Hari ini salah satu wali murid menghadap saya selaku wali kelas anaknya. Ia membawa buku, seperti biasa. Buku catatan perilaku yang saya titipkan kepada semua wali murid.
Buku itu sederhana. Ukurannya seperti buku tulis anak sekolah. Tidak tebal. Tipis saja.
Di buku itu catatan perilaku anak selama di rumah direkam langsung oleh orang tuanya. Catatan tersebut kemudian dilaporkan (sebenarnya Cuma disampaikan saja) kepada saya selaku wali kelas.
Setelah mempersilakan duduk, saya diserahi buku catatan tersebut. Saya buka sampulnya. Saya baca halaman pertama. Tidak banyak catatan. Wajar. Masih awal semester. Dan ini laporan pertama di minggu pertama semester ganjil.
"Ada perubahan perilaku, Bu?" Tanya saya setelah membaca beberapa catatan yang ia bubuhkan dalam buku kecil tersebut.
"Ada, tapi sedikit," jawabnya sedikit malu-malu.
"Tidak apa-apa. Itu bagus."
Setelahnya bergantian beberapa wali murid menghadap. Sama seperti yang tadi. Mereka menyerahkan buku catatan perilaku anak masing-masing selama di rumah.
Itu sedikit aktivitas saya selaku wali kelas di sekolah saya mengajar. Program ini sudah berjalan dua tahun. Dan sejauh ini hasilnya cukup baik, meskipun belum signifikan.
Awalnya kami, pihak sekolah, merasa ada ketimpangan pengawasan dan juga pendidikan para siswa. Selama di sekolah dari pagi hingga siang mereka memang mendapatkan pendidikan yang cukup dari guru. Sikap juga terkontrol, meskipun tidak sepenuhnya. Namun, tidak demikian ketika anak-anak sudah kembali ke rumah. Sebagian besar orang tua mereka sibuk bekerja di ladang, perusahaan atau pekerjaan lain yang memaksa mereka tidak berada di rumah dalam waktu cukup lama. Akibatnya anak-anak, selama di rumah, tidak terkontrol dengan baik. Mereka main sesukanya, pergi sesukanya. Berpakaian sesukanya, berperilaku sesukanya. Yang lebih parah, sering sekali beberapa anak sekolah tidak berpakaian seperti seharusnya ketika belajar di sekolah. Seragam putih-putih yang seharusnya dikenakan setiap hari senin, malah putih-biru. Sepatu juga sering tidak mereka pakai, padahal mereka punya. Kondisinya juga masih bagus dan layak pakai. Timbullah kemudian pertanyaan: apakah orang tua mereka tidak tahu anaknya salah mengenakan seragam?
Rupanya memang demikian.
Akhirnya sekolah memutuskan memanggil semua wali murid. Dipaparkan semua tindak perilaku siswa, termasuk cara mereka berpakaian selama di sekolah. Ditunjukkan mana yang benar, sesuai aturan sekolah. Mana yang tidak. Orang tua manggut-manggut tanda mengerti. Ada sebagian yang geleng-geleng. Mungkin mereka sadar selama ini anaknya sering salah mengenakan seragam.
Setelah sosialisasi terhadap wali murid, buku catatan perilaku juga dibagikan. Tujuannya satu, untuk mengontrol perilaku anak selama di sekolah sekaligus memastikan setiap orang tua benar-benar memperhatikan sekolah anaknya, sikap anaknya, dan perkembangan pendidikan anaknya.
Inilah sedikit cerita saya sebagai wali kelas. Cerita ini tergolong fiksi, rekaan, khayalan. Saya hanya berkhayal program semacam ini bisa diterapkan di sekolah saya. Dan fiksi bisa menjadi fakta, tapi tidak dengan fiktif.
Suatu saat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H