Penenun di desa Pansurnapitu, terdiri dari para kaum muda dan para orang tua. Anak -- anak perempuan lebih didukung oleh orang tua, untuk bertenun dibandingkan pergi bekerja sebagai seorang petani. Lahan yang terbatas dan kondisi tanah yang kurang baik untuk bertani, membuat kaum perempuan masyarakat Pansurnapitu memilih untuk menjadi seorang penenun. Sekitar umur 10 tahun, para perempuan di desa Pansurnapitu sudah diajari oleh orang tua untuk bertenun.
Sampai sekarang pekerjaan penenun, sangat berperan aktif untuk menopang kebutuhan ekonomi masyarakat Pansurnapitu. Para penenun yang masih muda dan bersekolah, sebagian sudah hidup mandiri untuk membiayai pendidikan. Kemandirian para perempuan muda penenun, terjadi karena sudah bisa menghasilkan uang dari penjualan kain ulos yang ditenun sendiri.
Proses waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan satu kain ulos, tergantung jenis kain ulos yang akan dibuat. Penenun pada umumnya, paling lama menghabiskan waktu selama kurang lebih tiga minggu untuk membuat satu kain ulos. Tahap -- tahap dalam pembuatan ulos dari awal sampai selesai adalah makkanji, manggulung bonang, mangani, manotar, mamutik dan manonun.
Pada awalnya tradisi penenun dari dulu selalu identik dengan kau hawa, hal tersebut sudah menjadi kebiasaan turun -- temurun. Seiring berjalannya waktu, pelaku tenun didesa Pansurnapitu sudah menarik minat kaum laki -- laki untuk bertenun. Sekitar tiga orang kaum laki -- laki didesa Pansurnapitu, sudah ada yang melakukan aktivitas sebagai penenun ulos.
Tradisi untuk menjadi seorang penenun didesa Pansurnapitu, semula harus melalui tradisi memakan nitak gurgur. Nitak gurgur adalah makanan tradisional orang batak, yang bahan pembuatannya adalah beras yang dihaluskan. Penenun yang pertama kali ingin belajar bertenun, harus diberikan orang tua nitak gurgur untuk dimakan sambil diajari cara bertenun. Sebagian juga ada dengan menaburkan nitak gurgur tersebut, ke atas alat partonunan yang sudah ada benangnya untuk dijadikan kain ulos.
Keunikan dari pengalaman para penenun dalam bertenun adalah, tentang kondisi sikap hati ( perasaan ). Sikap hati juga harus dalam kondisi senang, dan tidak bisa dalam kondisi mardandi. Mardandi adalah istilah orang Batak Toba, untuk menggambarkan suasana hati yang sedang merajuk, marah, melawan atau keras kepala.Â
Saat bertenun suasana hati penenun sedang dalam kondisi marah, benang tenun ulos akan ada yang putus dan sulit untuk menyelesaikannya. Para penenun saat sedang bertenun, harus tulus dari dalam hati untuk memudahkan penyelasaian kain tenun ulos.
PemasaranÂ
Kain ulos yang sudah selesai ditenun, kemudian dijual ke tokke ( agen ) yang berada di Tarutung. Terkadang ada juga tokke datang langsung ke desa Pansurnapitu untuk mengambil langsung kain tenun ulos masyarakat. Sistem penjualan masih dikeluhkan oleh para penenun, karena mereka hanya memiliki jaringan sebatas penjualan ke tokke.
Harga masih kurang memadai untuk hasil tenun ulos masyarakat Pansurnapitu, terpaksa mau tidak mau harus menjualnya dengan harga yang ditentukan oleh tokke. Harga jual kain ulos diklaim masyarakat Pansurnapitu masih kurang memadai, harus ditambah lagi dengan berkurangnya permintaan dan menurunnya harga akibat pandemi covid 19.
Semenjak covid 19, para penenun mengalami kesulitan untuk menjual kain ulos. Sebelum pandemi, terkadang ada orang yang datang langsung untuk memesan kain ulos. Sekarang, sudah sangat jarang pelanggan yang datang langsung untuk memesan kain ulos. Pernah juga ada kelompok tenun yang terbentuk, salah satunya untuk mempermudah pemasaran kain ulos. Seiring berjalannya waktu, kelompok tenun yang dibentuk perangkat desa tidak berjalan lagi.