Mohon tunggu...
Danthy Margareth
Danthy Margareth Mohon Tunggu... Lainnya - Biasa-Biasa Saja

Dunia dalam Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sapi Misionaris dan Air Berbusa

4 Mei 2020   15:16 Diperbarui: 22 Mei 2020   20:08 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang itu, seekor sapi misionaris besar mengamuk. Dikejarnya saya dengan derap langkah penuh napsu. Suaranya melengking, bikin sakit kuping. Tubuh saya sampai bergetar, dada berdebar-debar. Tak ada yang menyelamatkan meski saya teriak minta tolong. Orang-orang malah menonton dan terpingkal-pingkal. Hati saya pun mendongkol. Sungguh saya baru tahu adab orang-orang di kota. Mereka menganggap lucu sesamanya yang menderita.

Nama saya Elias, umur baru mau empat belas. Saya tinggal di Pegunungan Tengah Papua. Sehari-hari saya mendalami kitab suci di sekolah agama dekat kampung. Bapa tidak mengijinkan saya belajar di sekolah biasa. Ia ingin anaknya mengabdi kepada Tuhan dan terhindar dari godaan dunia.

Saat ini saya sedang di kota Tembagapura, cari uang buat bayar biaya sekolah. Jumlahnya tiga puluh ribu rupiah. Tadinya saya mau jual kuskus dari hasil berburu di hutan saja. Kalau kurang, Mama akan jual sayur buat menambahnya. Tapi orang-orang di kampung bilang, cari saja uang ke kota. Duit mudah didapat di kota. Jadi waktu seorang kawan mengajak ke Tembagapura, saya menyetujuinya. Berangkat ke kota saya hanya bermodal baju tangan buntung dan celana katung. Sisanya semangat, membayangkan bawa uang banyak saat pulang kampung.

Dari keluar honai sampai ke kota makan waktu berhari-hari. Saya melintasi bukit, lembah, dan hutan dengan bertelanjang kaki. Tapi ternyata cari uang di kota sulit sekali. Bekerja jadi kuli saja tidak mencukupi,  uang yang didapat hanya bisa buat makan sehari sekali. Selebihnya saya dan kawan-kawan lebih sering dicaci-maki. Sama orang-orang kota juga kami sering ditertawai, entah apa yang lucu dari kami. Kalau tak ingat ajaran agama, sudah mau saya kasih tinju saja di pipi. Kata-kata mereka sering menimbulkan kepahitan di hati.

Satu-satunya hiburan di kota adalah memandangi sapi-sapi misionaris. Hewan ini berseliweran di jalan-jalan. Pertama kali saya melihatnya di kampung, dekat sekolah. Waktu itu Bapak Pendeta dari Amerika yang membawanya saat berkunjung. Saya tak berani dekat-dekat. Badannya jauh lebih besar dari sapi biasa. Rupanya sangar, kakinya gemuk-gemuk. Kalau diseruduk, yang hidup pastilah putus nyawanya.

Seorang kawan pernah bilang, "Jangan dekat-dekat. Saya lihat itu sapi bisa menyemburkan asap dan api. Nanti kita dibakar macam daging babi."

Dengar cerita kawan itu, saya jadi kagum sekaligus ngeri. Sapi itu ajaib sekali. Jangan-jangan bisa mengusir roh-roh jahat di kampung kami. Sejak itu saya dan kawan-kawan menyebutnya sapi misionaris.

Di Tembagapura jumlah sapi misionaris tak hanya satu seperti di kampung dulu. Sapi-sapi ini aneh sekali. Bagaimana mungkin kulitnya bisa berwarna-warni? Bentuknya pun macam-macam tak jelas. Ukurannya ada yang besar, ada juga yang kecil. Sapi-sapi misionaris ini sama sekali tak mirip dengan sapi asal daerah kami. Saya jadi penasaran, seperti apa rasa dagingnya kalau dimasak? Barangkali saja enak!

Segitu banyaknya sapi, pastilah orang kaya yang punya. Entah seluas apa kandangnya untuk taruh itu sapi-sapi. Makanannya pun gimana, sekali kasih makan bisa habis satu bukit ditelan.

Pernah saya diam-diam mengintip dari bawah saat sapi-sapi itu tidur. Saya tak menemukan tempat susunya. Tak ada juga alat kelaminnya. Sulit membayangkan bagaimana sapi-sapi ini buang air atau kawin. Semakin aneh saja sapi-sapi ini.

Suatu hari, saya dan kawan-kawan sedang menyusuri jalan di Tembagapura. Tiba-tiba ada suara menggelegar yang membuat punggung saya bergetar. Saat saya menoleh, seekor sapi gemuk besar kuning sedang berlari ke arah kami. Ia tampak marah, suaranya membabi buta. Kaki saya melompat saking kagetnya. Tanpa berpikir panjang, saya dan kawan-kawan lari tunggang langgang, ngeri bakal dibunuh sapi itu.

"Tolong! Tolong! Ada sapi gila!" teriak saya gemetaran. Kawan-kawan juga berteriak serupa. Tak ada yang membantu kami. Orang-orang di jalan malah asyik menonton, menjadikannya sebagai olok-olokkan meski nyawa kami terancam.

Bayangan dikejar sapi gila membuyarkan kesadaran, membuat kami hidup-hidup ditelan ketakutan.  Kawan-kawan ada yang saling bertubrukan, ada kawan yang menabrak pohon, dan ada juga kepalanya yang mencium batu. Sementara saya, saking terbirit-biritnya berlari ke hutan, bersembunyi di balik semak-semak belukar. Duri-duri tanaman tak saya pedulikan, padahal kulit saya sudah dibuat terkelupas macam petatas yang sedang dikupas.

Detak jantung saya beradu cepat dengan tarikan napas. Tubuh saya mengeluarkan bulir-bulir keringat sebesar biji jagung dengan sangat deras. Mendadak aroma pesing merebak tak enak. Asalnya dari arah bawah kaki saya. Ada air kuning menetes dari kedua lubang celana satu-satunya. Bagaimana ini? Dari kampung saya hanya bawa baju yang melekat di badan saja. Sudah biasa saya tak ganti meski berhari-hari kena keringat dan matahari. Tapi kali ini saya jadi malu sendiri.

Saya pun teringat kawan-kawan, cemas dengan keadaan mereka. Mata saya menerawang ke sekitar hutan, tapi tak satu pun batang hidungnya kelihatan. Jangan-jangan sudah pada mati dibunuh sapi besar itu! Saya sajakah yang selamat? Kaki ini lemas sejadi-jadinya. Air mata berlinang mengenang perjuangan kami. Bukannya uang yang didapat, malahan dikejar-kejar sapi! Harus bilang apa saya kepada orang tua di kampung nanti? Masakan kami pergi dengan semangat tapi pulang jadi mayat? Saya menangis sekencang-kencangnya, tak peduli lagi didengar itu sapi. Biar saja saya sekalian ikut mati.

Selagi saya meraung-raung di atas tanah, sebuah teriakan membuat perhatian terpecah, "Anak-Anak, dimanakah? Keluarlah! Semua sudah aman!"

Tangisan saya berhenti, kemudian mengendap-endap menuju asal suara itu. Dari balik pohon saya lihat sesosok bapak-bapak menatap sekeliling dengan bingung. Saya belum pernah berjumpa dengannya. Ia terus saja berteriak macam begitu. Tak berapa lama, ada orang yang menampakkan diri dari atas pohon, dari balik batu, juga dari semak-semak. Saya kenal mereka. Ternyata kawan-kawan saya masih hidup semua! Dengan semangat saya loncat dari persembunyian menyambut mereka. 

"Kawan-Kawan, gimana toh ... Kalian semuanya selamatkah? Sapi itu gila sekali mengamuk tiba-tiba!" seru saya sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mereka langsung ribut semua.

"Sudah, sudahlah, Anak-Anak. Tak perlu takut, kalian takkan kenapa-kenapa," ujar Bapak itu menenangkan sambil berusaha menahan tawanya. 

Ah, si Bapak ini pun rupanya menganggap lucu kami dikejar-kejar sapi. Ini masalah serius kenapa malah tertawa? Ia lalu meminta kami keluar dari hutan dan kembali ke jalan. Saya lihat sapi gila itu ditambat di tepi jalan. Bapak itu mengajak kami mendekatinya. Sontak kami panik kembali

"Bapak jangan main-main. Ini sapi gila bisa bunuh kami semua. Jangan suruh kami dekat-dekat!" protes saya dengan marah.

"Iyo, iyo ... betul itu, Kawan!" yang lainnya mendukung saya.

Si Bapak tersenyum. "Coba lihat ini, Anak-Anak." Ia lalu mengelus sapi itu. Kemudian tiba-tiba, ditendangnya kaki sapi itu kuat-kuat sampai ia sendiri kesakitan. Kami terkejut sekaligus takut kalau sapi itu kembali mengamuk. Tapi anehnya, sapi itu hanya mematung. "Lihat, tidak berbahaya, bukan?" kata Bapak itu lagi.

Mulut saya berdecak kagum. Ilmu si Bapak ini hebat sekali! Mungkin dia punya sihir yang bisa menundukkan sapi-sapi gila.

Si Bapak lalu mengambil sebuah kantong plastik dari sapi itu dan memberikannya kepada saya. "Ini, terimalah. Kalian pasti haus dan lapar."

Kepala saya melongok ke dalamnya. Ada beberapa buah apel serta botol-botol minuman berwarna merah dan hijau. Sambil berjongkok, saya tumpahkan isinya ke atas tanah. Kawan-kawan berebut apel, tapi tak satupun yang berani mengambil minuman dalam botol. Saya ambil satu dan mengguncang-guncangkannya. Air di dalam botol berbuih semua. Begitu tutupnya dibuka, air busa menyembur kemana-mana. Langsung saya lempar minuman itu ke tanah macam ular berbisa.

"Ini minuman keras, bikin orang mabuk. Kami ini calon hamba-hamba Tuhan dilarang mabuk. Pemabuk tidak akan masuk Sorga. Kenapa Bapak kasih kami?" tanya saya kurang senang.

"Iyo, iyo ... betul itu, Kawan!" teriak kawan-kawan yang lain. Raut muka mereka tak kalah terkejutnya.

Kali ini si Bapak tak dapat menahan tawanya. Ia terbahak-bahak sampai mengucurkan air mata. Cukup lama ia tertawa hingga membuat kami terheran-heran. Tawa si Bapak berhenti saat menyadari kami terdiam. Saya mengatakan kebenaran tapi kenapa ia tertawa? Mengapa Bapak ini menganggap kami lucu seperti orang-orang yang melihat kami dikejar sapi gila? Itu bukan lelucon! 

Si Bapak jadi tak enak hati. Ia memanggil saya untuk mendekatinya. Sambil menghela napas ia memegang pundak saya, lalu dengan serius berkata, "Dengar, kamu dan kawan-kawanmu anak-anak baik. Kalian bersekolah yang benar, cari itu pengetahuan sebanyak-banyaknya.”

Ditepuknya bahu saya, lalu tangannya menyelipkan beberapa lembar uang berwarna biru ke genggaman saya. Tak lama kemudian, ia menunggangi sapinya dan berpamitan. Sebelum beranjak pergi, ia bilang air berbusa itu takkan buat kami masuk neraka, jadi kami boleh meminumnya. Ia juga memperkenalkan sapi besarnya kepada kami. Saya baru tahu kalau sapi misionaris ternyata diberi nama. Sapi itu dinamakan truk dan suaranya disebut klakson. Bapak itu tadi mencubit truk biar mengeluarkan klakson supaya saya dan kawan-kawan tidak ke tengah jalan. (*)

*Terinspirasi dari kisah masa kecil seorang kawan baik dari Papua
Jakarta, 2014

Catatan:
Honai merupakan rumah adat Papua khusus laki-laki
Petatas merupakan makanan pokok seperti ubi atau talas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun