Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Zaken Kabinet ala Prabowo-Gibran

21 Oktober 2024   07:23 Diperbarui: 21 Oktober 2024   09:02 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo Subianto saat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden. | Foto: KOMPAS.COM

Tanggal 20 Oktober 2024 menjadi momen bersejarah bagi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Bagaimana tidak? Setelah berkontestasi cukup lama di Pilpres, akhirnya Prabowo menjadi Presiden Indonesia ke-8 di usia 73 tahun. Sementara Gibran menjadi Wakil Presiden di usia 37 tahun. Keduanya akan mengemban tugas berat lima tahun mendatang.

Pelantikan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih dilaksanakan tanggal 20 Oktober 2024. Keduanya akan meneruskan estafet pemerintahan Joko Widodo dan Ma'ruf Amin.

Seperti dalam kampanyenya, pasangan ini getol menyuarakan jargon keberlanjutan. Artinya, beberapa kebijakan pada pemerintahan lalu akan diteruskan oleh dua pasangan ini. Tentu yang paling dinanti adalah kelanjutan IKN.

Akan tetapi, dalam pidatonya yang berdurasi hampir satu jam itu, Prabowo sama sekali tidak menyinggung IKN. Tentu hal tersebut menjadi tanda tanya besar. Apakah IKN akan berlanjut atau sebaliknya.

Program lain yang dinanti jelas makan siang gratis. Program ini telah diuji di beberapa sekolah. Untuk merealisasikan janji kampanye, sudah lumrah jika presiden dibantu oleh menteri.

Untuk itu, menteri yang akan mengisi kabinet Prabowo-Gibran kian menarik. Nama lama dan baru hilir masuk ke Kertanegara. Jauh-jauh hari, kabinet Prabowo-Gibran disebut akan diisi oleh kalangan ahli atau profesional alias zaken kabinet.

Kabinet zaken jelas baik. Tapi, untuk merealisasikan jelas sulit karena dalam pembagian posisi menteri masih ada upaya tawar menawar dari partai jauh-jauh hari. Hal itu lumrah disebut bagi-bagi kue.

Kabinet gemuk

Sejak Prabowo terpilih sebagai presiden, isu pembagian posisi menteri sangat krusial. Prabowo disebut akan membentuk kabinet besar. Hal itu disebut wajar karena Prabowo menyebut Indonesia ini negara besar. 

Akan tetapi, untuk membentuk kabinet yang besar, ada halangan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara mengatur jumlah maksimal kementerian adalah 34. 

Untuk itu, parlemen yang mayoritas merupakan pendukung Prabowo-Gibran di pilpres kemarin langsung merevisi undang-undang tersebut. Kini, presiden lebih leluasa dalam membentuk kementerian.

Hal ini menjadi praktik buruk dalam proses legislasi. Publik akan semakin bertanya, mengapa undang-undang yang memang publik inginkan sulit diketok. Misalnya UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang butuh waktu lama. Bahkan publik harus turun ke jalan agar undang-undang itu disahkan.

Contoh lain dari undang-undang yang mandeg adalah undang-undang perampasan aset dan undang-undang pekerja rumah tangga. Keduanya masih mandeg dalam beberapa periode. 

Akan tetapi, undang-undang yang berbau kepentingan politis bisa diselesaikan dengan cepat. Tentu ingatan publik akan kembali saat aksi peringatan darurat kemarin. DPR bisa mengubah UU Pilkada hanya dalam waktu semalam.

Begitu juga dengan UU Kementerian yang berbau politis, tanpa berlama-lama undang-undang tersebut disahkan. Melalui Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008, dalam Pasal 15 disebutkan jika jumlah kementerian disesuaikan dengan kebutuhan presiden.

Artinya dengan mengacu pada pasal itu, presiden memiliki kebebasan dalam menentukan jumlah kementerian. Frasa sesuai kebutuhan presiden jelas subjektif presiden. Presiden bisa saja membentuk kabinet gemuk atau kabinet ramping. Yang jelas, dalam aturan terbaru tidak ada pembatasan jumlah kabinet.

Dengan adanya pasal tersebut, sejumlah nomenklatur kementerian dipecah. Kini jumlah kementerian di pemerintahan Prabowo-Gibran adalah 48. Tidak hanya itu, para menteri itu memiliki wakil. Tak hanya satu, untuk beberapa pos kementerian bisa memiliki dua wakil menteri.

Jadi, jumlah menteri dan wakil menteri yang akan membantu pemerintahan Prabowo-Gibran adalah 109 orang.

Dengan kebebasan menentukan kebutuhan kementerian, akan ada perubahan nomenklatur. Misalnya ada Menteri Koordinator Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Kemasyarakatan yang merupakan pecahan dari Menkopolhukam.

Kemenkumham pun dipecah menjadi Kementerian Hukum dan Kementerian HAM. Imigrasi dan Kemasyarakatan yang sebelumnya menjadi bagian Kemenkumham berdiri sendiri menjadi Kementerian Imigrasi dan Kemasyarakatan.

Pemecahan kementerian juga terjadi di sektor pendidikan. Pada sektor ini, di era pemerintahan sebelumnya, pendidikan, kebudayan, dan riset di-merger menjadi satu menjadi Kemendikbudristek.

Akan tetapi, pada era Prabowo-Gibran kementerian tersebut dipecah menjadi tiga yaitu Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi, dan Kementerian Kebudayan.

Kementerian PUPR pun dipecah menjadi dua bagian menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Kawasan Pemukiman. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pun dipecah menjadi Kementerian Pariwisata dan Kementerian Ekonomi Kreatif/Badan Ekonomi Kreatif.

Bukan tidak mungkin, ke depannya akan ada penambahan atau pengurangan pos kementerian karena tidak ada batasan jumlah posisi kementerian negara. Hal ini membuat jumlah kementerian di era Prabowo-Gibran menjadi tertinggi sejak era Kabinet Dwikora II tahun 1966.

Penambahan jumlah kementerian jelas akan menambah anggaran baru di APBN. Selain itu, nantinya akan lahir aturan-aturan baru yang bukan tidak mungkin akan tumpang tindih. Padahal, perihal hal ini sudah menjadi keluhan karena dinilai ribet.

Kebebasan menentukan jumlah kabinet bisa saja membentuk kabinet gemuk atau ramping. Akan tetapi, jika alasan Prabowo adalah karena Indonesia negara besar, jelas kurang masuk akal.

Hal itu karena sejumlah negara besar justru memiliki kabinet ramping. Misalnya Amerika Serikat. Baik dari segi penduduk, luas wilayah, hingga ekonomi, Amerika masuk kategori negara "besar". Akan tetapi jumlah kementerian di negara itu hanya 15.

China dan Rusia pun yang masuk kategori negara besar memiliki kabinet ramping. Saat ini China memiliki 26 Kementerian dan Rusia 21 Kementerian.

Dari negara-negara tersebut, kita bisa mempelajari bukan soal jumlah. Tapi bagaimana efektivitas dan efisiensi. Padahal dalam Undang-Undang Kementerian Negara pun disinggung agar kedua hal ini lebih diutamakan. Lalu pertanyaannya dengan adanya kabinet gemuk tersebut, apakah kedua hal itu bisa terwujud?

Zaken Kabinet 

Selain jumlah kementerian, tentu yang menjadi sorotan lainnya adalah orang-orang yang akan mengisi posisi tersebut. Apakah dari kalangan ahli atau politisi. Lalu bagaimana dengan kabinet zaken yang dijanjikan itu?

Dari 109 menteri dan wakil menteri, nama-nama tersebut beragam. Saya mengelompokkan ke dalam tiga kategori. Pertama politisi, kedua pendukung Prabowo-Gibran tapi bukan politisi, dan terakhir adalah ahli yang kemungkinan tidak terikat pada dua kategori di atas alias independen.

Dari tiga kategori tersebut, kita dapat melihat komposisinya. Apakah dipenuhi oleh ahli, politisi, atau simpatisan. Jika dipenuhi oleh ahli, maka jelas kebinet zaken terpenuhi. Akan tetapi, jika diisi oleh dua kategori pertama, kabinet zaken jauh dari harapan.

Sejumlah politisi masih mengisi posisi menteri. Misalnya Cak Imin, AHY, Bahlil, Airlangga Hartarto, hingga Zulkifli Hasan. Nama-nama tersebut masih eksis. Meski baru, akan tetapi nama-nama di atas sebenarnya nama lama karena pernah menjadi bagian dari pemerintahan Jokowi.

Selain politisi, pendukung Prabowo-Gibran di pilpres mendapat jatah menteri atau wakil menteri. Sebut saja Yusril dan Otto Hasibuan. Keduanya merupakan advokat Prabowo-Gibran saat sengketa Pemilu di MK beberapa waktu lalu. Tak hanya itu, Erick Thohir pun kembali masuk ke dalam pemerintahan.

Meski tidak terafiliasi dengan partai politik, akan tetapi Erick merupakan pendukung Prabowo-Gibran. Bahkan di saat kampanye, Erick membawa sepak bola. Mengingat Erick adalah ketua PSSI.

Nama-nama lain seperti Sri Mulyani, Tito Karnavian hingga Nasaruddin Umar masuk ke dalam pemerintahan Prabowo-Gibran. Meski orang-orang lama masih ada di dalam kabinet Prabowo-Gibran, tentu kita berharap mereka yang didapuk sebagai pengampu kekuasaan bisa bekerja dengan baik.

Di sisi lain, jika kabinet masih banyak diisi oleh politisi atau simpatisan, zaken kabinet hanya angan-angan. Bukan tidak mungkin publik akan menilai jika hal tersebut hanya bagi-bagi kekuasaan semata. 

Zaken kabinet bertujuan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Artinya dalam merekrut calon menteri, sistem meritokrasi harus lebih di utamakan. Di atas kertas sebenarnya bisa dilakukan.

Akan tetapi, di lapangan bisa saja berbeda. Akan tetapi Prabowo pun dilema. Untuk menjaga eksistensi di pilpres selanjutnya, maka politik akomodatif tetap dilakukan yaitu merangkul parpol yang menyusunnya di pilpres kemarin.

Tren politik akomodatif ini bisa dilihat saat Jokowi masih menjabat. Jokowi merangkul semua parpol dan hanya menyisakan PKS di luar pemerintahan. Hasilnya, Jokowi cukup sukses dalam mempertahankan kekuasaannya.

Meski begitu, politik dinamis. Bisa saja ke depannya Prabowo akan benar-benar mewujudkan kabinet zaken atau akan melakukan politik akomodatif sebagai modal untuk berkuasa kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun