Penulis sepakat bila tujuan menghantam SN bukan bermotif dengan atau kepentingan kelompok, tentu rakyat akan diuntungkan. Namun, kalo karena demi kepentingan kelompok dan pribadi tentu sangat kejam. Sungguh dunia politik kita sudah jauh dari etika Pancasila yang mereka sering dengung-dengungkan.
Sungguh jauh dengan prilaku politikus di masa lalu, seperti contohnya Buya Hamka yang berseteru dengan Soekarno dan Pramudya Ananta Toer. mampu memaafkan lawan politiknya setelah beliau terpaksa meringkuk dalam tahanan.
Buya Hamka pernah diundang ceramah oleh Dewan Kesenian Jakartadi Taman Ismalil Marzuk, Cikini, tahun 1969. Dalam acara diskusi beliau antara lain ditanya dua hal. Pertama tentang pendapatnya terhadap pelarangan buku Pramoedya Ananta Toer. Kedua, tentang bagaimana sikapnya terhadap Pramoedya yang menghancurkan nama baiknya beberapa tahun di Lentera Bintang Timur, yang berlanjut dengan fitnah politik berkomplot membunuh Presiden dan Menteri Agama, sehingga Buya masuk tahanan 28 bulan lamanya tanpa proses pengadilan.
Mengenai pertanyaan pertama, Buya Hamka menjawab bahwa dia tidak pernah setuju terhadap pelarangan buku Pramoedya karena filsafat hidup beliau adalah cinta. Kalau tidak suka pada isi sebuah buku, jangan buku itu dilarang, tapi tandingi dengan menulis buku, kata beliau. Tentang pertanyaan kedua, yaitu penghancuran nama baiknya yang berlanjut dengan penangkapan dan penahanan atas tuduhan tersebut. Buya Hamka menyatakan bahwa untuk semua yang terlibat dalam hal itu, beliau sudah memaafkan pula.
Hadirin di Teater Arena TIM terdiam, hening, mendengar keikhlasan yang memancar dari ucapan sastrawan dan ulama besar itu. Banyak yang menitikan air mata, termasuk novelis Iwan Simatupang yang duduk di sebelah Taufik Ismail. (Dikutip dari buku: Ayah – Penulis Irfan Hamka).
Sungguh sulit menemukan perilaku politikus seperti Buya pada saat ini…
Kembali ke kasus SN versus SS, sementara tipu daya dalam kasus ini, adalah ketika SS, entah karena keluguannya masuk ke perangkat Batman, mengadukan kasus ini ke MKD dan mengajukan barang bukti rekaman. Padahal , jelas-jelas bagi Kepolisian kalau rekaman suara belum berarti barang bukti yang kuat. Namun ada juga beberapa pengamat menyatakan ini hanya pengalihan isu.
Maka sejak itu, perseteruan makin tajam karena terus dikipas oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mencari keuntungan dari masalah ini.Lalu aroma konspirasi. Tentu hal ini bisa saja terjadi, pasalnya, kita semua tahu betapa berharganya PT Freeport Indonesia bagi Amerika Serikat. Berton-ton emas dikeluarkan dari perut bumi Papua. Maka karena kontrak perusahaan ini dua tahun lagi akan habis, mereka pun minta kepastian perpanjangan kontrak.
Selama ini, Pemerintah Indonesia hanya mendapat hasil kurang dari 10% dari PT Freeport, karena sahamnya pun hanya segitu. Jadi, jangan coba-coba colek-colek PT Freeport, penulis masih ingat, ketika Gus Dur terpilih jadi Presiden RI, dia pun coba-coba goyang Freeport lewat isu lingkungan, waktu itu Menterinya Sonny Keraaf kalau tidak salah. Namun itu pun tidak mempan, karena mantan Presiden AS Henry Kissinger langsung datang ke Indonesia dan menemui Gus Dur.
Setelah itu, Freeport pun aman dan hilang dari isu merusak lingkungan di Papua.
Oleh karena itu, kasus SN versus SS ini, bisa saja melenyapkan kedua orang ini. Atau, malah sebaliknya, keduanya berdamai sehingga rakyat hanya bisa bengong. Kok…ujung-ujungnya damai….(***)