Mohon tunggu...
Afi
Afi Mohon Tunggu... Wiraswasta - pembelajar

email: danusukendro@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Letusan Kelud, Setahun Silam..

14 Februari 2015   08:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:12 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_368754" align="aligncenter" width="384" caption="foto: Komunitas DRAF"][/caption]

Letusan pada malam Jumat Wage itu sudah diprediksi sesepuh di Lereng Kelud..

##

Rabu petang, 11 Februari, setahun silam. Saya masih di lereng Kelud. Di rumah kawan, namanya Yuli.

"Kang, nanti malam, aku nginep omahe sampean,"

Yuli terdiam sejenak. Menyedot asap rokoknya dalam-dalam.

"Malem Jumat ae mas,"

"Opo' o kang?

"Jare Mbah Lan, Jumat wage iki gawat," jawabnya, kepulan asap rokok berputar di sekitar wajahnya.

Saya mengernyitkan kening, sedikit bingung. Tapi, akhirnya saya mengiyakan. Kemudian kami ngobrol hal lain.

Setengah jam berselang, setelah cangkir kopi saya hanya tersisa ampasnya, saya pamit. "Ojo lali malem Jumat wage, mas.." Yuli berpesan.

Saya meluncur ke bawah, turun gunung. Pulang...

##

Yuli adalah teman dekat saya. Sudah seperti saudara. Saya mengenalnya, tujuh tahun silam, akhir Oktober 2007, ketika aktifitas Kelud yang memunculkan Kubah Lava. Dia asli lereng Kelud, di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kediri.

Ketika aktifitas Kelud memuncak, sebagai jurnalis, saya harus selalu update kondisi terkini. Saya kerap menginap di rumah Yuli yang sederhana. Tidur di kursi ruang tamunya.

Sejatinya tak ada tokoh atau sesepuh sentral di Kelud. Tidak ada juru kunci laiknya almarhum Mbah Marijan di Merapi. Ada beberapa tokoh yang setara, diantaranya Mbah Ronggo, Mbah Suparlan dan Mbah Sinto.

Mereka konon orang-orang yang punya akses dengan roh halus penguasa Kelud. Maka, Mbah Suparlan atau Mbah Lan sudah punya prediksi sendiri. Seperti diutarakan oleh Yuli, Mbah Lan meminta agar warga Kelud mewaspadai Jumat wage.

##

SIMULASI EVAKUASI

KAMIS 13 Februari 2014, langit cerah. Tak ada tanda-tanda alam apapun yang terlihat. Hanya cerita-cerita. Ada ular besar yang melintas, menyebrangi jalan.

Cerita ini diperkuat Suprapto, sahabat saya, perangkat desa yang rumahnya biasa jadi base camp rekan-rekan jurnalis peliput Kelud. "Iyo, mas. Betul. Pak Lurah yang ketemu langsung. Ulone gede," tegasnya.

Beberapa warga desa juga mengaku ada jejak-jejak harimau di halaman belakang rumahnya. Warga yakin, letusan Kelud sudah dekat.

Sesuai pesan dari Yuli, saya sudah menyiapkan pakaian ganti di tas. Saya bertekad malam ini, akan menginap di rumah Yuli, meski sejujurnya saya masih belum sepenuhnya percaya Kelud akan meletus.

Pagi itu, warga beraktifitas seperti biasa. Ada simulasi evakuasi yang digelar oleh Polres Kediri. Siang hingga sore, Pos Pantau terlihat tegang. Mulai muncul tremor. Tanda letusan sudah dekat. Tapi, status Kelud masih Siaga...

##

Gawat!!

MENJELANG malam, beberapa kawan, masih di rumah Suprapto. "Kondisi sudah gawat," kata Romi, salah seorang jurnalis televisi swasta.

Gempa Tremor merapat. Malam kian larut. Saya sempat berbincang sejenak dengan beberapa rekan jurnalis. Kondisi krisis.

Saya ke rumah Yuli. Saya akan menginap. Wah, ada sesuatu yang di luar dugaan. Di rumah Yuli, saya tak bisa streaming gambar liputan aktifitas Kelud sore itu. Paket internet simpati saya habis. Hanya ada kartu tri.

"Kang, aku turun sik. Di sini, nggak ada sinyal tri. Aku streaming di bawah," kata saya pada Yuli.

Yuli berjanji akan langsung kontak, jika ada kegawatan. Saya turun. Hingga kecamatan, saya tak juga mendapatkan sinyal tri. Seandainya, saya tak meninggalkan Desa Sugihwaras malam itu...

##

[caption id="attachment_368755" align="alignnone" width="384" caption="foto : Komunitas DRAF"]

1423852868703091935
1423852868703091935
[/caption]

AWAS & MELETUS!

Akhirnya, saya pulang ke rumah, sekitar 25 km dari Sugihwaras. Kebetulan, speed internet lumayan cepat. Setengah jam berselang, tuntas sudah.  Pukul 21.30, saya baru sholat Isya'. Suara ponsel berdering. Fedho, jurnalis media lokal mengabarkan, Kelud sudah Awas! "Pak, aku gowokno sarung, celana sama baju ya.. Sudah dua hari ora ganti klambi (baju)," pesannya.

Saya siapkan semuanya dalam tempo singkat. Kemudian, meluncur dengan kecepatan tinggi menuju ke tempat pengungsian, Desa Tawang, Kecamatan Wates, Kediri.

Ramai. Truk berdatangan. Puluhan motor lalu lalang. Saya mengambil gambar suasana pengungsian. Kepanikan. Orang tua dibopong. Anak-anak. Kemudian, saya dan beberapa rekan jurnalis menuju ruang depan, tempat relawan.

Kami mulai meng-capture gambar di laptop. Saya siap untuk streaming. Ponsel saya berdering.

"Ono opo Mas Ji?" Ternyata, saudara saya yang tuna netra.

"Gunung Kelud meletus."

"Iya, sudah awas. Ini aku liputan warga ngungsi."

"Lho, saiki wis meletus.."

Saya mengernyitkan dahi. Saya tanya teman di samping saya, mereka angkat bahu.

"Durung (belum). Sik awas,"

"Wis mbledos!, aku dengar dari penyiar radio Dafa FM. Meletus baru saja."

Ya Allah, lokasi saya lebih dekat ke Gunung, di pengungsian. Tapi, tidak sadar dengan apa yang terjadi, karena konsentrasi depan laptop. Saya keluar dari ruangan.

"Haa...!!" Kilat menyambar berulangkali dari timur. Letupan itu terlihat. Begitu juga kepulan hitam membumbung di tengah langit yang gelap.

Wah.. Betul. Meletus!! Status Kelud Meningkat menjadi awas pukul 21.15 dan meletus pukul 22.46. Gila, dalam waktu kurang dua jam harus mengungsikan 168 ribu jiwa di 3 kabupaten, Blitar, Kediri dan Malang.

Saya langsung beri tahu beberapa rekan saya yang berada di ruangan dan sedang asyik mengetik serta mengirim gambar. Mereka langsung semburat mengambil gambar.

Saya naik ke atap balai desa Tawang. Ya, terlihat jelas, saya ambil gambar letusan. Beberapa rekan naik motor dan mendekat ke arah letusan.

Saya ingatkan mereka untuk berhati-hati. "Tak ada berita seharga nyawa," itu semboyan para jurnalis yang masih waras.

Saya berulangkali telpon Yuli. Tapi, telpon saya tak diangkat... Wah, bagaimana kondisi Yuli dan keluarganya??

[caption id="attachment_368756" align="alignnone" width="384" caption="foto : Komunitas DRAF"]

1423852930171073481
1423852930171073481
[/caption]

Penuh kepanikan, saya melanjutkan capture dan memotong video yang tak perlu. Memulai streaming. Setengah jam berselang, hujan pasir dan batu kerikil terdengar di atap balai desa.

Beberapa rekan jurnalis yang bekerja dengan laptopnya mulai terlihat tidak tenang. "Rek, ayo geser mengisor maneh. Sini nggak aman," seorang rekan langsung keluar.

Terprovokasi, beberapa rekan yang lain juga memasukkan peralatan ke dalam tas dan cabut.

"Ke mana?" saya bertanya.

"Embuh.... Eh, Koramil ae," Rekan saya menjawab sekenanya.

Hanya ada saya dan Hendra, seorang jurnalis televisi swasta di ruangan itu. "Lanjut ae. Sini kan tempat pengungsian. Mestinya, kan aman." Hendra mengangguk. Saya melanjutkan streaming. Hingga listrik padam di tempat itu yang memaksa kami harus pergi.

Ya. saya pulang ke rumah saya, sekitar 9 km dari Tawang. Melawan hujan kerikil.

Di rumah, saya melanjutkan streaming. Rekan-rekan ternyata sudah di Pos Pengungsian di Convention Hall Simpang Lima Gumul.

Suasana di rumah ramai. Anak saya, Firyaal dan Azza, yang masih TK dan kelas 3 SD juga terbangun. Hampir pukul 01.00 dini hari, saya masih streaming gambar. Budi Pranoto, korlip saya telepon. Awalnya, dia bukan tanya berita. "Kamu aman 'kan?" tanyanya.

Pukul 03.00, tiga item berita, sudah tuntas terkirim. Teman saya Fedho datang ke depan rumah. Setelah sharing sejenak, dia tertidur di kursi hingga pagi...

Para tetangga masih gaduh. Mereka bertengger di atap membersihkan tumpukan kerikil.

Paginya, kami menyaksikan kerusakan bencana Kelud yang masif.

"Piye kondisi sampean kang?" Telepon saya ke Yuli sudah tersambung. "Nggak popo, alhamdulillah sehat.  Mbah Kelud ngamuk tenan mas.. Omahku ajur," jawab Yuli, suaranya terdengar sedih.. (**)

[caption id="attachment_368757" align="alignnone" width="384" caption="foto : Komunitas DRAF"]

14238530031896287463
14238530031896287463
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun