Mohon tunggu...
Danri Agus Saragih
Danri Agus Saragih Mohon Tunggu... Freelancer - Social Antropology

Setiap Individu adalah bagian komunitas Budaya. Hargailah setiap Budaya yang ada, maka kamu sudah menghargai Manusia.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Eksistensi Penenun Ulos Pansurnapitu Tapanuli Utara Sumatera Utara

6 November 2021   15:21 Diperbarui: 4 Mei 2022   19:49 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Dokumentasi Penulis

Prolog 

Ulos adalah salah satu ciri khas kebudayaan, terutama bagi suku batak yang identik dengan pemilik Ulos. Cara pembuatan ulos pun, sekarang sudah bisa dengan menggunakan mesin dan penggunaan alat tenun bukan mesin juga masih bertahan. Bersama dengan pemerhati budaya Batak GJM Tuah Purba, yang mengajak sekaligus memandu perjalanan menuju desa Pansurnapitu.

Sebelum ke desa Pansurnapitu, kami singgah ke rumah salah satu calon kepala desa yaitu Alfons Dundawa Panggabean. Beliau memiliki kepedulian dengan keberlanjutan para penenun ulos dan pengembangan pariwisata, baik sebelum ia mencalonkan diri sebagai calon kepala desa maupun kondisinya sekarang sebagai calon kepala desa. Bersama dengan GJM Tuah Purba dan Alfons Dundawa Panggabean, saya dan rekan saya yang juga seorang budayawan Simalungun yaitu Sultan Saragih pergi ke tempat penenun di desa Pansrunapitu.

Penulis akan memaparkan bagaimana kondisi lingkungan dan sosial budaya para penenun ulos di desa Pansurnapitu. Ketertarikan penulis mengangkat tulisan ini, karena ulos merupakan salah satu identitas budaya Batak dan perjuangan para penenun bertahan dalam kondisi pandemi.

Desa Pansurnapitu

Pansurnapitu sebuah kata dalam bahasa Batak, apabila diterjemahkan menjadi bahasa Indonesia yaitu tujuh pancur. Lokasi tujuh pancur ini menjadi asal muasal nama Pansurnapitu, dan sekarang tujuh pancur tersebut telah dibuat menjadi pemandian umum dengan tembok permanen. Tampak satu pancur di luar bangunan dan tertulis sebuah nama yaitu OP. RAJA SIBANDI. Raja Sibandi diyakini masyarakat Pansurnapitu, sebagai leluhur mereka yang pada awalnya membuat pancur tersebut.

Air dari Pancurnapitu ini bisa diambil oleh wisatawan, yang ingin membawa airnya pulang. Enam pancur didalam bangunan ini, selalu berjalan lancar dan tidak seperti satu pancur yang berada diluar berhenti mengalir. Lokasi air pancur ini tepat berada dijalan lalulintas, yang sering dilewati oleh bus -- bus besar dan kendaraan pribadi. Lokasi pancur ini yang strategis, tidak membuat orang -- orang kesulitan untuk ingin singgah ketempat tersebut.

Wilayah desa Pansurnapitu, juga terdapat mata air panas yang dikelola masyarakat menjadi tempat wisata. Pemandian air panas ini masih sangat bersih, dengan sebelah barat terdapat permukiman masyarakat. Keberadaan pemandian air panas desa Pansurnapitu, masih sangat minim diketahui oleh para wisatawan yang berknjung ke Tapanuli Utara.

Sumber : Dokumentasi Pemulis
Sumber : Dokumentasi Pemulis
Tradisi Penenun 

Tidak tahu kapan pastinya masyarakat desa Pansurnapitu, memulai aktivitas atau pekerjaan sebagai penenun. Masyarakat Pansurnapitu hanya mengetahui, bertenun itu sudah diajarkan oleh para Oppung ( nenek ) mereka terdahulu. Alat bertenun yang digunakan masih tradisional, masyarakat Pansurnapitu menyebutnya partonunan. Partonunan masih digunakan oleh seluruh penenun di desa Pansurnapitu, dan alat ini dibuat oleh kaum laki-laki.

Penenun di desa Pansurnapitu, terdiri dari para kaum muda dan para orang tua. Anak -- anak perempuan lebih didukung oleh orang tua, untuk bertenun dibandingkan pergi bekerja sebagai seorang petani. Lahan yang terbatas dan kondisi tanah yang kurang baik untuk bertani, membuat kaum perempuan masyarakat Pansurnapitu memilih untuk menjadi seorang penenun. Sekitar umur 10 tahun, para perempuan di desa Pansurnapitu sudah diajari oleh orang tua untuk bertenun.

Sampai sekarang pekerjaan penenun, sangat berperan aktif untuk menopang kebutuhan ekonomi masyarakat Pansurnapitu. Para penenun yang masih muda dan bersekolah, sebagian sudah hidup mandiri untuk membiayai pendidikan. Kemandirian para perempuan muda penenun, terjadi karena sudah bisa menghasilkan uang dari penjualan kain ulos yang ditenun sendiri.

Proses waktu yang dibutuhkan untuk pembuatan satu kain ulos, tergantung jenis kain ulos yang akan dibuat. Penenun pada umumnya, paling lama menghabiskan waktu selama kurang lebih tiga minggu untuk membuat satu kain ulos. Tahap -- tahap dalam pembuatan ulos dari awal sampai selesai adalah makkanji, manggulung bonang, mangani, manotar, mamutik dan manonun.

Pada awalnya tradisi penenun dari dulu selalu identik dengan kau hawa, hal tersebut sudah menjadi kebiasaan turun -- temurun. Seiring berjalannya waktu, pelaku tenun didesa Pansurnapitu sudah menarik minat kaum laki -- laki untuk bertenun. Sekitar tiga orang kaum laki -- laki didesa Pansurnapitu, sudah ada yang melakukan aktivitas sebagai penenun ulos.

Tradisi untuk menjadi seorang penenun didesa Pansurnapitu, semula harus melalui tradisi memakan nitak gurgur. Nitak gurgur adalah makanan tradisional orang batak, yang bahan pembuatannya adalah beras yang dihaluskan. Penenun yang pertama kali ingin belajar bertenun, harus diberikan orang tua nitak gurgur untuk dimakan sambil diajari cara bertenun. Sebagian juga ada dengan menaburkan nitak gurgur tersebut, ke atas alat partonunan yang sudah ada benangnya untuk dijadikan kain ulos.

Keunikan dari pengalaman para penenun dalam bertenun adalah, tentang kondisi sikap hati ( perasaan ). Sikap hati juga harus dalam kondisi senang, dan tidak bisa dalam kondisi mardandi. Mardandi adalah istilah orang Batak Toba, untuk menggambarkan suasana hati yang sedang merajuk, marah, melawan atau keras kepala. 

Saat bertenun suasana hati penenun sedang dalam kondisi marah, benang tenun ulos akan ada yang putus dan sulit untuk menyelesaikannya. Para penenun saat sedang bertenun, harus tulus dari dalam hati untuk memudahkan penyelasaian kain tenun ulos.

Pemasaran 

Kain ulos yang sudah selesai ditenun, kemudian dijual ke tokke ( agen ) yang berada di Tarutung. Terkadang ada juga tokke datang langsung ke desa Pansurnapitu untuk mengambil langsung kain tenun ulos masyarakat. Sistem penjualan masih dikeluhkan oleh para penenun, karena mereka hanya memiliki jaringan sebatas penjualan ke tokke.

Harga masih kurang memadai untuk hasil tenun ulos masyarakat Pansurnapitu, terpaksa mau tidak mau harus menjualnya dengan harga yang ditentukan oleh tokke. Harga jual kain ulos diklaim masyarakat Pansurnapitu masih kurang memadai, harus ditambah lagi dengan berkurangnya permintaan dan menurunnya harga akibat pandemi covid 19.

Semenjak covid 19, para penenun mengalami kesulitan untuk menjual kain ulos. Sebelum pandemi, terkadang ada orang yang datang langsung untuk memesan kain ulos. Sekarang, sudah sangat jarang pelanggan yang datang langsung untuk memesan kain ulos. Pernah juga ada kelompok tenun yang terbentuk, salah satunya untuk mempermudah pemasaran kain ulos. Seiring berjalannya waktu, kelompok tenun yang dibentuk perangkat desa tidak berjalan lagi.

Epilog

Setiap manusia memiliki cara berbeda untuk bertahan hidup, dan semua kelompok masyarakat memiliki tradisi/budaya yang menjadi ciri khas. Masyarakat Pansurnapitu yang memiliki nilai jual pariwisata dari kekayaan alam, dan keterampilan masyarakat untuk bertenun, tidak akan bisa tetap bertahan tanpa adanya  dukungan dari pemerintah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun