Mohon tunggu...
Dani
Dani Mohon Tunggu... Penulis - Guru

Dani Setiawan, anak cikal dari dua bersaudara. Lahir di kabupaten Sumedang, Provinsi jawabarat pada tanggal 02 Juli 1999. Kini dia sedang menempuh studi S-1 di Fakultas Pendidikan dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Pengadilan di Ujung Pisau Ukir

22 Agustus 2021   14:40 Diperbarui: 22 Agustus 2021   14:41 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tenanglah wahai hati, dengan ketenangan mereka tidak akan terganggu dan tenang lah wahai hati yang bersemayam di dada-dada warga desa, tidurlah dengan nyeyak. Gumamnya dalam hati adalah sebuah mantra keberanian. Sekali lagi ia meraba pisau ukirnya.


 Dengan ketenangan dia berjalan mendekati semak-semak yang ada di belakang rumah pertama. Terdiam -- menerawang keadaan dalam rumah. Di kegelapan malam yang pekat dia mendesis mengulang mantra ngawur tadi. Keadaan rumah pertama rupanya baik-baik saja, tak ada suara apapun dari dalam. Rumah Pak Kades tujuan selanjutnya. Di sekitaran rumahnya bunga-bunga banyak mengerumuni, menjadikan rimbun beranda rumah. Itu perbuatan istrinya yang ayu. Tentu menguntungkan baginya yang punya maksud lain. Tak ada halangan di rumah Pak Kades, bahkan tak butuh waktu lama untuk mengetahui keadaan rumahnya.


Keringat dingin bercucuran menyela-nyela antara barisan bulu alis tebalnya. Jantung berdegup kencang tanpa ritme yang jelas. Bersungkur dia menenangkan hati dan pikirannya, mengambil nafas dalam. Tangan dinginnya mengusap wajah pucatnya.


Ssstttt,, tenanglah ini pekerjaan mudah. Jangan sampai mereka bangun, apalagi tukang jagal itu, bisa mati tergorok nanti. Kembali dia mengambil nafas panjang. Tenanglah wahai hati, dengan ketenangan mereka tidak akan terganggu dan tenang lah wahai hati yang bersemayam di dada-dada warga desa, tidurlah dengan nyeyak. Hati dan pikiran mulai bisa dia kuasai.


Sambil mengenakan kaus kaki dia mengambil pisau ukir di pinggangnya, lalu bangkit -- berjalan perlahan dengan penuh hati-hati mendekat ke jendela belakang rumah kepala pabrik itu. Kusen kayu jati itu bukan masalah bagi pisau ukirnya. Sedikit demi sedikit dia menyayat kusen itu hingga nampak selot kunci jedelanya, lantas dengan mudah dia membuka jendelanya. Dengan sangat hati-hati ia menjaga agar tidak ada suara apapun yang bisa membangunkan penghuni rumah.


Ada banyak pintu di dalam rumah. Ia perhatikan satu persatu lalu menebak pintu mana yang paling bagus dan besar, tanpa tahu pasti kamar kepala pabrik itu. Karena kaus kaki yang ia kenakan sebelumnya, langkah kakinya nyaris tak terdengar sama sekali. Di lantai dua dia menemukan satu pintu berwarna putih mengkilap yang tertutup rapat. Pintu itu tidak terkunci dan dia masuk dengan leluasa tanpa harus mencongkelnya. Tampaklah dua tubuh yang sedang terlelap di atas ranjang.


Tangan kirinya masih menggenggam pisau ukir dan tangan kanannya merogoh saku celana mengambil ramuan yang ia racik sendiri; biasanya ia gunakan untuk meracun ikan atau belut. Namun kali ini dia membuat ramuan itu dengan dosis yang amat tinggi, bisa membuat manusia pingsan selama 24 jam. Ditaburkanlah ramuan itu kedalam serbet kecil yang ia bawa lalu dengan sigap menempelkan serbetnya ke hidung kepala pabrik itu hingga menyumbat saluran pernapasannya.


Sekuat tenaga kepala pabrik itu meronta-ronta, tangannya berusaha mendorong, mencekik, memukul-mukul; namun apa daya ramuan itu telah banyak terhirup jauh kedalam syaraf-syaraf ototnya. Mau tidak mau kepala pabrik itu harus mengalah pada bagian tubuh yang mulai lemah, untuk menahan kelopak mata agar tetap terbuka pun tidak bisa. Dia pingsan seketika. Hal yang sama ia lakukan kepada istrinya.


Bajingan! Tak sedikitpun rasa ibaku terlontar kepadamu, setelah apa yang kau lakukan kepada masyarakat; terkhusus kepada keluargaku. Kau perkosa lahan para petani; kau cemari sawah mereka dengan limbah-limbah pabrik. Kau gusur rumah-rumah kami demi pembangunanmu. Terkutuklah! Terkutuklah!.


Dia mulai menghunjam-hunjamkan pisau ukirnya yang runcing ke arah kepala, menyayat bagian dahi memutar ke belakang kepala sampai akhirnya bertemu kembali di titik awal sayatan. Darah bersimbah seisi kamar memerah. Bau anyir menyelimuti menggangu indra penciuman. Keringat dingin kembali bercucuran bersamanya mengalir pula kegeilsahan. Rasa iba membuatnya lemah, ia menolak semua itu dengan terus melontarkan kutukan. Pisau ukirnya tak berhenti menghunjam, menyayat hingga liak-liuk otak menyembul dengan urat-urat merah darah. Diangkatlah otak dari batoknya, kemudian di letakan di atas meja rias.


Dia duduk di depan meja rias dengan cermin besar di hadapannya. Tangan kirinya terkulai lemas. Tangan kanannya bergetar sekuat tenaga.  Keletak, pisau terjatuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun