Mohon tunggu...
Likadarma
Likadarma Mohon Tunggu... Penulis - Lingkar Kajian Kedaerahan Pemalang

Gerbang penggalian nilai-nilai kedaerahan untuk kemajuan pengetahuan Pemalang dan kePemalangan yang tulen.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Dekonstruksi Kabupaten Pemalang dengan Asas Marhaenis

3 Juni 2024   11:33 Diperbarui: 3 Juni 2024   12:16 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar :falsafahkita.wordpress.com//

              Dekonstruksi layaknya Jacques Derrida menganalisis tentang teks, yaitu suatu upaya konstruksi dari suatu benda yang layak untuk ditata ulang. Jika kita membuka kamus filsafat, kemungkinan besar akan menemukan bahwa dekonstruksi merupakan strategi analisis dengan tujuan demi terbukanya pola pikir metafisis yang sebelumnya tidak dipertanyakan. 

Jadi, dekontruksi memiliki latar kinerja sebagai penganalisis atau pemahaman mengenai teks (literatur atau realitas itu sendiri) kemudian mendistraksi demi memperoleh makna baru. Lantas apa hubungannya dengan kabupaten Pemalang dan azas marhaenis? Mungkin pertanyaan itu yang dipertanyakan paling awal oleh pembaca.

                            Dekonstruksi sebagai seni memahami teks dengan sengaja penulis tuangkan sebagai barometer kabupaten Pemalang yang lebih tulen. Karena kerap kali kita memahami Pemalang sebagai kota yang berkembang tak berkesudahan layaknya orang tak memiliki tujuan dalam hidupnya. 

Atau dapat penulis katakan terlalu narimo ing pandum sesuai dengan selogannya "Pemalang Ikhlas" jadi apapun yang terjadi di kabupaten Pemalang, rakyatnya harus ikhlas dan menerima apa adanya. Azas marhaenis datang dalam tulisan ini untuk menelaah jika Pemalang bergandengan tangan dengan Marhaenis.

              Di kutip dari pemalang.go.id Kabupaten Pemalang memiliki luas wilayah 1.115, 30 km2, sebagian penduduknya bekerja di bidang pertanian dan peternakan. Sebagian merantau dan memperjuangkan hidupnya di kota orang dan sebagian lagi mengadu nasib di kota sendiri (tenaga honorer bahkan serabutan) demi tak jauh dari keluarga. Sudah menjad sebagai manusia, tetapi hal demikian malahan berujung stuck value bagi setiap rakyat. Kendati saya seringkali mendengar bahkan diajak berbincang tentang kehidupan di Pemalang yang begini-begitu saja. 

Kemudian tak sedikit pula orang tantrum di media sosial regional Pemalang, tentang keluh kesah jalanan rusak, lowongan kerja terbatas, petani mendapatkan pupuk susah, bahkan paling menyedihkan jika pemerintah menjawab semua rumusan masalah dengan jawab "kurangnya SDM" tanpa sedikitpun tau jalan keluarnya.

              Sementara, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Pemalang paling rendah di Jawa Tengah, unda-undi dengan Brebes. Berdasarkan website puskapik.com, IPM disusun berdasarkan umur harapan hidup saat lahir, rata-rata lama sekolah, harapan lama sekolah, serta pengeluaran per-kapita. 

Tak bisa dipungkiri, rata-rata lama sekolah di kabupaten Pemalang hanya 6,55 dan pengeluaran per-kapita mencapai Rp. 9.000.000. menimpang tak karuan dari UMR yang hanya sekian. Marhaenisme datang sebagai telaah akan keadaan yang menimpa Pemalang, atau mungkin sebagai bumbu wejangan politik.

              Marhaenisme, seperti yang diungkapkan di dalam KBBI, Ideologi politik yang tumbuh dan berkembang di Indonesia berdasarkan keadaan serta keinginan masyarakat Indonesia dengan asas sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, gotong royong, kebangsaan, kemerdekaan beragama, dan kerakyatan.

 Bung Karno, di dalam bukunya yang berjudul "Dibawah Bendera Revolusi" membedakan antara marhaenisme dan marhaen, marhaenisme berarti sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, sedangkan marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia lainnya. Keduanya memang sama, hanya saja bung Karno yang merupakan pengembang Ideologi marhaenisme di Indonesia menyatukan antara gotong royong, kebangsaan, serta kemerdekaan beragama di dalam sosio-nasionalisme.

              Di Indonesia, marhaenisme dipelopori oleh bung Karno melalui PNI (Partai Nasional Indonesia) pada sekitar tahun 1930an. Tak hanya di PNI, marhaenisme luas tersebar di kalangan organisasi mahasiswa yaitu GMNI yang merupakan peleburan tiga organisasi pada waktu itu. Melalui persamaan ideologi lama kelamaan GMNI menjadi underbow PNI. Tetapi, pada saat konflik PNI sekitar tahun 1960an GMNI melepas diri sebagai underbow. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun