Mohon tunggu...
Danof Daniel
Danof Daniel Mohon Tunggu... Kehumasan -

Pernah bekerja sebagai jurnalis, saat ini bekerja sebagai humas di salah satu perusahaan tambang.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Multi Aroma Perseturuan SN Versus SS

22 November 2015   07:16 Diperbarui: 22 November 2015   10:49 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus SN versus SS sungguh luar biasa. Heboh….di media sosial maupun media konvensional. Penulis sebagai orang awam merasakan banyak hal dibalik kasus ini. Di kasus ini tercium ada aroma konspirasi, penyalahgunaan jabatan, tipu daya, dendam membara, etika politik, dan keberanian, serta keluguan.

Tulisan ini penulis mulai dari kenangan terhadap seorang anggota DPRD DKI yang bernama Bapak Lukman F Mokoginta (alm). Penulis sering bertemu beliau saat bertugas liputan di DPRD DKI di masa orde baru, ketika itu dia berasal dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

Terlepas dari kelalaiannya yang mungkin penulis tidak tahu tentang beliau. Pada waktu itu, untuk jadi anggota dewan bagi dia sangatlah mudah, apalagi Lukman waktu itu menjabat sebagai Ketua PDI Provinsi DKI Jakarta. Kita semua tahu, pada masa itu, KKN merupakan hal biasa. Namun, sungguh luar biasa bagi Bapak Lukman, selama dia menjadi anggota DPRD DKI, seluruh jabatannya dilepaskan, mulai dari sebagai Direktur di perusahaannya, maupun sebagai ketua profesi beliau Ikatan Insinyur/Arsitek DKI.

“Jabatan anggota dewan itu artinya kita harus melepaskan semua jabatan kita, tugas kita adalah membela hak-hak rakyat. Kepentingan pribadi seperti bisnis, kita lepaskan dulu,”ujarnya waktu itu.

Lalu, apa yang kita lihat di Kasus SN versus SS? Terjadi saling tuduh, SN dituduh meminta proyek dan saham sementara SS dituduh menguntungkan PT Freeport Indonesia dengan menjanjikan perpanjangan kontrak.

Sungguh menyedihkan… Dari kasus ini, penulis pun bertanya, Apakah SN yang menjabat sebagai Ketua DPR juga sudah melepaskan seluruh jabatannya yang lain agar tidak terjadi konspirasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok? Juga, coba cek apakah seluruh anggota DPR maupun Menteri sudah melepaskan jabatannya yang lain demi untuk fokus memikirkan rakyat dan Negara.

Lalu rembetan lain dari kasus ini munculah pahlawan-pahlawan mendadak, mereka berteriak-teriak di media massa. Satu pihak meminta SN mundur dan pihak lainnya meminta SS mundur. Bahkan ada seorang anggota DPR jauh-jauh sebelum ada keputuan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sudah mengancam,”kalau keputusan MKD tidak memecat SN, saya akan galang Pansus,” ujar si anggota DPR dari Nasdem tersebut. Kalau menurut saya, kenapa tidak mundur atau dipecat saja kedua-duanya.

Karena SS, pun dituduh menjanjikan Perpanjangan kontrak Freeport yang kurang menguntungkan Negara.

Coba simak pernyataan Rizal Ramli, Menteri Koordinator Kemaritiman, yang sudah mengatakan kepada awak media sebelum mengisi acara Core Economic Outlook 2016 di Hotel JS Luwansa di Jakarta, Rabu (18/11/2015). "Anggap saja rakyat Indonesia sedang dihibur sinetron antar geng yang kadang perang, kadang berdamai," ucapnya santai (Liputan6.com).

Artinya, mencermati pernyataan Rizal Ramli, bisa saja keduanya adalah kaki tangan geng, bukan kaki tangan rakyat yang harusnya mereka bela dan pikirkan.

Memang pada kasus ini terasa ada aroma dendam karena ada pihak yang sejak lama bahkan sebelum SN menjadi Ketua DPR, sudah tidak suka dengan SN. Walaupun penulis tidak tahu alasannya. Pihak ini dengan menggunakan kekuatan media terus mengulang-ulang dan membuat talkshow dengan narsum anak buahnya,yang sudah menjadi anggota DPR, maupun pengamat serta petinggi di beberapa perusahaan media, memojokan SN.

Penulis sepakat bila tujuan menghantam SN bukan bermotif dengan atau kepentingan kelompok, tentu rakyat akan diuntungkan. Namun, kalo karena demi kepentingan kelompok dan pribadi tentu sangat kejam. Sungguh dunia politik kita sudah jauh dari etika Pancasila yang mereka sering dengung-dengungkan.

Sungguh jauh dengan prilaku politikus di masa lalu, seperti contohnya Buya Hamka yang berseteru dengan Soekarno dan Pramudya Ananta Toer. mampu memaafkan lawan politiknya setelah beliau terpaksa meringkuk dalam tahanan.

Buya Hamka pernah diundang ceramah oleh Dewan Kesenian Jakartadi Taman Ismalil Marzuk, Cikini, tahun 1969. Dalam acara diskusi beliau antara lain ditanya dua hal. Pertama tentang pendapatnya terhadap pelarangan buku Pramoedya Ananta Toer. Kedua, tentang bagaimana sikapnya terhadap Pramoedya yang menghancurkan nama baiknya beberapa tahun di Lentera Bintang Timur, yang berlanjut dengan fitnah politik berkomplot membunuh Presiden dan Menteri Agama, sehingga Buya masuk tahanan 28 bulan lamanya tanpa proses pengadilan.

Mengenai pertanyaan pertama, Buya Hamka menjawab bahwa dia tidak pernah setuju terhadap pelarangan buku Pramoedya karena filsafat hidup beliau adalah cinta. Kalau tidak suka pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku, kata beliau. Tentang pertanyaan kedua, yaitu penghancuran nama baiknya yang berlanjut dengan penangkapan dan penahanan atas tuduhan tersebut. Buya Hamka menyatakan bahwa untuk semua yang terlibat dalam hal itu, beliau sudah memaafkan pula.

Hadirin di Teater Arena TIM terdiam, hening, mendengar keikhlasan yang memancar dari ucapan sastrawan dan ulama besar itu. Banyak yang menitikan air mata, termasuk novelis Iwan Simatupang yang duduk di sebelah Taufik Ismail. (Dikutip dari buku: Ayah – Penulis Irfan Hamka).

Sungguh sulit menemukan perilaku politikus seperti Buya pada saat ini…

Kembali ke kasus SN versus SS, sementara tipu daya dalam kasus ini, adalah ketika SS, entah karena keluguannya masuk ke perangkat Batman, mengadukan kasus ini ke MKD dan mengajukan barang bukti rekaman. Padahal , jelas-jelas bagi Kepolisian kalau rekaman suara belum berarti barang bukti yang kuat. Namun ada juga beberapa pengamat menyatakan ini hanya pengalihan isu.

Maka sejak itu, perseteruan makin tajam karena terus dikipas oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mencari keuntungan dari masalah ini.Lalu aroma konspirasi. Tentu hal ini bisa saja terjadi, pasalnya, kita semua tahu betapa berharganya PT Freeport Indonesia bagi Amerika Serikat. Berton-ton emas dikeluarkan dari perut bumi Papua. Maka karena kontrak perusahaan ini dua tahun lagi akan habis, mereka pun minta kepastian perpanjangan kontrak.

Selama ini, Pemerintah Indonesia hanya mendapat hasil kurang dari 10% dari PT Freeport, karena sahamnya pun hanya segitu. Jadi, jangan coba-coba colek-colek PT Freeport, penulis masih ingat, ketika Gus Dur terpilih jadi Presiden RI, dia pun coba-coba goyang Freeport lewat isu lingkungan, waktu itu Menterinya Sonny Keraaf kalau tidak salah. Namun itu pun tidak mempan, karena mantan Presiden AS Henry Kissinger langsung datang ke Indonesia dan menemui Gus Dur.

Setelah itu, Freeport pun aman dan hilang dari isu merusak lingkungan di Papua.

Oleh karena itu, kasus SN versus SS ini, bisa saja melenyapkan kedua orang ini. Atau, malah sebaliknya, keduanya berdamai sehingga rakyat hanya bisa bengong. Kok…ujung-ujungnya damai….(***)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun