Wakil Presidennya yang sesuai dengan pilihan masyarakat. Pemilihan presiden atau Pilpres diadakan setiap 5 tahun sekali, Pilpres terakhir yang diadakan adalah pada tanggal 9 Juli 2014, dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Indonesia terpilih periode 2014 sampai dengan 2019.

Pada tanggal 17 April 2019 nanti, akan diadakan pemilihan umum pasangan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2019 -- 2024. Pemilu presiden akan diadakan serentak di seluruh Indonesia. Pada pemilu presiden kali ini diikuti oleh dua pasangan calon yaitu Joko Widodo beserta wakilnya Ma'ruf Amin, juga Prabowo Subianto dengan wakilnya Sandiaga Uno.

Setiap warga negara RI yang berusia 17 tahun atau lebih berhak memberikan suaranya pada pemilu presiden 2019. Dan sebagian dari kelompok usia tersebut belum pernah mengikuti pemilu presiden sebelumnya yang disebut dengan istilah pemilih pemula. 

Keikutsertaan para pemilih pemula dalam memeriahkan pesta demokrasi ini sangat berpengaruh sebab jumlahnya yang cukup besar, maka kami berkeinginan untuk mengetahui seberapa besar dan bagaimana caranya menambah tingkat partisipasi politik dari kelompok ini.

Tentu saja hak untuk memberikan suara pada pemilu tidak hanya sekedar dimiliki, namun pemilik hak juga harus melakukan kewajibannya yaitu dengan memberikan hak suaranya pada hari pemilihan umum. 

Dari sinilah munculnya istilah golput, atau golongan putih, yang ditujukan kepada masyarakat yang memiliki hak untuk memilih namun memutuskan untuk tidak memberikan suaranya, atau bahkan memutuskan untuk tidak berpartisipasi sama sekali. Dengan demikian, kita berasumsi bahwa pemilih pemula yang baru pertama kali berkesempatan untuk memilih dapat saja memutuskan untuk golput. Maka dari itu, diambil lah tema Pemilih Pemula, Pilpres, dan Golput.

Tema ini menarik untuk diambil dan dikaji karena membahas tentang peran pemilih pemula dalam pemilu presiden 2019 mendatang. Baik mereka yang memutuskan untuk menggunakan hak pilihnya ataupun yang memutuskan untuk golput, hal tersebut dapat dijadikan sebagai tolak ukur  mengenai pemahaman para pemilih pemula yang berisikan generasi muda mengenai politik.

Ada beberapa alasan yang membuat pemilih pemula ingin melakukan golput, mulai dari kurangnya pemahaman tentang pentingnya menggunakan hak pilih, tidak mengikuti perkembangan politik yang ada, tidak ingin memilih pasangan calon manapun karena dirasa tidak ada yang sesuai dengan keinginan, hingga anggapan memilih ataupun tidak memilih tidak akan berpengaruh apapun. Hal inilah yang akan kita kaji lebih lanjut di bagian pembahasan.

Selain menyangkut permasalahan politik, tema ini juga memiliki hubungan yang erat dengan dunia desain komunikasi visual, yaitu dengan mengamati pemilih pemula dan partisipasi politiknya desainer dapat memberikan solusi dalam berbagai permasalahannya. 

Desainer juga dapat berperan sebagai makhluk politik, baik dalam hidup bermasyarakat maupun sebagai pencipta benda desain. Karena dalam dunia politik maupun dunia desain, erat kaitannya dengan pengaruh (influence), persuasi, dan manipulasi.

PEMBAHASAN

Pada dasarnya setiap orang yang sudah memenuhi persyaratan untuk menjadi pemilih memiliki hak untuk memilih, terlepas dari kewajiban individu dalam berpartisipasi dalam dunia politik. Namun kembali lagi ke pribadi masing-masing apakah kita akan menggunakan hak itu atau tidak karena setiap orang memiliki keinginannya sendiri-sendiri di luar pengaruh, persuasi, manipulasi, maupun paksaan terhadap dirinya.

Negara memiliki sifat memaksa. Hal ini maksudnya adalah memaksa masyarakat untuk tunduk pada peraturan dan perundang-undangan yang ada, yang sudah ditetapkan dan diterapkan. Namun di sana tertulis bahwa memilih hanyalah hak, yang mana masyarakat bebas untuk menggunakannya atau tidak karena didukung juga dengan undang-undang pemilu dan UUD tentang HAM.

Konflik yang terjadi antara pendukung dua pasangan calon juga membuat para netral menjadi muak sehingga semakin tidak tahu mau memilih siapa atau bahkan menjadi semakin tidak ingin untuk memilih. Terutama bagi para pemilih pemula yang tergolong baru dan masih awam dengan dunia politik.

Pandangan Thomas Hobbes:

Pada dasarnya manusia itu mementingkan diri sendiri dan rasional. Oleh karena itu, secara alamiah manusia cenderung berkonflik dengan sesamanya. Sifat mementingkan diri sendiri tampak dalam persaingan memperebutkan perolehan atau kekayaan, ketidakberanian demi keselamatan, dan kemuliaan demi reputasi.

Pandangan John Locke:

Kebebasan individu hanya dapat dijamin dengan suatu pemerintah yang memiliki kewenangan terbatas. Sebelum terbentuknya masyarakat dan pemerintah, secara alamiah manusia berada dalam keadaan yang bebas sama sekali dan berkedudukan sama (perfectly free and equals). Karena bebas dan berkedudukan sama, tidak ada orang yang bermaksud merugikan kehidupan, kebebasan dan hak milik orang lain. Manusia bersifat rasional karena dialah satu-satunya makhluk yang memiliki akal budi.

Setiap manusia berhak mendapatkan "milik pribadi" (property) karena manusia juga makhluk pencari milik pribadi. Fungsi pemerintah, menurut Locke, adalah memelihara milik pribadi, yakni perdamaian, keselamatan, dan kebaikan bersama setiap warga masyarakat.

Untuk melindungi hak-hak golongan minoritas dan hak-hak individu dari tirani kekuasaan absolute, menurut Locke, pemerintah harus melaksanakan kewenangannya berdasarkan hukum (rule of law). Baginya, pemerintah berdasarkan hukum tidak hanya menuntut semua pejabat Negara bertindak sesuai hukum, tetapi juga pembuat hukum (legislatif) harus terpisah dari pelaksanaan hukum (eksekutif) dan pengadilan (yudikatif).

Partisipasi Politik Menurut Samuel P. Huntington & Jean Nelson

Di dalam bukunya, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, Samuel P. Hutington & Jean Nelson membahas hakikat paritispasi politik. Menurutnya, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara (private citizen) yang ditujukan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah guna  menanggapi aspirasi, preferensi dan kebutuhan-kebutuhan dari partisipan .

Ada beberapa aspek yang mendasari definisi tersebut. Pertama, partisipasi politik mencakup kegiatan-kegiatan akan tetapi tidak mencakup sikap-sikap. Orientasi-orientasi partisipan politik, serta perilaku politik mereka yang nyata bukan merupakan bagian dari  cakupan partisipasi politik dikarenakan memerlukan penelaahan dan pengukuran serta memerlukan teknik-teknik yang berbeda dengan yang diperlukan untuk menelaah perilaku saja. Demikian, Samuel memisahkan kegiatan politik yang obyektif dan sikap-sikap politik yang subyektif sebagai variabel-variabel yang terpisah .

Samuel menarik garis antara partisipan-partisipan politik dengan professional di dalam bidang politik. Konsep Samuel mengenai partisipasi politik tidak mencakup kegiatan-kegiatan professional pejabat-pejabat pemerintah yang berkutat di dalam peranan-peranannya masing-masing di politik tersebut. 

Namun tidak berarti pejabat-pejabat pemerintah tidak bisa berpartisiapsi politik. Konsep partisipasi politik tidak mencakup kegiatan pejabat pemerintah dalam menentukan kebijakan pemerintah di dalam lingkungan pekerjaannya, namun mencakup kegiatan pejabat tersebut apabila suaranya dalam suatu pemilihan umum. 

Partisipasi politik merupakan kegiatan sekunder jika dibandingkan dengan peranan-peranan sosial lainnya. Oleh karena itu ada banyak kegiatan politik yang tidak bisa diakatakan sebagai partisipasi politik.

Aspek berikutnya yang menjadi pokok perhatian Samuel adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Kegiatan-kegiatan tersebut ditujukan kepada pejabat-pejabat umum yang diakui memiliki wewenang untuk mengambil keputusan dan yang memiliki wewenang final dalam pengalokasian nilai-nilai secara otoritatif di dalam masyarakat. 

Dinamika politik bisa berlangsung tanpa ada ikut campur pemerintah. Kegiatan seperti demo, mogok kerja, dan hal lain sebagainya yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pemilihan kebijakan merupakan partisipasi politik.

Ada banyak cara untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah, antara lain dengan cara membujuk ataupun dengan cara menekan pejabat-pejabat untuk bertindak dengan cara-cara tertentu. 

Selain itu, partisipan bisa berusaha untuk mengganti pengambil keputusan-keputusan dengan mereka yang dianggap layak serta diharapkan dapat lebih menanggapi preferensi dan kebutuhan mereka. 

Bahkan partisipan politik dapat pula berusaha mengubah aspek-aspek system politik itu sendiri, atau malah merubah system politik secara mendasar dan menyeluruh agar pemerintah bersikap lebih tanggap terhadap keinginan partisipan.

Kegiatan partisipasi politik menurut Samuel terbatasi oleh perihal-perihal legalitas maupun norma-norma masyakarat. Demikian huru hara, protes, demo---hingga pemberotakan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pejabat-pejabat pemerintah merupakan bentuk-bentuk partisipasi politik.

Samuel dan Jean mendefinisikan Partisipasi politik tidak hanya mencakup kegiatan yang bermula pelaku yang memiliki kesadaran individu (otonom) untuk mempengaruhi pemerintah dalam pembuatan kebijakan, akan tetapi juga kegiatan yang oleh orang lain di luar si pelaku yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Demikian partisipasi politik bisa berupa partisipasi otonom maupun parisipasi dimobilisasikan.

Pemilu 2019 nanti merupakan kesempatan bagi para pemilih pemula dalam berpartisipasi secara aktif ataupun pasif. Golput dihargai sebagai pilihan politik dalam persepsi Negara demokrasi.

Jika masyarakat merasa tidak puas dengan pemerintahan yang ada, masyarakat dapat berpartisipasi dalam pengawasan rakyat kepada pemerintah yang bisa dilakukan melalui wakil-wakil mereka yang dipilih (DPR), media massa, petisi, surat-menyurat, dan secara langsung lewat aksi-aksi damai seperti demonstrasi, unjuk rasa, dan sebagainya. Bisa juga ditempuh melalui pengadilan bila dirasa memungkinkan.

Survey Pemilu 2019 Terhadap Pemilih Pemula
Kami memutuskan untuk membuat survey online melalui google form untuk mendapatkan respon langsung dari para calon partisipan pemilu 2019. Dari 146 responden milenial yang mengikuti survey tersebut, 45 orang setuju dengan adanya fenomena golput, walaupun 26 di antaranya telah memilih untuk memberikan hak pilihnya pada Pemilu 2019 mendatang.

Alasan-alasan responden ini setuju dengan adanya fenomena golput antara lain:

Kebebasan atau hak perorangan, menjadi indikator kebebasan atau demokrasi;

Ketidakpercayaan terhadap paslon, trauma akan janji-janji yang belum ditepati presiden sebelumnya;

Sedang berada diluar daerah domisili;

Sumber pembiayaan program kerja yang tidak transparan;

Maraknya kampanye yang saling serang antara paslon, adanya penggunaan unsur SARA dalam kampanye;

Tidak ingin hak suaranya dimanipulasi oleh oknum-oknum dari masing-masing kubu paslon; 

Merasa memilih bukan kewajiban;

Merasa tidak ingin dipaksa memilih;

Bentuk kebebasan berpendapat;

Merasa tidak melanggar undang-undang;

Tidak terlalu mengerti dan mengikuti politik Indonesia.


Alasan yang paling sering muncul adalah kebebasan perorangan dan ketidakpercayaan terhadap para paslon.

Berikut beberapa kutipan komentar responden yang setuju akan fenomena golput :


"Setuju, adanya golput bisa dikatakan menjadi indikator konsep berdemokrasi. Karena tidak semua calon yang ada bisa diterima khalayak umum dan tidaklah pantas untuk memaksakan kehendak pemilih untuk memilih yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya."

"Oya (golput) sah-sah saja. Saya harap walau golput tetap mencoblos. Menghindari suara kalian dimanipulasi. Kenapa golput? Mungkin nilai-nilai dari semua calon belum ada yang mewakili aspirasi kalian, malah mungkin bertentangan."

Berbanding dengan tanggapan persetujuan terhadap golput, tanggapan yang tidak setuju dengan adanya golput mayoritasnya memiliki alasan bahwa golput menyia-nyiakan hak pilih yang sudah diberikan kepada masyarakat dan merasa hak pilihnya bisa membawa dampak perubahan kepada Indonesia.

Dapat dilihat dari alasan-alasan tersebut mayoritas milenial baik yang setuju ataupun yang tidak setuju dengan adanya fenomena golput karena mereka sudah cukup kritis dengan keadaan politik di Indonesia. Walaupun masih ada yang beralasan tidak mengikuti perkembangan politik, namun alasan ini hanya diutarakan oleh sedikit responden.

Pada pemilu 2019 nanti, diharapkan keikutsertaan dan partisipasi dari para generasi muda terutama pada pemilih pemula baik secara aktif maupun pasif, yakni partisipasi yang aktif mengajukan kritik terhadap suatu kebijakan, dan partisipasi yang pasif menerima dan melaksanakan apa saja yang diputuskan pemerintah. Hal ini dimaksudkan karena generasi muda khususnya pemilih pemula berperan penting dalam memberikan suara yang cukup besar dibandingkan yang lainnya.

Dalam era millenial ini, generasi muda banyak yang apatis terhadap politik. Untuk itu generasi muda khususnya pemilih pemula dituntut sejak dini untuk peduli pada aktivitas politik seperti pemilu. Hal ini dilakukan agar generasi muda menentukkan pilihannya dalam pemilu berdasarkan akal sehat dan logika, tidak berdasarkan perasaan dan emosi yang akan menyesatkan pilihannya.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, kami mengajak generasi muda untuk peduli dengan kondisi politik di Indonesia dengan cara membaca berita politik, berdiskusi dengan teman, mengikuti dan menerapkan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. 

Tidak hanya itu, kami juga mengajak generasi muda untuk mengikuti dan berpartisipasi dalam kegiatan politik yang diadakan oleh pemerintah seperti sosialisasi dan pendidikan mengenai politik.

Pendidikan politik sangat berperan penting bagi masyarakat khususnya generasi muda untuk membuat mereka melek terhadap dunia perpolitikan, serta meningkatkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia. 

Hal ini bertujuan agar para generasi muda yakni pemilih pemula dapat menerapkan pendidikan politik tersebut ke dalam pemilu dengan ikut berpartisipasi secara aktif maupun pasif. Yang pada akhirnya akan menghasilkan suara yang tepat bagi calon pemimpin untuk masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.

KESIMPULAN

Berdasarkan paparan dan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa fenomena golput (golongan putih) khususnya di kalangan generasi millenial, pada saat pemilu di Indonesia, terus berkembang disebabkan oleh faktor utama:

Adanya peluang untuk tidak memilih pada saat pemilu, karena hal tersebut merupakan hak setiap individu.

Sikap apatis masyarakat Indonesia terhadap politik, karena masyarakat sudah tidak percaya lagi terhadap politik Indonesia.

Kampanye yang tidak sehat, menggunakan unsur SARA.

Kurangnya kesadaran masyarakat bahwa suara mereka sangat berpengaruh bagi masa depan Indonesia.

Generasi millenial menganggap bahwa pemilu bukan merupakan hal yang penting.

SARAN

Menurut kami, generasi milenial dan seluruh masyarakat Indonesia harus lebih peduli dengan kondisi politik, mengikuti, dan berpartisipasi dalam kegiatan politik yang diadakan oleh pemerintah. 

Golput kerap kali disebut bukan solusi, bahkan dituduh bukan pilihan.  Padahal, jelas golput merupakan pilihan. Golput dapat menjadi sebuah gerakan untuk menunjukkan ketidak percayaan publik terhadap pilihan yang ada. 

Hal ini tentu membuat golput sah untuk disebut menjadi sebuah pilihan. Generasi milenial dan masyarakat Indonesia harus menentukan pilihan mereka dalam pemilu secara bijak, berdasarkan akal sehat, dan logika. Apapun pilihan kita dan hasil pemilunya, pada akhirnya kita harus tetap berpartisipasi, mencari informasi, mengawasi, dan bersikap, untuk terus mengawal pemerintahan yang kita pilih di bilik TPS.

Kami berharap tulisan kami ini dapat membuka wawasan, menjadikan generasi muda melek politik, dan menciptakan generasi pemilih cerdas Indonesia. Selamat berpesta demokrasi!

DAFTAR PUSTAKA

Hermawan, Eman. 2001. Politik Membela yang Benar. Yogyakarta: Yayasan Kajian dan Layanan Informasi untuk Kedaulatan Rakyat (KLIK)

Samuel P. Hungtinton, dan Joan M. Nelson. 1994. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: PT RINEKA CIPTA

Tugas Sosiologi Desain DKV ISI Yogyakarta

  • Iim Maitri Vaishaka 1712465024
  • Danu sukmawan aji 1712473024
  • Adam Dafa 1712442024
  • Revalda Cahyaningtiyas R 1712464024
  • Viona Betzy 1712463024
  • Zayyinatul 'Afifah 1712476024
  • Arifah RA 1712470024
  • Aditiya Wahyu Budiawan 1712447024
  • Yunifa Tri Safariyani 1712478024
  • Nibras Ali Husni 171244802


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun