Maraknya kasus pembunuhan, bunuh diri, dan kekerasan seksual pada perempuan yang saat ini sering terjadi tidak hanya dialami oleh orang dewasa tetapi juga oleh anak-anak, kejadian ini bahkan dapat terjadi di tempat-tempat umum seperti kampus.
Menurut Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) dalam Catatan Tahunan 2021 jumlah kasus terhadap perempuan yakni kasus Kekerasan Seksual di Ranah Publik 962 kasus (55%).
Dan menurut sumber International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) pada September 2020 dari laporan kuantitatif barometer kesetaraan gender menunjukkan masalah kekerasan seksual di Indonesia berakhir tanpa kepastian.
Banyaknya faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan hal tersebut, salah satunya berasal dari orang yang memiliki kebencian atau rasa tidak suka terhadap wanita secara ekstrem atau dapat disebut misoginis. Perilakunya sendiri disebut misogini. Pada kasus tertentu, misoginis bahkan bisa meningkatkan risiko terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap wanita.
Kekerasan pada rumah tangga juga bisa terjadi oleh seorang suami yang mengindap perilaku misogini, dia cenderung menyakiti istri, bahkan hanya karena masalah sepele. Selain misogini, pasangan yang memiliki temperamen buruk, dan masalah ekonomi.
Terlebih lagi ketika wanita memiliki gaji yang lebih besar dibandingkan suami maka bisa terjadi stigma negatif dan memunculkan perilaku misogini.
Meskipun pelaku misoginis umumnya terjadi pada pria, tetapi ada juga wanita yang memiliki perilaku ini. Ada banyak kemungkinan mengapa seseorang bisa memiliki pandangan yang buruk terhadap wanita sehingga terbentuk sikap misogini.
Jika diingat, beberapa hari lalu seorang mahasiswi asal Mojokerto bunuh diri. Bukan tanpa sebab, kematian gadis berusia 23 tahun itu viral dan menyeret oknum anggota Polres Pasuruan.
Hal tersebut menjadi perhatian banyak pihak bahkan menjadi trending topik di twitter untuk meminta keadilan kepada korban dan menghukum pelakunya dengan adil dan sesuai hukum di Indonesia.
Salah satu orang yang menanggapi kasus tersebut yaitu Ernest Prakasa dalam cuitannya “Novia Widasari, memilih untuk mengakhiri hidupnya di makam ayahnya. Novia Widasari, Mari kenang namanya. Mari melawan atas namanya,” tulis Ernest.
Kemudian dalam cuitan itu pula Ernest melanjutkan pendapatnya bahwa keluarganya sendiri menganggapnya sebagai aib. “Misogini menginjaknya tanpa ampun,” tulisnya lagi.
Selain itu, telah terjadi juga pembunuhan ibu dan anak yang jasadnya ditemukan di proyek penggalian pipa Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Kelurahan Penkase Oeleta, Kecamatan Alak, Kupang, NTT.
Masih banyak lagi kasus pembunuhan, bunuh diri, dan kekerasan seksual pada perempuan apabila kita menyorotinya secara satu persatu.
Indonesia saat ini sedang mengalami darurat kasus pembunuhan, bunuh diri, dan kekerasan seksual karena marak terjadi di masyarakat dan bahkan berakhir tanpa penyelesaian. Hal ini tentunya masih menjadi PR besar yang harus diselesaikan.
Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), RUU PKS yang tak kunjung disahkan menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak, khususnya korban kasus kekerasan seksual. Akhirnya, mereka hanya dapat kesempatan berbicara di media sosial sebagai wadah untuk berbicara untuk mengungkap kasus traumatis yang mereka alami.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam pencegahan kekerasan seksual pada perilaku misogini ialah menghubungi pihak berwenang apabila mengalami kekerasan seksual dan dapat didampangi oleh orang terdekat kita.
Sehingga dalam hal ini pemerintah harus tegas dan cepat terhadap kasus-kasus tersebut dimana keadilan harus ditegakkan untuk penyelesaian kasus dan penanganan terhadap kondisi korban tanpa memandang sebuah golongan dan jabatan.
Artikel ini sudah dipublikasikan di web https://dnktv.uinjkt.ac.id/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H