"Iyo, iyo ... betul itu, Kawan!" yang lainnya mendukung saya.
Si Bapak tersenyum. "Coba lihat ini, Anak-Anak." Ia lalu mengelus sapi itu. Kemudian tiba-tiba, ditendangnya kaki sapi itu kuat-kuat sampai ia sendiri kesakitan. Kami terkejut sekaligus takut kalau sapi itu kembali mengamuk. Tapi anehnya, sapi itu hanya mematung. "Lihat, tidak berbahaya, bukan?" kata Bapak itu lagi.
Mulut saya berdecak kagum. Ilmu si Bapak ini hebat sekali! Mungkin dia punya sihir yang bisa menundukkan sapi-sapi gila.
Si Bapak lalu mengambil sebuah kantong plastik dari sapi itu dan memberikannya kepada saya. "Ini, terimalah. Kalian pasti haus dan lapar."
Kepala saya melongok ke dalamnya. Ada beberapa buah apel serta botol-botol minuman berwarna merah dan hijau. Sambil berjongkok, saya tumpahkan isinya ke atas tanah. Kawan-kawan berebut apel, tapi tak satupun yang berani mengambil minuman dalam botol. Saya ambil satu dan mengguncang-guncangkannya. Air di dalam botol berbuih semua. Begitu tutupnya dibuka, air busa menyembur kemana-mana. Langsung saya lempar minuman itu ke tanah macam ular berbisa.
"Ini minuman keras, bikin orang mabuk. Kami ini calon hamba-hamba Tuhan dilarang mabuk. Pemabuk tidak akan masuk Sorga. Kenapa Bapak kasih kami?" tanya saya kurang senang.
"Iyo, iyo ... betul itu, Kawan!" teriak kawan-kawan yang lain. Raut muka mereka tak kalah terkejutnya.
Kali ini si Bapak tak dapat menahan tawanya. Ia terbahak-bahak sampai mengucurkan air mata. Cukup lama ia tertawa hingga membuat kami terheran-heran. Tawa si Bapak berhenti saat menyadari kami terdiam. Saya mengatakan kebenaran tapi kenapa ia tertawa? Mengapa Bapak ini menganggap kami lucu seperti orang-orang yang melihat kami dikejar sapi gila? Itu bukan lelucon!
Si Bapak jadi tak enak hati. Ia memanggil saya untuk mendekatinya. Sambil menghela napas ia memegang pundak saya, lalu dengan serius berkata, "Dengar, kamu dan kawan-kawanmu anak-anak baik. Kalian bersekolah yang benar, cari itu pengetahuan sebanyak-banyaknya.”
Ditepuknya bahu saya, lalu tangannya menyelipkan beberapa lembar uang berwarna biru ke genggaman saya. Tak lama kemudian, ia menunggangi sapinya dan berpamitan. Sebelum beranjak pergi, ia bilang air berbusa itu takkan buat kami masuk neraka, jadi kami boleh meminumnya. Ia juga memperkenalkan sapi besarnya kepada kami. Saya baru tahu kalau sapi misionaris ternyata diberi nama. Sapi itu dinamakan truk dan suaranya disebut klakson. Bapak itu tadi mencubit truk biar mengeluarkan klakson supaya saya dan kawan-kawan tidak ke tengah jalan. (*)
*Terinspirasi dari kisah masa kecil seorang kawan baik dari Papua
Jakarta, 2014