Mohon tunggu...
Daniel Kurniawan
Daniel Kurniawan Mohon Tunggu... lainnya -

Hi! An educator, a translator, an amateur photographer, a learner, a naturalist: Daniel Kurniawan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru, Mengajarlah!

21 Juni 2012   04:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:43 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kemarin gurunya cuma minta translate teks description.  Sudah.  Terus ditinggal pergi."

"Tau, nda Sir, gurunya kemarin marah-marah di kelas, mutung.  Trus ditinggal kelasnya."

"Materi tes?  Wah, nda tau, pak.  Gurunya nda kasi tau."

"Dulu di SMP sih, gurunya cuman ninggalin LKS buat dikerjain, sir.  Jarang sekali gurunya ngejelasin.""Saya lulus Ujian Nasional, karena guru-guru saya bantu saya.  Maksud saya, pak, mereka yang kasih jawaban."


Saya selalu tertarik dan tergoda untuk menuliskan ide saya tentang topik ini.  Pendidikan.  Tapi setiap kali saya ingin memulai menulis, saya selalu ragu, disamping saya malas.  Saya ragu kalau-kalau saya hanya bisa melihat masalah, dan tidak bisa memberi solusi.  Tapi saya lagi-lagi tergiur.  Dan disini saya menulis.

Saya seorang guru.  Sebagian besar orang yang kenal saya tahu fakta itu.  Dari kecil, kalau tukar-tukaran 'diary' pasti saya tulis: cita-cita: guru (dan biasanya saya tambahkan: pelukis, ilmuwan, tukang martabak, tukang becak).  Saya sampai sekarang masih juga selalu tertarik merenungkan kenapa saya bisa tertarik pada hal ini.  Dan apa yang membuat saya jatuh cinta dengan pendidikan?  Kadang kala, entah itu tercetus di pikiran saya, atau karena komentar teman saya, saya juga berpikir, 'Jangan-jangan saya salah jurusan." karena saya juga punya hal lainnya yang saya gemari.

Learning is a lifelong process.


Itu filosofi belajar saya, seperti yang saya cetak di foreword thesis S1 saya.  Saya suka belajar.  Apapun.  Tidak terbatas pada pendidikan formal.  Membaca.  Melihat.  Mengamati.  Bereksperimen.  Berpikir.  Dan merenung.  Sekali lagi, saya juga terus menggali kenapa saya suka belajar, dan untuk apa?  Ketika saya tidak bisa menemukan tujuan dan alasannya, saya berarti tidak belajar.

Saya melewati masa-masa belajar formal yang menyenangkan.  Disiplin dan semangat belajar, plus kegemaran membaca, dibentuk di SD.  Saya kenal keragaman teman di SMP.  Di SMA, saya dimantapkan untuk berpikir mengapa saya butuh belajar, dan apa yang perlu dipelajari, selain saya mendapat beberapa inspirasi 'guru yang baik.'  Dan puncaknya adalah kuliah, ketika saya memahami bagaimana menyusun ide lebih sistematis dan kegemaran belajar dan membaca saya makin menjadi-jadi, walau saya tetap kudu menjadi makhluk sosial despite being seen as a nerd.

Tapi saya menikmati semua itu.  Saya selalu kegirangan merasakan setiap 'eureka' moment--saat-saat ketika Anda sudah berpikir keras, memaksa dan memacu diri, dan eventually seperti ada light-bulb yang tiba-tiba nongol di otak Anda, dan cring, Anda got so excited karena akhirnya ada memahaminya.

Saya ingin membagikan kegirangan serupa kepada murid-murid saya (itu yg saya post di status facebook beberapa hari lalu), dan itu yang selalu mendorong saya ketika saya kehabisan semangat dan motivasi (walau inspirasi tetap ada) untuk meneruskan perjuangan membantu murid-murid saya.  Dan thanks God, saya tidak pernah menyangka, ketika saya galau-plus-lelah-plus-berbeban-berat-dan-hendak-menyerah, Tuhan selalu kasi surprise, justru malah lewat anak-anak saya yang semangat untuk tetap terus belajar, dan menikmati prosesnya.

Anyway, kadang terkesan bodoh dan kolot kalau saya kemudian ingin mengatakan bahwa: tantangan mendidik muncul ketika pendidik tidak seberhasratnya untuk membagikan makna pendidikan itu sendiri.  Mereka merusaknya.

Kata-kata yang saya kutip di awal tulisan ini sering diujarkan oleh murid-murid saya di sekolah, maupun anak-anak les saya.  Terutama ketika memulai les, saya selalu bertanya, 'Di sekolah sudah ada tambahan apa materinya?' atau 'Gurunya sudah ngajar hal baru apa?'  Dan jawaban-jawaban semacam kutipan di atas selalu sukses bikin dahi saya mengerut (pantas saja kalau garis-garis di dahi saya ini bertambah tebal dan jelas).  Ini saya tambahkan celotehan lainnya untuk makin memperkaya kisahnya.

"Nda ada pelajaran.  Belum tambah.  Gurunya sudah pergi dua minggu, cuman ninggalin tugas, Sir."

"Belum diajarin apa-apa kok.  Gurunya kalo di kelas sering buka laptop, terus kadang malah pamer foto keluarga, cerita nda jelas en nda ada hubungannya sama pelajaran.  Sampe bel bunyi"

"Belum diajarin sih, materinya.  Tapi sudah dikeluarin di test."

"Guru SMP saya cuman kasih daftar kata untuk dihapalin.  Itu aja."

"Oh, dulu saya sering ditinggalin kamus, dan diminta terjemahin bacaan aja, Sir."



Saya bertanya, dan bertanya, dan mencoba membayangkan.  Enak, ya, jadi mereka.  Tidak pusing besok mau mengajar apa.  Tidak bingung murid jelas atau tidak.  Tidak ada beban saya ini sebenarnya sedang ngapain di sekolah ini.  Dan ketika saya menulis ini saya tidak ingin terkesan bahwa saya adalah seorang guru yang begitu fanatik dan ekstrim dengan yang namanya mengajar.  Well, yang ingin saya katakan adalah mengajar--mendidik--itu tugas utama seorang guru.

Berulang kali saya iri dengan mereka.  Tapi ketika saya terlalu bodoh untuk mengini kenyamanan yang tidak bertanggung jawab itu, saya selalu terpacu untuk tidak menjadi sama seperti mereka.  Saya bukan guru yang sempurna (ya, iya, lah), dan sekali lagi saya guru yang pengin terus belajar juga.  At times, saya juga bisa saja jatuh untuk tidak menjadi guru yang bertanggung jawab, seperti menghabiskan dua jam untuk pelajaran yang tidak jelas, karena saya kurang persiapan.  Atau membuat anak-anak saya bosan dengan materi dan latihan yang tidak memikat hati mereka (karena kekolotan pola pikir saya).

Kadang juga saya jadi iri, dan iri, ketika tahu bahwa fakta guru tidak bertanggung jawab itu justru banyak ditemui pada kasus guru-guru sertifikasi.  Mereka dibayar (jauh lebih) banyak, dan (seolah-olah) dianggap sudah (layak) tersertifikasi (atau diakui profesionalitasnya), tetapi jauh dari level layak untuk mengajar.  Mereka yang harusnya dituntut memberi lebih karena sudah diberi lebih, malah mangkir dari tugas kewajibannya.  Kenapa bisa begitu?

Yah, banyak guru yang memilih jadi guru karena tidak ada pekerjaan lain.  Mereka yang tidak benar-benar memiliki passion untuk mengajar tapi nekat untuk menceburkan dirinya di dunia pendidikan, dan memberi warna kotor di dalamnya.  Merusak imej belajar buat para siswa.  Kalau masalah skill mengajar (bikin RPP, teknik mengajar dengan menyenangkan, bikin tes, bikin en manfaatin visual aids) bisa diasah dan ditumbuhkan.  Tapi passion?  Hati?  Bisa dibelikah?  Dan adakah hati buat mereka untuk mengasihi dan menolong anak, bukannya membodoh-bodohkan atau mengutuk anak dengan apa yang mereka anggap kegoblokan.  Atau malahan mereka lebih siap tutup mulut-telinga-mata, layaknya I see no stupidity, I hear no stupidity, I speak no stupidity, ketika anak didik mereka tereak-tereak, 'Pak Guru, Bu Guru, saya masih pengin memahami lebih lagi.

Dulu saya dengan kolot dan thoughtlessly menstereotipkan guru sekolah negeri sebagai guru yang tidak bertanggung jawab.  Saya terlalu tolol unuk mengecap generalisasi itu, karena saya tahu masih ada, dan banyak, guru sekolah negeri yang saya kenal yang tetap punya hati mengajar, plus skill yang hebat dalam mendidik.  Nyatanya, guru swasta pun banyak yang 'apa adanya' (atau 'adanya apa'), dan rekan kerja saya pun ada yang sebenarnya terlihat terpaksa mengajar.  Saya menikmati diskusi dengan rekan kerja saya yang antusias dengan pendidikan juga ketika kami saling rumpi dan berbagi cerita konyol semacam itu.

Untuk menambahkan carut-marutnya pendidikan, bukan cuma masalah pengajar, tapi kami juga menghadapi sistem yang busuk.  Dan berbicara tentang sistem, saya bersama rekan guru yang notabene cuman ada di bawah birokrasi dan pemerintaha hanya bisa gigit habis dasi kami (oh, kami tidak pernah pakai dasi) karena geregetan.  Pendidikan ini makin tidak bermakna dengan sistem evaluasi yang ada.  Wahai anak-anakku, dan semua siswa, dengar dan bacalah bagian ini.

Ujian Nasional semakin mengacaukan hakikat pendidikan.  Yang penting lulus, dan ada nilai.  Entah itu nilai di dapat darimana, who cares?  Dan masyarakat juga sayangnya hanya melihat dari faktor output ini saja.  "SEKOLAH KAMI 100% LULUS," itu yang dengan bangga diteriakkan banyak sekolah kemarin, tapi kemudian mencoba menutup mulut untuk tidak mengatakan, "dengan mengatrol semua nilai, atau memberi nilai tambahan yang termaskimal  di 40% porsi Ujian Sekolah."  Entah itu guru yang langsung memberi jawaban, atau siswa yang dibebaskan tanpa beban (dosa) mencontek dan saling jual jawaban via sms (thanks to technology), semua terjadi.

Lalu apa makna evaluasi proses belajar?   Hanya menghasilkan anak berkognisi tinggi, kalau tidak pura-pura berkognisi tinggi, tanpa membentuk karakter dan moral anak?   Evaluasi hanya sekedar proyek dan program?  Atau memang benar berupaya mengukur sejauh mana saya bisa dan paham.  Sejauh mana saya siap untuk menyatakan diri saya lulus dan mengerti sebagai seorang siswa?  Dan sebagai seorang guru, sejauh mana saya sudah benar-benar mempersiapkan anak saya untuk diukur?  (Btw, saya menunggu ketika pelajaran agama mulai di-UN-kan.  Apa pemerintah berani berkata bahwa moral dan spiritualitas anak bangsa ini bisa diukur dari nilai ujian agama mereka.)

Tapi lepas dari semua kenyataan yang memprihatinkan itu, saya tahu dan bersyukur kenal rekan-rekan, dan lulusan almamater, yang punya passion untuk mengajar.  Teman-teman yang selalu semangat membagikan cerita pengalaman mereka dengan anak-anak mereka.  Saya ikut berdoa ketika ada rekan guru yang mendoakan anak mereka dan menyemangati murid yang akan tes atau bermasalah.  Dan saya ikut terpompa  ketika melihat mereka yang mencoba menyemangati diri karena tertabrak kesuntukkan proses belajar-mengajar yang menekan berat.  Terima kasih untuk hampir semua dosen S1 saya yang memberi banyak inspirasi untuk mengajar, dan terlebih membagikan kegandrungan belajar itu sendiri.

Ini bukan 2 Mei.

Saya hanya ingin mencurahkan pemikiran seorang guru yang masih amatir dan pengin terus belajar.

Sampai di kalimat ini, setelah membaca-dan-membaca ulang draft tulisan ini, saya kembali merenung, apakah saya hanya sekedar membeberkan masalah lewat tulisan ini, yang cuma analitis tapi bukan problem-solver (as always at times).  Dan kisah ini pun saya sadari terdengar banyak generalisasi, walau saya orang yang benci generalisasi.

Setidaknya, dan setidaknya lagi, disini saya pernah menulis, dan ketika saya nantinya kembali membaca tulisan ini, atau teringat, saya sedang berkaca, dan mencoba memperbaiki diri saya (walau saya tahu saya bisa mendelete postingini dengan mudah).

Jadi, rekan guru, dan siapapun yang (mungkin akan) terbeban untuk memeriahkan dan makin memaknai pendidikan: mengajarlah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun