Mohon tunggu...
Danu Dean Asmoro
Danu Dean Asmoro Mohon Tunggu... -

Follow my twitter @danudean

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pendekatan dalam Pendidikan Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan

14 Mei 2012   03:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:20 1151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Oleh : Danu Asmoro

*This paper for discussion in Communication and Environmental class,lecturer : Yohanes Widodo, M.Sc.

Di seluruh dunia, para pembuat kebijakan memperlihatkan cara atau jalan dengan menggunakan pendidikan/ edukasi dan strategi komunikasi, untuk menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan daripada suatu prospek yang terjadi pada saat ini. Mereka saling menjerat diantara instrumental ( perubahan kelakuan ), dan emancipatory ( pembangunan manusia ) yang digunakan dalam kebanyakan strategi mereka. Salah satu outcomes dari adanya kajian mengenai para pembuat kebijakan EE ( Environmental Education ), juga adanya kajian mengenai bagaimana para professional yang berada dalam bidang tersebut. Mereka inilah yang dapat menentukan bagaimana jenis edukasi, partisipasi, komunikasi, atau mix yang dilakukan dan bagaimana suatu hasil dapat dikejar ( mengejar suatu goal ), serta adanya monitoring dan sistem evaluasi yang baik untuk dikerjakan.

Introduction

Sustainable development is currently a major issue on the policy agenda internationally, nationally, and locally in many parts of the world. The Dutch government, for instance, considers Environmental Education (EE) and Learning for Sustainable Development (LSD) as communicative policy instruments to promote sustainable development in society. ( Sollart dalam Walls & Eijff. 2008 : p. 55 )

Pembangunan berkelanjutan adalah suatu issue besar terkini dalam agenda politik di lingkup internasional, nasional, dan lokal yang menjadi suatu bagian terpenting bagi dunia saat ini. Misalnya pemerintah Jerman yang mempertimbangkan Environmental Education ( EE ) atau edukasi mengenai lingkungan dan Learning for Sustainable Development ( LSD ) atau pembelajaran mengenai pembangunan berkelanjutan sebagai suatu instrument kebijakan komunikatif, untuk mempromosikan bagaimana pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan di masyarakat sosial. Terakhir, juga terdapat kebijakan mengenai EE yang telah diuji oleh Netherlands Environmental Assessment Agency ( MNP ) atau agen penafisiran mengenai lingkungan di Belanda. Kajian tersebut memberikan sedikit informasi mengenai bagaimana cara indtrumen pendidikan untuk mempertinggi tingkat keberlanjutan tersebut dalam praktek kerja masyarakat. MNP tersebut mendeskripsikan bagaimana perbedaan suatu kebijakan mengenai EE direfleksikan dalam praktek EE. Hasil kajian tersebut dijelaskan dalam laporan yang berjudul From “ Adopt a Chicken” to Sustainable Urban Distics. Kajian tersebut menguji bagaimana kebijakan membujuk adanya suatu manifestasi dari EE, dengan menjawab beberapa pertanyaan, yaitu:

1.Bagaimana pendekatan EE yang berbeda dapat berkontribusi dalam proses memimpin adanya praktek – praktek baru dimana semakin sifatnya keberlanjutan maka mereka akan terlihat menjadi berbeda?

2.Bagaimana bisa pembuat kebijakan ( EE ) menjadi lebih kompeten dan efektif dalam penggunaan instrument – instrument komunikasi dalam menggerakkan masyarakat ke arah sustainability ( adanya ketahanan ).

3.Apakah peran dari “ pengetahuan “ dalam pendekatan – pendekatan tersebut?

Proyek penelitian tersebut melakukan tiga pendekatan untuk EE : salah satunya dapat diklasifikasikan sebagian besar ke dalam Instrumental, salah satunya dapat diberikan label Emancipatory, dan yang lain merupakan mix keduanya ( antara Instrumental dengan Emanicpatory ).

Instrumental Environmental Education and Communication

An instrumental approach assumes that a desired behavioral outcome of an EE activity is known, (more or less) agreed on, and can be influenced by carefully designed interventions. Put simply, an instrumental approach to EE starts by formulating specific goals in terms of preferred behavior, and regards the “target group” as a mainly passive “receivers” who need to be well understood if communicative interventions are to have any effect. The models underlying such an approach have become more sophisticated over the years than the classic “from awareness to action” models that emerged in the sixties and seventies of the last century. ( Wals & Eijff. 2008 : p. 56 )

Asumsi dari pendekatan instrumental adalah adanya keinginan atau hasrat mengenai outcome atau hasil yang berhubungan dengan kelakuan dari adanya aktivitas EE yang diketahui, secara lebih atau kurang dapat disetujui, dan dapat terpengaruh dari intervensi yang didesain secara berhati – hati. Mengambil contoh simpel, pendekatan instrumental untuk EE dapat dimulai dengan memformulasikan goals atau tujuan secara spesifik dalam suatu terjemahan atau istilah dari suatu kelakuan yang lebih disukai, dan memberikan bagaimana “target group” juga didesain sebagai “receivers/ apara penerima” yang sebagian besar bersifat pasif dimana mereka membutuhkan untuk lebih dapat memahami apabila intervensi – intervensi secara komunikatif akan mempunyai suatu efek tertentu. Model ini mendasari pendekatan serupa yang menjadikannya lebih canggih selama beberapa tahun daripada klasik “ awareness to action” model yang muncul pada akhir abad ke – 16 atau ke – 17.

Model pertama berdasarkan kerangka kerja dari Ajzen dan Fishbein, dimana dalam model tersebut terdapat poin mengenai instrument pendidikan lingkungan dan komunikasi dapat digunakan tergantung pada hasil dari analisis mengenai tingkah – laku yang akan diintervensi ( contohnya meningkatnya terhadap kesadaran mengenai permasalahan tersebut, mempengaruhi norma – norma sosial, sikap, dan meningkatnya kemujaraban dari program yang dilaksanakan atau kontrol dari personal, dan atau secara berhati – hati mencoba untuk mengombinasikan desain.

Pemerintah di berbagai negara di dunia menggunakan dan mendukung adanya aktivitas pendidikan dan strategi komunikasi yang mempengaruhi bagaimana tingkah laku warga negara terhadap lingkungan, yang biasanya meliputi : kampanye mengenai pentingnya kesadaran lingkungan, pengumuman atau adanya suatu publikasi layanan masyarakat, pemberian etiket mengenai lingkungan atau yang mengggunakan nama atau dalih lingkungan, skema dengan adanya suatu sertifikasi, tetapi juga program dan aktivitaspendidikan lingkungan dengan jelas keluar dari obyektif yang sudah disusun pada mulanya dari sifat dasar tingkah – laku yang akan diubah.

A characteristic of proponents and designers of more instrumental approaches is their continuous quest for well articulated, more measurable outcomes and sophisticated indicators in order to make these interventions more effective and to be able to “prove” that they indeed are effective. Critics of the instrumental use of environmental education argue that using education to change peoples’ behavior in a pre- and expert-determined direction has more to do with manipulation and indoctrination than with education. ( Wals & Eijff. 2008 : p. 56 )

Karakteristik dari pendukung dan para perancang dari model pendekatan instrumental adalah mereka melanjutkan penyelidikan atau pencarian dari adanya pelafalan/ pemahaman yang lebih baik, dimana outcomes/ hasil lebih akan terukur dan adanya indikator – indikator canggih dalam urutan untuk membuat intervensi – intervensi tersebut lebih efektif dan sedapat mungkin “membuktikan” bahwa mereka sungguh – sungguh efektof. Kritik dari penggunaan instrumental dalam pendidikan lingkungan tersebut adalah mengenai pendapat bahwa penggunaan pendidikan atau edukasi untuk mengubah tingkah – laku manusia dalam perencanaan dan penunjukan ahli mempunyai suatu tindakan yang manipulasi dan adanya pengindoktrinasian dalam sisi edukasi/ pendidikan. Model ini memungkinkan kita untuk membaca bagaimana ahli tersebut dapat memanipulasi apa yang diajarkan dan adanya doktrinasi yang sesuai dengan pemahaman mereka, model ini merupakan model pengajaran satu arah, yang cenderung akan membuat guru mempunyai kuasa untuk “memainkan” para muridnya.

Pendukung tersebut menggunakan pendidikan dengan berargumentasi bahwa, dikarenakan masa yang akan datang dari planet kita itu dipertaruhkan, digunakan sebagai sesuatu yang sah. Pendukung tersebut di Belanda dapat ditemukan pada agenda kebijakan dalam departemen pertanian, penggunaan lahan, konservasi alam, perlindungan lingkungan, pengamanan makanan, dan energi. Paling parah, kritik tersebut juga justru berada di departemen pendidikan.

Emancipatory Environmental Education

An emancipatory approach, in contrast, tries to engage citizens in an active dialogue to establish co-owned objectives, shared meanings, and a joint, self-determined plan of action to make changes they themselves consider desirable and of which the government hopes they, ultimately, contribute to a more sustainable society as a whole. ( Wals & Eijff. 2008 : p. 56 - 57 )

Pendekatan emancipatory sangat kontras dan berbeda dengan pendekatan enstrumental, pendekatan ini mencoba untuk mengajak para warga negara untuk dapat terlibat aktif dalam proses dialog untuk menentukan bagaimana penyusunan obyektif, membagi bersama mengenai makna dari suatu permasalahan, dan bergabung bersama, dan dengan sendirinya secara bersama – sama dapat menetapkan rencana aksi untuk merubah mereka sendiri dengan mempertimbangkan keinginan – keinginan dan bagaimana harapan dari pemerintahan itu sendiri, dan pada akhirnya, dapat memberikan kontribusi terhadap suatu program dalam masyarakat yang dapat berkelanjutan secara keseluruhan. Metode yang dilakukan dalam pendekatan ini biasanya bersifat mekanisme secara mempelajari proses – proses sosial yang ada dala masyarakat.

Skema dari pendaketan emancipatory adalah sebagai berikut :

Fig. 1. An instrumental behavioral change model (based on Ajzen & Fishbein, 1985).

Model tersebut memberikan penjelasan bahwa model emancipatory sangatlah tidak mudah dalam aplikasinya ketika pendidikan lingkungan diaplikasikan. Misalnya dalam mengubah tingkah – laku measyarakat terhadap lingkungan dimulai dari permasalahan mengenai kesadaran terhadap lingkungan, dimana kita juga harus mempertimbangkan bagaimana norma – norma individu, baru setelah itu disusun dalam suatu tujuan tersendiri. Penglihatan pada sikap juga didasari pada bagaimana evaluasi kognitif dan kecenderungan respons dan bagaimana penyesuaian diri dari tingkah laku didasarkan pada norma – norma secara subyektif. Tujuan tersebut kemudian diturunkan ke dalam tingkah – laku dan adanya pertimbangan dengan adanya kontrol serta antisipasi yang pada akhirnya akan menentukan bagaimana pengalaman nyata individu apakah menganali perubahan tingkah – laku atau tidak. Satu hal yang penting dalam pendekatan emancipatory adalah bahwa feedback sangat penting, untuk mempertimbangkan bahan dialog.

Sebenarnya aplikasi pendekatan model emancipatory juga banyak dilakukan di Belanda. Banyak kebijakan yang diambil dari metode partisipasi multi – stakeholder. Partisipasi tersebut menentukan bagaimana melihat situasi terkini agar ke depan, pembangunan yang dilakukan dapat berkelanjutan. Model ini tidak hanya mempertimbangkan outcomes, tetapi juga memberikan ruang kepada masyarakat untuk terlibat secara aktif, menampung suara – suara yang berbeda, termasuk dari suara – suara kaum marjinal yang kadangkala terlupakan. Poin penting dari contoh kasus di Belanda adalah adanya “learning arrangements” atau bagaimana kita belajar untuk menyusun suatu program yang membutuhkan dukungan dari para stakeholder, warga negara, dan organisasi yang harusnya semua dilibatkan dalam situasi – situasi tersebut. Kapasitas yang dilakukan adalah sejauh bagaimana kita mempelajari masyarakat sosial. Struktur misalnya dilihat bukan hanya sebagai garis komando, tetapi bagaimana lini antar struktur dapat saling membantu dan bersama – sama menentukan kebijakan yang akan dilaksanakan.Pendekatan emancipatory ini juga mengingatkan kepada kita bahwa tidak mudah untuk menentukan bagaimana problem – solving atau suatu pemecahan masalah didekati.Transisi dari pemecahan permasalahan tersebut bagaimana dampak sistemik dan refleksi dari apa yang dipikirkan dengan apa yang dilakukan dengan realisasi yang kadangkala selalu berubah.

Fig. 2. Emancipatory spiraling towards sustainability (source: Dyball et al., 2007).

Skema diatas menjelaskan mengenai bagaimana bentuk spiral dari pendekatan emancipatory dalam berkontribusi kea rah pembangunan yang berkelanjutan. Dalam skema tersebut dapat dijelaskan bahwa pendekatan emancipatory berkontribusi ke arah suatu bentuk ketahanan dalam suatu kondisi atau situasi tertentu. Awal permulaannya dengan mengarahkan kita pada diagosa, dimana kita memulai dari tempat para stakeholder yang akan diikutkan dalam berpartisipasi. Awalnya dengan mendiagnosa apa sebenarnya permasalahannya. Kedua adalah mendesain dimana kita membutuhkan ide baru, keterampilan, dan konten apa yang akan dibahas serta disusun. Ketiga adalah doing atau melakukannya, apa yang dapat kita lakukan adalah dengan mencoba yang lama dan mencoba hal yang baru. Keempat adalah developing atau mengembangkan dari apa yang telah dilakukan dengan belajar terhadap apa yang sudah dilakukan dengan mengevaluasinya. Karena skema ini harus berulang ( sustainable ) dan tidak berhenti pada satu titik, maka harus dilakukan kembali dari awal secara terus – menerus.

Critics of such an approach tend to argue that we do know a lot about what is sustainable and what is not, and that by the time we have all become emancipated, empowered, reflexive, and competent, the Earth’s carrying capacity will have been irreversibly exhausted. ( Wals & Eijff. 2008 : p. 57 - 58 )

Kritik dari pendekatan emancipatory adalah mengenai pendapat bahwa kita mengetahui banyak mengenai sustainable dan apa itu yang tidak sustainable, dan pada waktunya kita akan membebaskan diri, terberikan kekuasaaan, refleksi, dan dapat kompeten, bumi mempunyai kapasitas untuk membuat kita lelah dan tidak dapat mengubahnya. Dalam artian pendekatan inidikritik karena pada intinya setiap orang akan teremansipasi, terberikan kekuasaan, merefleksikan apa yang dilakukan, dan mempunyai kompetensi pada suatu saat nanti. Banyak pihak menyatakan bahwa pada akhirnya bumi yang mempunyai kapasitas bahwa suatu keadaan tidak dapat diubah, misalnya orang yang kemudian menjadi lelah untuk menaggulangi dampak global warming ( karena tanda – tanda global warming semakin jelas dan nyata, dan bahkan tidak berkurang .

Blunded Environmental Education, Communication, and Participation

Spaargaren does so by putting social practices at the center where human agency is mediated by lifestyles. The interplay between agency and structure constitutes a wide range of social practices. Spaargaren’s model might be regarded as a bridge between the classic instrumental, environmental attitude and behavior approach and a more emancipatory, agency-based approach. At the same time, the model takes into account the influence of social (technological) structures on behavior.

( Wals & Eijff. 2008 : p. 58 )

Seorang sosiologis asal Belanda yaitu Gert Sppargaren dimana memberikan suatu model strkturasi dari teori strukturasi Giddens yang menghubungkan adanya aktor, orientasinya, dan bagaimana pendekatan pada struturnya. Spaargaren juga mengambil pada bagaimana praktek – praktek sosial sebagai suatu pusat, dimana agensi ( manusia ) termediasi dari adanya lifestyles. Keadaan saling memberikan pengaruh dan mempengaruhi diantara agensi dan mengangkat struktur secara luas dari praktek sosial. Model tersebut menghormati jembatan yang terbangun diantara instrumental klasik, sikap terhadap lingkungan, dan pendekatan pada tingkah – laku dan yang lebih bersifat emancipatory berupa pendekatan yang berbasis dari agensi itu sendiri. Dalam waktu yang sama, model ini mengambil juga pengaruh sosial seperti bagaimana struktur teknologi pada tingkah – laku masyarakat. Pemerintah Belanda misalnya, berkonsentrasi bukan hanya pada sikap dan perilaku, tetapi juga bagaimana praktek – praktek sosial dan lifestyle yang ada.

Skema dari Spaargaren adalah sebagai berikut :

Fig. 3. A social practices mediated change model (Spaargaren, 2003; Van Koppen, 2007).

Skema tersebut sebenarnya hanya sedikit memberikan atensi mengenai bagaimana pendidikan lingkungan dijalankan. Hal ini disebabkan pada bagaimana adanya pertemuan antara orientasi dari aktor itu sendiri dengan bagaimana struktur menghasilkan ketentuan – ketentuan tertentu. Jadi menurut Spaargaren, antara aktor dengan struktur konstitusi terhadap praktek – praktek sosial. Praktek – praktek sosial ini misalnya adalah pakaian, rumah, makanan, travel, olahraga, dan waktu luang. Pendekatan ini akhirnya bersifat intergratif. Dalam artian, kita tidak lagi berfokus pada bagaimana sikap dan tingkah – laku, tetapi bagaimana mengintegrasikan tujuan yang dialamtkan pada praktek sosial dan lifestyle. Misalnya pendidikan lingkungan dalam lifestyle makan, dimana kita mengetahui makanan mana yang proses produksinya merusak lingkungan dan makanan mana yang ramah terhadap lingkungan. Hal ini sebenarnya membuat partisipasi dari warga negara terhada negara menjadi kuat, karena sudah masuk dalam tataran lifestyle yang dilakukan oleh para manusia.

Sedikitnya atensi yang mencampurkan pendekatan tersebut membuatnya susah untuk memetakan mana yang mendukung dengan mana yang melawan. Misalnya kita tidak dapat memetakan mana agen dari struktur yang justru menjadi pihak opponents ( pelawan ), karena modelnya mengetengahkan bahwa praktek sosial adalah yang menjadi pusat.

Methodology and Methods

Wals dan Eijff menggunakan penelitian dengan metodologi berupa studi kasus ( case study ), dimana memperoduksi bagaimana karakteristik unik dari subyek untuk lebih dikaji dan dipahami. Studi kasus juga mengharuskan peneliti untuk “catch-all” yaitu menangkap secara baik suatu peristiwa, bukan hanya seperti survey atau eksperimen yang mudah untuk menarik kesimpulan. Dokumentasi dari sumber – sumber informasi menjadi penting. Beberapa tahap yang dijalankan Wals dan Eijff dalam melakukan studi kasus adalah dengan melalui tahapan : orientating, deconstructing, questioning, interviewing, analyzing, validating, dan soliciting feedback.

Snapshots of The Four Cases

Empat studi kasus yang akan dibahas akan dipetakan ke dalam beberapa pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan lingkungan yaitu pendekatan instrumental, emancipatory, atau blunded ( campuran keduanya ).

Kasus 1. “ The Adopt a Chicken Campaign “ ( Instrumental )

The campaign entitled “Adopt a Chicken” (www.adopteerkeenkip.nl) intends to stimulate public awareness and support for organic poultry farming, by allowing citizens to adopt a chicken. In exchange, adopters receive egg tokens, which they can trade in for eco-eggs at organic shops. They are also given access to entertaining and informative websites and can take their families on visits to organic farms. The campaign can be viewed as a part of a larger government campaign that seeks to increase the market share of organic food consumption in the Netherlands to 10% by the year 2010. ( Wals & Eijff. 2008 : p. 60 )

Kampanye tersebut diberi nama “Adopt a Chicken” yang mempunyai maksud untuk menstimulasi/ merangsang kesadaran publik dan dukungannya terhadap pertanian unggas yang dilakukan secara organic, dengan membiarkan warga negara mengonsumsi ayam. Dalam praktek, para adopters menerima tanda telur, dimana mereka dapat membeli untuk eco-eggs ( telur ) di organic shops ( tempat penjualan ). Mereka memberikan akses yang menghibur dan memberikan web – sites yang memberikan berbagai macam informasi dan dapat mengajak keluarga untuk mengunjungi peternakan organic tersebut. Kampanye tersebut dapat dilihat sebagai bagian yang lebih besar dari kampanye pemerintah yang menginginkan adanya peningkatan penjualan pasar melalui konsumsi makanan – makanan organic di Belanda yaitu sebesar 10 % di tahun 2010. Kampanye tersebut sebenarnya mempunyai tujuan untuk segera meninggalkan peternakan unggas yang diolah secara pabrikan, yang dirasa berbahaya bagi kesehatan.

Rakyat sipil menganggap hal itu sebagai sesuatu yang mengarahkan kondisi kea rah yang lebih baik, dan pemerintahan dalam hal ini sangat mudah nuntuk mengarahkan publik. Kampanye tersebut sukses di Belanda, dan meningkatkan keuntungan tersendiri juga untuk para peternak unggas secara organic.

Kasus 2. “ Creating Sustainable Urban Districs “ ( Emancipatory )

The “creating sustainable urban districts” project focused on rather general goals of achieving greater sustainability and increasing the quality of life in urban districts. ( Wals & Eijff. 2008 : p. 60 )

Creating Sustainable Urban Districs merupakan suatu proyek dari pemerintah Belanda yang memberikan fokus dengan adanya goal yaitu keberhasilan yang nyata secara berkelanjutan dan meningkatnya kualitas hidup masyarakat kota yang berada dalam distrik tersebut. Program ini didesain untuk menyediakan fasilitas konsultasi antara masyarakat lokal dengan para stakeholder lain. Distrik yang menjadi sasaran adalah Rotterdam dan Hague. Faktor penting yang berkontribusi terhadap suksesnya kampanye tersebut adalah adanya ikatan mengenai persepsi – persepsi yang diakomodir, merujuk pada lifestyles yang ada pada masyarakat, dan mempunyai kepentingan terhadap penduduk lokal, dimana mereka juga dilibatkan dalam aksi dan pada saat dialog. Hal tersebut juga membuat adanya kepercayaan, keterbukaan/ transparansi, dan harapan yang mempunyai visi ke depan sebagai suatu pengaruh jangka pendek. Faktor terbesar adalah pada bagaimana makna dukungan publik dan keberlanjutan, yang pada akhirnya bekerja pada penduduk lokal, dan stakeholder lain yang akhirnya terpengaruh dari sebelum proyek dilakukan sampai pada pelaksanaan proyek, dan setelah proyek dilakukan atau teraktualisasi.

Kasus 3. “Den Haneker” ( Blend/ Mix/ Campuran )

The ”Den Haneker” agri-environmental association was founded with the primary aim of conserving and managing natural landscape elements in farming areas. The association uses EE to support this primary objective; it organizes courses, maintains a website, and offers brochures, a video, a magazine, booklets, and course materials. The association has over 1,000 members and has over the years managed to influence rural land-use planning decisions. ( Wals & Eijff. 2008 : p. 61 )

Den Haneker merupakan suatu asosiasi lingkungan yang menjurus ke pertanian dan didirikan dengan tujuan utama yaitu mempertahankan dan mengelola elemen – elemen pemandangan atau bentang alam yang terdapat pada lahan area pertanian. Asosiasi tersebut menggunakan EE ( pendidikan lingkungan ) yang memberikan dukungan secara utama melalui tujuan; memberikan suatu pelajaran, memelihara dan mengurus website, dan membagikan brosur, video, majalah, booklets, dan materi – materi pelajaran yang diedukasikan. Asosiasi tersebut mempunyai 1.000 anggota dan mereka mengelola untuk mempengaruhi bagaimana kebijakan mengenai pengunaan lahan yang ada di daerah pedesaan. Kesuksesan program tersebut dikarenakan adanya kontribusi :

Sikap proaktif yang muncul daripada suatu sikap yang bertahan,

b.Seruan paling besar, direfleksikan dengan adanya reprsentasi dari pihak sipil, petani, dan komunitas bisnis,        termasuk para anggotanya,

c.Dukungan diberikan oleh para members/ anggotanya,

d.Jika beberapa dapat terinformasi secara baik dan dalam skala besar dapat termotivasi, maka angota tersebut akan menganjurkan anggota yang lain untuk melakukan hal yang sama dan memastikan adanya up – to – date pengetahuan terbaru yang berada dalam organisasi.

Kasus 4. The Story of the Heuvelrug Region ( Blend/ Mix/ Campuran )

This process of interregional “de-fragmentation” can only be achieved by creating awareness, collaboration, and support among all stakeholders in the region. Four subprojects have been implemented, each focusing on one of four specific target groups: volunteers, administrative officials, pupils/students, and recreational visitors. These projects, using courses, field trips, educational materials, a booklet with cycling routes, and a symposium, have achieved some success.( Wals & Eijff. 2008 : p. 61 )

Obyektif dari proyek The Story of the Heuvelrug Region adalah untuk menciptakan koridor secara ekologis diantara berbagai jenis area alam yang berada di Utrechtse Heuvelrug Region, sebagai contoh pembuatan jembatan penyeberangan yang dikonsepkan secara hijau yang memotong jalan raya besar.

Proses tersebut meliputi proses antar – wilayah, “de-fragmentation” hanya dapat dicapai dengan menciptakan adanya bentuk kepedulian, kolaborasi, dan dukungan diantara para stakeholder yang berada di wilayah – wilayah tersebut. Keempat sub – proyek juga harus terimplementasikan, dimana terfokus pada target spesifik group yaitu para relawan, petugas administratif/ pemerintahan, siswa atau murid, dan para pengunjung tempat rekreasi. Dimana proyek tersebut menggunakan bahan seperti trips perjalanan, materi pelajaran, booklet dengan adanya rute, dan symposium yang akan mencapai pada kesuksesan tersebut.

Kepedulian yang terbentuk pada proyek tersebut dapat ditingkatkan dari adanya tanggungjawab pihak – pihak lokal, dan kewenangan pemerintahan lokal setempat. Kesuksesan proyek tersebut dikarenakan adanya kontribusi dari :

a.Kolaborasi yang terjadi secara konstruktif diantara ke delapan organisasi yang mengembangkan sub – proyek,

b.Tingginya kualitas informasi yang diberikan,

c.Adanya usaha dari pengelolaan proyek tersebut dengan pendekatan pada target group yang dilakukan secara personal,

d.Sangat mementingkan atensi media.

Modus operandi dalam pendekatan tersebut berbeda dengan pendekatan yang lain, dimana adanya proses interaksi diantara warga negara dan pembuat kebijakan, dan bagaimana peran ilmu pengetahuan digunakan selama proses tersebut.

Results

Kesimpulan pertama dari kajian tersebut adalah pada poin pertama bahwa terdapat dua pendekatan yang berbeda yang dilakukan untuk memutuskan suatu kebijakan mengenai lingkungan. Dua pendekatan tersebut sangat ekstrim dan berbeda antara yang satu dengan yang lain. Pendekatan instrumental secara garis besar memberikan pengetahuan mengenai dan kepedulian terhadap permasalahan yaitu permasalahan ekologis atau lingkungan, sedangkan pendekatan emancipator lebih bertujuan untuk menciptakan perubahan jangka panjang, yang mementingkan adanya dukungan publik, perjanjian, dan keterlibatan.

Kajian tersebut juga menemukan bahwa pendekatan emancipatory ini tidak sama definisi atau multi tafsir oleh berbagai pihak, sehingga membutuhkan proses pembelajaran terhadap lingkungan secara fisik dan sosial. Hal tersebut bukan permasalahan yang mudah. Komitmen secara jangka panjang akan dapat ditemukan apabila antar partisipan terdapat suatu kepaduan atau chemistry atau kecocokan satu sama lain secara sosial, dengan demikian akan menciptakan umpan baik yang akan diterima secara positif. Pendekatan emancipator juga mementingkan adanya akomodir persepsi dan pengetahuan dari para aktor yang terlibat. Hal ini menyebabkan bahwa pembuatan obyektif pada suatu proyek harus dilakukan secara kualitatif. Kualitatif dilakukan juga untuk refleksi monitoring kegiatan dan sistem evaluasi yang sangat mementingkan proses daripada ukuran – ukuran yang dapat diukur.

Tidak seperti pendekatan emancipatory, pendekatan instrumental sangat dipengaruhi oleh bagaimana menjangkau target group dalam jangka besar dan bervariasi dan obyektif yang disusun juga dapat dikendalikan dan diukur. Obyektif yang disunsun dalam pendekatan ini berdasarkan kuantitatif. Pendekatan instrumental juga dapat memberikan indikator pada bagaimana mengukur outcomes dalam SMART ( Specific, Measurable, Acceptable, Realistic, Time-specified ).

Pada poin kedua kajian tersebut juga menjawab mengenai bagaimana kompetisi dan keefektifan para pembuat kebijakan. Pendekatan instrumental dan emancipatory salah satu menguatkan pada policy perspective dan sebagian pada education perspective. Sehingga terdapat kesempatan yang berbeda pula dalam hal strategi monitoring dan evaluasi ( M&E ). Pendekatan instrumental akan berbeda dengan pendekatan emancipator dalam melakukan strategi monitoring dan evaluasi.

Poin ketiga adalah pertanyaan mengenai bagaimana peran ilmu pengetahuan dalam tiga strategi/ pendekatan yang berbeda. Dalam pendekatan instrumental, pengetahuan tidak hanya merupakan faktor yang mempengaruhi adanya kepedulian dan peningkatan serta proses perubahan tingkah – laku yang terjadi tetapi salah satu pertimbangan penting. Jadi dalam pendekatan instrumental, pengetahuan berperan sebagai salah satu pertimbangan mendasar yang mempengaruhi kepedulian dan perubahan tingkah – laku. Pengetahuan dalam pendekatan instrumental juga digunakan sebagai transfer eksplisit mengenai seuatu yang tidak dilawan, yang kerapkali ilmu yang diberikan berdasarkan pengetahuan. Sedangkan dalam pendekatan emancipatory, pengetahuan atau knowledge berada sebagai pemberi fasilitas atau memfasilitasi perubahan secara impilist atau pengetahuan secara diam – diam, yang pada akhirnya membentuk adanya pengetahuan yang baru dan pada akhirnya, berpadu dalam penggunaan makna – makna tertentu.

TABEL

Instrumental and Emancipatory Monitoring & Evaluation Juxtapose

Instrumental M&E focus

Emancipatory M&E focus

Main goals

Menyadari adanya target/ hasil kebijakan, tanggungjawab terletak pada orang yang memberikan dana/ pemerintahan, basis tanggungjawab adalah kepada pemerintah mengarah kepada warga negara.

Menyertakan stakeholder, meningkatkan kualitas dalam proses, dan belajar untuk bisa lebih kolaboratif terhadap pihak lain.

Peran external party

Peran ahli, observasi dilakukan secara eksternal, menentukan indikator – indikator untuk digunakan dalam mengukur, melakukan ( mengumpulkan, menganalisis, dan menginterpretasi data ), dan melaporkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun