Memasuki tahun ketiga kupikir bakal rugi telah gagal masuk kelas IPA. Dengan berat hati kumasuk kelas IPS 1. Kami tak tahu siapa wali kelas kami sampai beliau masuk di awal semester kami duduk di kelas tiga. Beliau tunjuk satu-satu anak-anak yang punya riwayat buruk ketika masih di kelas Dua dan Satu.Â
Kami tertawa.Â
Bukan karena lucu.Â
Itu bentuk pengakuan kami atas tuduhannya yang tidak meleset.Â
Dan entah kenapa, kelas kami yang diisi oleh eks pembangkang di kelas Satu dan Dua berubah menjadi anak-anak penurut di bawah asuhannya. Hanya sekali dua saja kami masih suka iseng membuat ulah, terutama pada guru yang monoton dalam mengajar.
Sejak itu aku menyesal pernah berharap masuk kelas IPA.
Satu tahun belajar, tibalah pengumuman kelulusan. Setiap anak harus mendatangkan walinya untuk mengambil amplop berisi pengumuman apakah lulus atau tidak.Â
Orang tuaku tak bisa hadir, maka kuminta kakakku yang juga alumni sekolah yang sama untuk hadir.Â
Ketika namaku dipanggil masukklah aku bersama kakakku.Â
Kami berdua duduk menghadap beliau.Â
Dan tersentak aku ketika beliau memujiku. Padahal selama setahun belajar di bawah bimbingannya tak sekalipun aku masuk peringkat 10 besar.Â