Mohon tunggu...
Danthy Margareth
Danthy Margareth Mohon Tunggu... Lainnya - Biasa-Biasa Saja

Dunia dalam Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Money

Filantropi Sebagai CSR Favorit untuk Memengaruhi Perilaku Konsumen Restoran Cepat Saji

12 Desember 2018   14:45 Diperbarui: 12 Desember 2018   14:48 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Seiring dengan berkembangnya jaman, masyarakat semakin peduli dan kritis terhadap etika perusahaan dalam menjalankan praktik bisnisnya. Masyarakat menginginkan agar dalam memproduksi barang dan jasa, perusahaan memenuhi nilai-nilai tanggung jawab sosial. Hal ini menyebabkan aktivitas Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi tren di kalangan perusahaan.

Secara sederhana, CSR dapat dimengerti sebagai suatu konsep atau tindakan yang dilakukan perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab kepada pemangku kepentingan, yang dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan. Melalui alokasi dana ke dalam program CSR, perusahaan berharap CSR dapat memberikan dampak berupa peningkatan reputasi perusahaan dan menjadi keunggulan atau nilai lebih perusahaan saat berkompetisi dengan perusahaan lain. Selain itu, CSR juga dinilai mampu menjadi katalisator saat perusahaan diserang publisitas negatif.

Salah satu perusahaan yang menerapkan CSR adalah perusahaan yang menjalankan usaha Restoran Cepat Saji. Hal ini tidaklah mengherankan mengingat produk-produk yang dihasilkan Restoran Cepat Saji selalu diterpa isu kontroversial. Dalam situs Alodokter.com dijelaskan, makanan siap saji seperti kentang goreng, pizza, hamburger, kerap membuat penikmatnya rentan diintai beragam jenis penyakit seperti diabetes tipe 2, obesitas, gangguan pencernaan dan pernapasan, kerusakan gigi, dan lainnya. Sementara penyakit obesitas dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, dan beberapa jenis kanker (Journal of American Medical Association, 2014).

Berbagai kontroversi yang dialami produk-produk Restoran Cepat Saji telah mendorong sejumlah perusahaan yang memiliki lisensi atas operasional Restoran Cepat Saji tersebut untuk meninjau kembali kandungan produk mereka. Berbondong-bondong mereka menawarkan menu pilihan baru yang dipertimbangan lebih bertanggung jawab bagi kesehatan seperti pasta, salad, atau buah. Menu-menu ini dapat diperoleh di Restoran Cepat Saji berbarengan dengan sajian burger atau ayam goreng. Beberapa Restoran Cepat Saji bahkan meluncurkan inovasi baru sebagai sebuah strategi dimana konsumen dapat memperoleh informasi diet atau nutrisi untuk setiap makanan yang dikonsumsi melalui alat kalkulator gizi di masing-masing situs perusahaan.

Tidak hanya terkait permasalahan keamanan makanan saja, perusahaan pengelola Restoran Cepat Saji juga berupaya menerapkan sejumlah etika bisnis sebagai bentuk tanggung jawab korporat. Perusahaan-perusahaan pemegang brand Restoran Cepat Saji global tidak segan-segan mencoret atau memboikot perusahaan-perusahaan tertentu dari daftar nama pemasok yang dinilai tidak memenuhi standar etika bisnis. Sebagai contoh pada tahun 2010, suatu restoran burger ternama membatalkan kontrak dengan salah satu perusahaan kelapa sawit yang dinilai tidak memiliki catatan praktik sustainable farming (varkkey, 2015).

Di Indonesia, pada tahun 2012, sebuah Restoran Cepat Saji yang terkenal dengan kelezatan produk ayam goreng, memutuskan untuk tidak lagi membeli produk kertas (yang digunakan untuk kemasan ayam) dari sebuah perusahaan. Menurut sebuah artikel yang dimuat pada situs Dailymail, tindakan ini dipicu setelah organisasi pecinta lingkungan dunia, Greenpeace, melayangkan protes dan menilai, perusahaan yang menjadi supplier kertas restoran tersebut, menghasilkan kertas-kertas dari perkebunan yang dianggap telah merusak hutan hujan tropis di Indonesia dan membahayakan habitat hewan-hewan yang dilindungi.

Selain menerapkan etika bisnis, Restoran Cepat Saji juga banyak berpartisipasi dalam berbagai aksi sosial. Aksi-aksi ini dijelaskan dalam situs resmi restoran. Mulai dari memberikan kontribusi bagi pendidikan anak-anak, mendirikan yayasan yang menaruh kepedulian terhadap kesehatan anak-anak di Indonesia, hingga melakukan sederet aktivitas sosial seperti memberikan sumbangan kepada korban banjir, pengobatan gratis, aksi amal saat bulan puasa, pemberian santunan bagi panti jompo, merenovasi sekolah-sekolah, dan berbagai kegiatan sosial lainnya.

Apakah tindakan-tindakan CSR yang dilakukan para Restoran Cepat Saji ini dapat memengaruhi konsumen? Kalau merujuk kepada penelitian yang dilakukan oleh Abdeen (2016), disebutkan bahwa aspek etis dari suatu produk yang dihasilkan oleh perusahaan memiliki dampak yang signifikan terhadap konsumen. Konsumen dapat dibujuk untuk mengubah perilaku pembelian melalui penyajian informasi yang efektif mengenai etika yang relevan dan memadai yang dilakukan perusahaan. Dengan kata lain, Ethical Belief memiliki pengaruh langsung terhadap Purchase Behaviour.

Lebih jauh lagi Bapak Pemasaran yang tersohor, Philip Kotler, mengungkapkan bahwa penerapan CSR sebagai konsep pemasaran merupakan peluang bagi perusahaan untuk meningkatkan reputasi atau citra, menaikkan pengenalan merek, meningkatkan penjualan, dan meningkatkan kesetiaan pelanggan. Dan tindakan filantropi merupakan salah satu strategi CSR yang dapat mendukung konsep pemasaran.

Pengaruh CSR terhadap perilaku pembelian konsumen

Benarkah CSR dapat memengaruhi perilaku konsumen, khususnya dalam konteks perilaku pembelian seperti yang diungkapkan oleh para peneliti terdahulu dan pendapat Kotler? Penulis pun mencoba membuktikannya. Penulis mengambil sampel konsumen dari berbagai Restoran Cepat Saji besar di Jakarta yang masuk dalam kategori Top of Mind Brand Awareness dan Brand Preference di Indonesia.

Sebanyak 200 kuesioner disebar dengan jawaban tersedia dalam skala likert untuk memenuhi data primer. Sementara untuk memperkuat data sekunder, Penulis mendapatkan melalui wawancara kepada responden, desktop research, dan studi pustaka. Bentuk CSR yang diuji terbatas pada dua dimensi CSR dari teori Piramida Carrol (2005), yaitu tanggung jawab filantropi dan tanggung jawab secara etis, serta dampaknya terhadap perilaku pembelian konsumen.

Tanggung jawab filantropi merupakan bentuk CSR tertua dimana perusahaan berderma untuk kalangan masyarakat tertentu. Bentuk amal yang diberikan biasanya berupa sumbangan uang tunai, hibah, beasiswa, pemberian produk dan layanan gratis, dan aktivitas lain terkait kegiatan sosial yang menjadi prioritas perhatian perusahaan. Ringkasnya, be a good corporate citizen.

Tanggung jawab secara etis adalah perusahaan bertanggung jawab mempraktekkan hal-hal baik sesuai nilai - nilai, etika, dan norma -- norma kemasyarakatan. Perusahaan menjauhi berbagai tindakan yang merugikan masyarakat. Ringkasnya, be ethical. Jeff Madura dalam buku Introduction to Business (2007), menguraikan bentuk-bentuk tanggung jawab etis perusahaan terdiri dari: Pertama, tanggung jawab kepada konsumen, yang meliputi produk perusahaan harus menjamin keselamatan konsumen, melakukan promosi yang benar, memenuhi kebutuhan konsumen, dan sesuai dengan aturan-aturan pemerintah, (terkait keamanan produk seperti BPOM, aturan pemerintah dalam hal periklanan, aturan pemerintah dalam persaingan industri, memonitor keluhan konsumen). Kedua, tanggung jawab terhadap lingkungan, yang meliputi aktivitas perusahaan tidak merusak lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan baik udara, air maupun tanah. Ketiga, tanggung jawab terhadap masyarakat, yaitu perusahaan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sekitar perusahaan dengan merekrut tenaga kerja dari sekitar lokasi perusahaan dan lain-lain.

Sementara perilaku pembelian konsumen adalah tentang bagaimana individu/ kelompok membeli barang atau jasa. Ada dua faktor yang memengaruhi pengambilan keputusan pembelian konsumen. Pertama, didorong oleh kebutuhan, motivasi, dan karakteristik konsumen yang meliputi demografi, gaya hidup dan kepribadian konsumen. Faktor kedua adalah pengaruh lingkungan yang terdiri atas nilai budaya, social class, face to face group, dan situasi lain yang menentukan. (Suryani, 2008). Selain kedua faktor tersebut, ada juga dikarenakan tindakan Impulse Buying, yaitu suatu kondisi di mana konsumen membeli berdasarkan faktor psikologis seperti emosi, perasaan, maupun suasana hati (mood).

Hasil temuan Penulis 

Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Penulis menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%, terdapat pengaruh positif dan signifikan antara tanggung jawab filantropi terhadap perilaku pembelian konsumen. Konsumen bersedia membeli produk Restoran Cepat Saji yang berbuat kebaikan bagi sesama, misalnya secara rutin dan kontinyu menyisihkan bagian dari pendapatannya untuk menolong anak-anak yang kurang mampu atau membantu masyarakat yang kena musibah. Menurut responden, dengan membeli produk tertentu dari Restoran Cepat Saji yang melakukan kegiatan filantropi, maka responden merasa turut berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Tindakan Restoran Cepat Saji sejalan dengan dirinya yang berpandangan bahwa sesama manusia harus saling menolong.

Jika menurut hasil penelitian tanggung jawab filantropi dapat memengaruhi perilaku pembelian konsumen, namun tidak demikian untuk tanggung jawab etis terhadap perilaku pembelian konsumen. Hasil penelitian justru bertolak belakang, yaitu tidak ada pengaruh antara tanggung jawab etis yang dilakukan oleh perusahaan terhadap perilaku pembelian. Dengan demikian penemuan ini menolak hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa tanggung jawab etis perusahaan dapat memengaruhi tingkat pembelian. Dalam temuan Penulis, perusahaan yang melakukan kewajiban etis tidak menghasilkan pembelian dari konsumen mereka.

Data ini diperkuat oleh hasil wawancara Penulis. Menurut responden, pada dasarnya konsumen sudah menyadari bahwa makanan dari Restoran Cepat Saji tidak baik bagi kesehatan. Oleh karenanya, sebaik apapun usaha Restoran Cepat Saji untuk bertindak secara etis dan bertanggung jawab dalam berbisnis (termasuk berusaha mengkampanyekan keamanan pangan produknya), tidak akan pernah mengaburkan fakta bahwa makanan Restoran Cepat Saji tidak menyehatkan. Terkait mengapa responden tetap membeli produk Restoran Cepat Saji, jawabannya sangat sederhana, yaitu memang dikarenakan responden sedang menginginkannya dan sama sekali bukan karena tanggung jawab etis restoran. Dorongan suasana hati (impulsive buying), juga menjadi salah satu faktor pendukung tindakan pembelian.

Faktor ini mungkin menjelaskan mengapa pada akhirnya konsumen tidak benar-benar percaya pada komunikasi pemasaran perusahaan yang membentuk citra melalui tanggung jawab etis perusahaan. Konsumen sebenarnya telah menyadari, dari segi tanggung jawab etis, makanan cepat saji itu sendiri sudah merupakan produk yang tidak sehat. Namun konsumen tidak mengindahkannya karena kondisi psikologis atau faktor emosional seperti keinginan dan suasana hati lebih dominan.

Rekomendasi dalam praktik komunikasi pemasaran

Jika kenyataan sudah diketahui melalui hasil penelitian, lalu sebaiknya apa yang harus dilakukan oleh pihak perusahaan dalam mempraktikkan komunikasi pemasaran? Nah, telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam penelitian, program filantrofi seperti aksi sosial atau kegiatan amal, dapat memengaruhi konsumen untuk membeli produk dari Restoran Cepat Saji. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pembelian adalah program Caused Related Marketing yang mengajak konsumen untuk berkontribusi amal melalui pembelian produk tertentu (misalkan sekian persen dari hasil pembelian burger akan disumbangkan bagi anak-anak kurang gizi di daerah pedalaman). Sebisa mungkin isu sosial yang di-tied in, merupakan isu yang relevan dengan perusahaan dan konsumen, serta dijalankan secara berkelanjutan atau dengan kata lain, tidak bersifat kiss and run. Selain itu, program didukung dengan kegiatan promosi yang menarik.

Sementara dari segi tanggung jawab secara etis, meski tidak ada pengaruh antara tanggung jawab etis perusahaan dengan perilaku pembelian konsumen dan konsumen tetap beranggapan produk Restoran Cepat Saji tidak sehat, perusahaan hendaknya tetap konsisten melakukan kegiatan brand image building melalui improvisasi konsep marketing dari segi elemen produk, misalkan dengan menambah lebih banyak lagi alternatif menu yang lebih sehat di antara produk-produk yang disajikan (seperti menu sayuran dan buah-buahan yang dikreasikan), baik bagi konsumen dine in, delivery, maupun take away. Produk-produk ini dikomunikasikan secara intensif dan terintegrasi dalam berbagai communication tools.

Selain itu, mengingat isu kesehatan selalu menjadi momok bagi perusahaan yang menjalankan lisensi operasional Restoran Cepat Saji, Penulis juga menyarankan perusahaan untuk melaksanakan program Caused-Promotions yang dikaitkan dengan isu kesehatan konsumen. Misalnya mengajak konsumen berolahraga melalui kompetisi berlari dan menggandeng komunitas pelari untuk mendukung kesuksesan program ini. Hal ini setidaknya dapat dicoba untuk menjadi semacam katalisator dari publisitas negatif. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun