Mohon tunggu...
Ali Mahfud
Ali Mahfud Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati pendidikan, politik, sepak bola, dan penikmat es kelapa muda

Alam butuh keseimbangan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Perang Telah Usai, Kemana Harta Rampasan Berlabuh?

17 November 2019   17:25 Diperbarui: 19 November 2019   05:19 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: portalmakasar.com

Peperangan telah usai. 

Saatnya membagi harta rampasan. 

Harta rampasan perang adalah harta yang siapa pun bebas memilikinya. 

Maka tak heran ketika perang Uhud dulu, pasukan Islam kalah hanya karena harta rampasan perang. 

Pasukan pemanah yang di tempatkan di bukit Uhud oleh Rosululloh sejatinya dilarang untuk bergerak turun dari bukit sampai peperangan benar-benar usai. 

Namun, mereka tergiur oleh silaunya harta yang ditinggal pasukan musuh. 

Berebut!

Mereka cepat-cepat turun bukit agar tidak didahului oleh pasukan lain.

Di masa modern, harta rampasan perang tidak berbentuk emas, senjata , bahan makanan atau bentuk lain yang terwujud nyata. 

Perubahan jaman juga otomatis mengubah bentuknya. 

Umumnya berupa jabatan; bisa menteri, wakil menteri atau sekedar staf khusus yang gajinya hanya menang sedikit dari guru honorer di sekolah negeri.

Bisa juga posisi di badan usaha pemerintah yang juga tak banyak menjanjikan apa-apa selain beban pekerjaan dan tanggung jawab menggunung. 

Inilah sebagian harta rampasan perang modern, yang tentu tidak semua orang mau dan ikhlas menempati posisi tersebut. 

Tanggung jawabnya besar, tapi penghargaanya tak seberapa. 

Padahal mereka yang ditunjuk memegang jabatan menteri, wakil menteri, staf khusus dan pimpinan perusahaan negara telah habis-habisan bertaruh harga diri, nama baik dan bahkan rela adu mulut, saling memaki demi mendukung tim yang ingin ia menangkan dalam peperangan. 

Sangat berbeda jauh dengan para pegawai negeri. 

Bisa dikatakan mereka, pegawai negeri kedinasan atau fungsional, tidak banyak berkorban. 

Bahkan tidak perlu adu mulut di media yang ditonton jutaan rakyat miskin untuk bisa mengabdi pada negara. 

Untuk perjuangan yang tak seberapa itu gaji yang mereka terima juga cukup tinggi. 

Tunjangannya besar. 

Sangat-sangat lebih dari cukup. 

Itupun masih sering mengeluh pada pemerintah. 

Katanya gajinya tidak sebanding dengan pengeluaran. 

Padahal siapa juga yang menyuruhnya menjadi abdi negara. 

Mereka seharusnya malu pada para politisi yang siap ditempatkan di posisi mana pun, dan dalam jabatan apa pun demi kemajuan bangsa. 

Sementara penghargaan yang mereka terima hanya dalam kisaran milyaran rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun